Judul : The Fault in Our Stars (Salahkan Bintang-Bintang)
Pengarang : John Green
Penerjemah : Ingrid Dwijani N
Penyunting : Prisca Primasari
Sampul : BlueGarden
Cetakan : 1, 2012
Tebal : 422 hlm
Penerbit : Qanita
“Keberanian kita akan menjadi senjata
rahasia kita.” (hlm 273)
Hazel Grace,
seorang gadis muda berusia 16 tahun penderita kanker paru-paru yang harus
membawa-bawa tabung oksigen kemanapun dia pergi. Augustus Waters, 17 tahun,
cowok cakep berusia 17 tahun yang disukai Hazel. Dia juga penderita kanker
osteosarkoma yang telah merenggut satu tungai kakinya (satu kakinya adalah kaki
palsu, dan dia berjalan pincang, tapi kata Hazel cowok itu seksinya luar
biasa). Kedua anak muda korban takdir ini dipertemukan dalam Pertemuan Kelompok
Pendukung sebelum akhirnya saling jatuh cinta. Walau keduanya penderita kanker,
tapi cinta kadang memang membuat yang lain kalah (untuk sementara)
sampai-sampai keduanya terjerat juga oleh gombalan-gombalan khas remaja.
“Aku ingin menemui lagi malam mini. Tapi aku
bersedia menunggu semalaman dan hampir sepanjang esok.” (hlm 54)
Hazel Grace
sudah lama menerima kankernya sebagai sesuatu yang tidak terhindarkan. Dia
sudah siap mati, kapan saja daripada menanggung penderitaan yang tak terperi.
Semangatnya hampir patah, dan dia menjalani hidup-hidup yang datar dan monoton
sebagai penderita kanker, jauh dari sekolah dan teman-temannya. Dunia remajanya
yang seharusnya cerah ceria menjadi hari-hari panjang antara satu suntikan dan
suntikan lainnya, rangkaian hari-hari diantara masuk ke rumah sakit dan masuk
lagi ke rumah sakit. Tapi, dia tidak mau dikasihani. Dari pikiran-pikirannya
yang cerdas dan kadang ironis (buku ini ditulis dengan sudut pandang Hazel),
kita tahu bahwa gadis ini adalah anak yang kuat.
“Jika kau tidak menjalani kehidupan untuk melayani kebaikan yang lebih besar,
setidaknya kau harus mati untuk melayani kebaikan yang lebih besar.” (hlm 227)
Sampai
akhirnya, takdir memberikan kesempatan kepada Hazel untuk satu kali menjadi
normal: Hazel jatuh cinta. Augustus, atau Gus, datang dalam kehidupannya dan
menawarkan cinta ala-ala remaja. Hazel sudah bilang dia tidak mau dikasihani,
tetapi Gus tidak mau menyerah dan mengatakan bahwa yang dia tawarkan adalah
cinta, bukan rasa kasihan.
“Sungguh, aku jatuh cinta kepadamu, dan aku tidak mau mengingkari diriku
sendiri dari kenikmatan sederhana berkata jujur. Aku jatuh cinta kepadamu, dan
aku tahu bahwa cinta hanyalah teriakan ke dalam kekosongan, dan pelupaan abadi
tak terhindarkan, dan kita semua sudah ditakdirkan, dan ada hari ketika semua
upaya kita menjadi debu, dan aku tahu matahari akan menelan satu-satunya Bumi
yang kita miliki, dan aku jatuh cinta kepadamu.” (hlm 208)
Maka, cinta
melawan kanker, atau setidaknya hidup dengan kanker tapi memiliki orang yang
dicintai dan mencintaimu akan terasa jauh lebih berharga ketimbang hidup dengan
kanker saja. Gus telah mengingatkan Hazel bagaimana rasanya menjadi manusia
normal. Kanker boleh saja telah mengambil kesehatan (dan kelak) hidup mereka,
tetapi tidak seharusnya kanker juga dibiarkan mengambil cintanya.
Dari Hazel,
pembaca akan belajar banyak tentang makna perjuangan hidup. Jarum suntik, obat,
rasa nyeri, tatapan iba, terputus dari dunia yang normal, segala sesuatu yang
tidak pernah kita alami (dan jarang kita syukuri) sebagai orang-orang normal.
Dari Gus, kita belajar arti mencintai. Bahwa tidak ada waktu terlambat untuk
mencintai dan bahwa setiap orang berhak untuk merasa dicintai. Dari Gus juga
kita akan mengetahui pentingnya makna memiliki mimpi, dan mengejarnya sekuat
tenaga agar kelak tidak lagi ada penyesalan karena kita gagal mencoba.
Luar biasa
buku ini. Sebuah buku tentang pengidaup kanker tapi buku ini begitu jauh dari kesan muram. Covernya yang
biru unyu khas remaja seolah menyamarkan bahwa cerita ini adalah kisah sedih
tentang dua penderita kanker yang saling jatuh cinta. Tapi, John Green memang
penulis yang luar biasa. Tidak akan dia biarkan pembaca berkubang dalam
kesedihan dan air mata. Kisah Hazel dan Gus dalam buku ini begitu “remaja”,
hampir-hampir setiap kesedihan di dalamnya digambarkan dari sudut pandang anak
muda yang optimis dan selalu memandang hidup, apapun itu, sebagai sesuatu yang
harus dinikmati.
Hazel dan Gus mungkin tidak berusia panjang. Tapi, kenangan
atas mereka akan selalu dikenang oleh mereka yang membaca buku ini. Keyakinan
bahwa Tuhan Maha Adil dan bahwa segala sesuatu dalam hidup memang sudah diatur
sedemikian rupa. Hazel mendapatkan hadiah terindah dalam masa remajanya.
“Di hari-hari terkelam, Tuhan meletakkan
orang-orang terbaik dalam hidupmu.” (hlm 42)
“Jika kau tidak menjalani kehidupan
ReplyDeleteuntuk melayani kebaikan yang lebih besar, setidaknya kau harus mati untuk melayani kebaikan yang lebih besar.” Quotenya mak jleb gitu ya ,Keren pokoknya