Judul :
Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas
Pengarang :
Eka Kurniawan
Penyunting :
Mirna Yulistianti
Sampul : Eka
Kurniawan
Tebal : 243
hlm
Cetakan : 1,
Mei 2014
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
Satu lagi
karya Eka Kurniawan diluncurkan padahal saya sendiri belum selesai membaca Cantik itu Luka. Sebagaimana tertulis di
sampul belakang, sastrawan ini kembali menyuguhkan sebuah prosa yang tak biasa,
yang semakin memperkuat sosok dirinya sebagai an unconventional writer di Indonesia. Tema-tema yang dipilihnya
selalu sederhana dan merakyat, namun di kedalamannya tersimpan ribuan makna
serta pesan-pesan yang mengumpat kondisi zaman, juga pemerintahan. Pun dalam
karya terbarunya ini, yang bertebaran dengan kata-kata vulgar seputar
selangkangan pria dan wanita, pesan tersiratnya mencuat sangat kuat, begitu
meninggalkan kesan dalam benak pembacanya. Bacalah kalimat pertama dalam novel
ini, dijamin langsung tersentak. Teknik membuka cerita yang sangat hebat!
Kira-kira setting novel ini kemungkinan di Orde Baru tahun 1970 –
1980-an (meskipun tidak tersebut secara tersurat dalam kisahnya), pembaca
sebaiknya menduga-duga saja. Tapi ada sejumlah petunjuk seperti tentara yang
masih sangat berkuasa, Barry Prima dan Silvester Stalone, tidak ada telepon
genggam apalagi internet, juga stasiun Gambir masih bisa digunakan untuk kereta
kelas ekonomi ke Jogja. Banyak sekali penulis menebar ranjau-ranjau sejarah
terkait Orde Baru (semoga saya tidak keliru menyimpulkan) sehingga melalui
perjalan hidup Arjo Kawir, kita seperti menelisik ke sudut-sudut kelam dari
sebuah rezim pembangunan.
Konon di masa rezim penuh kekerasan, dua orang
polisi tengah memerkosa seorang perempuan gila. Dua remaja tanggung usil
mengintip perbuatan mereka sampai akhirnya salah satunya ketahuan dan
tertangkap basah mengintip. Maka dihukumlah si remaja tanggung itu dengan
menyuruhnya memasukkan burung miliknya ke liang kenikmatan si wanita gila.
Sejak saat itu, si burung tak pernah terbangun lagi. Burung itu milik Arjo
Kawir. Berbagai cara dilakukan di Arjo Kawir untuk membangunkan burungnya, yang
merupakan prasyarat paling mendasar dari seorang pria agar dia bisa disebut
pria yang jantan. Si Tokek, kawan Arjo Kawir yang mengajaknya mengintip merasa
sebagi yang paling bertanggung jawab, dan, berdua, mereka mencari obat untuk
membangunkan lagi si burung.
Tapi semua
sia-sia, metode urut, usap, oles, isap, remas, video, rabaan, obat, hingga
guna-guna, semuanya sia-sia. Si burung tetap tertidur dengan cantiknya.
Keadaan semakin menyedihkan bagi
Arjo Kawir ketika dia bertemu wanita pujaannya, dan semakin sulit ketika wanita
itu, si Iteung, ternyata juga jatuh cinta kepada Arjo Kawir. Gejolak nafsunya
sebagai pria normal tak terbendung lagi, tapi apa daya lha wong senjatanya saja letoy
tak berguna. Tetapi cinta sekali lagi membuktikan diri lebih tinggi dari
sekadar nafsu semata. Melalui ******** Arjo Kawir akhirnya menemukan cara untuk
memuaskan kekasihnya. Jadilah mereka menikah, dan untuk sementara Arjo Kawir
bisa melupakan kesedihannya akibat burungnya yang tidak bisa berdiri.
Sayangnya, cobaan kembali
datang. Kali ini lebih dahsyat: si Iteung hamil! Arjo Kawir kembali mengumpat,
menyalahkan burungnya yang tidak bisa berdiri, sehingga istrinya mencari jalan
ke pria lain. Ronde kedua kehidupan ARjo Kawir dimulai. Ia kembali meninggalkan
rumah dan menjadi seorang supir truk yang bolak-balik ke pedalaman Sumatra –
Jawa. Tapi, untunglah dia pergi, karena dengan begitu pembaca disuguhi lagi
kehidupan keras di jalanan ala supir-supir truk. Luar biasa bagaimana Eka
Kurniawan menggambarkan kehidupan para sopir, dengan saling menyalip dan
kebut-kebutan walau sarat muatan, cerita-cerita di pom bensin yang jarang kita
dengar; dan sementara itu, burung Arjo Kawir tetap tidak mau bangun juga.
Sebuah tulisan hebat selalu
meninggalkan bekas mendapat di benak pembacanya. Novel ini salah satunya. Tidak
melulu menghadirkan kisah yang happy
ending dan sempurna, sebuah karya sastra yang bagus adalah yang mampu
mempengaruhi pembaca untuk bergerak setidaknya ke arah yang lebih baik. Dia
mengubah pembacanya. Walau banyak sekali umpayan dan kata-kata sar* di buku
ini, tetapi perjuangan dan kisah hidup Arjo Kawir ibarat perjuangan sang sunyi
yang mencoba melepaskan diri dari ingar bingar dunia, untuk menjadi tentram
kembali, untuk menjalani kehidupan dengan penuh rasa syukur; dan itu dapat
diraih melalui pengalaman. Arjo Kawir telah membuktikan, betapa segala tindakan
selalu ada konsekuensinya. Dan begitu pula, selalu ada imbalan untuk setiap
kebaikan.
Mas Dion, kenapa jadinya yang ini? #protes
ReplyDeleteMana Kazuo Ishiguronya?
aduh, saya. akan. membeli. buku. ini. Reviewmu menggoda, dioonnn
ReplyDeletebuku ini baru masuk ww-ku minggu ini. pas baca ripiu mas dion ini, jadi bener-bener pengin baca niihh....
ReplyDeleteHmmm...ceritanya berat...
ReplyDeleteBeeeh, baca review gini waktu lagi puasa berasa piye gitu :))
ReplyDeleteKemaren waktu Femina Writing Clinic ketemu dengan Eka dan sudah terlihat "nyentrik"nya ini orang. Somehow, entah kenapa ni orang rada mirip2 Bang Ijul :))
Jadi semakin yakin untuk baca buku ini >.<
ReplyDeletewaaah seru nih premisnya, hahaha... kebayang stressnya si kawir :D dan penasaran sama endingnya juga...
ReplyDeleteSetelah membaca komen di kuis dan sekali lagi mampir di postingan ini. Kayaknya must read..
ReplyDelete*novel hebat* kata mas dion :)