Judul : Bangkok, the Journal
Pengarang : Moemoe
Rizal
Editor : ibnu Rizal
Proof: C. Simamora
Sampul : Jeffri
Fernando
Cetakan : 1, 2013
Penerbit : Gagas
Media
Ini buku STPC
pertama yang saya baca. Kehebohan seri ini di luar sana sudah begitu rupa
riuhnya sehingga berhasil menangkap rasa penasaran akan bagaimana isi
sebenarnya dari buku seri STPC itu. Mengapa banyak pembaca memberikan bintang
4, bahkan 5 di Goodreads untuk seri ini? Apa konsep unik yang dibawa oleh seri
buku ini? Bagaimana perbedaannya bila dibandingkan dengan buku-buku
romansa-chiclit-metropop yang menjamur akhir-akhir ini? Akhirnya, semua
dorongan itu (ini sebenarnya hanyalah alasan yang saya buat-buat untuk menutupi
obsesi membeli buku baru saya padahal di rumah masih ada 300-an yang berstatus “unread”
#plakkk) memaksa saya untuk membeli buku ini. Buku yang benar-benar not my cup of tea. Tapi salahkan
Goodreads, salahkan para blogger buku yang telah memaksa saya membeli Bangkok, The Journal (padahal sejatinya
saya sendiri yang pengen beli buku STPC sejak lama). Selalu salahkan orang
lain, asal jangan saya! *ngumpet di balik timbunan.
Seri
Setiap Tempat Punya Cerita adalah
salah satu wujud kreatif Gagasmedia dalam meluncurkan tema-tema cerita cinta
yang sebenarnya itu-itu saja dengan kemasan baru yang lebih fresh, menarik, dan unik. Salut pada
Gagasmedia yang mampu meluncurkan sejumlah seri novel bertema serupa dengan
judul-judul nama kota di dunia. Konsep ini didukung dengan bonus sisipan model
kartu pos bergambar ikon dari kota yang menjadi judul serinya. Karena seri ini
judulnya Bangkok, maka carte postale yang
disisipkan pun bergambar salah satu kuil di kota Bangkok di tepian sungai Chao
Praya nan terkenal itu. Konsep penyisipan kartu pos ini saya akui sangat unik
dan jarang terpikirkan oleh penerbit maupun pembaca di Indonesia. Ini adalah
salah satu teknik pemasaran yang luar biasa, beli buku selain dapat cerita juga
bisa dapat kartu pos yang bisa dikoleksi. Apa-apa yang jenisnya berseri
biasanya meminta untuk dikoleksi, dan seri STPC mengaet pembaca untuk membeli
lewat dua cara: cerita dan kartu pos penuh memori di dalamnya. Saya beri nilai
100 untuk kreativitas pengemasan STPC ini.
Sekarang
tentang cerita dalam Bangkok, the
Journal. Secara awam (karena saya termasuk awam sebagai pembaca—buku-buku romance—dan juga pelaku yang awam dalam
hal-hal berbau romance *curhat deh lu*) cerita di buku ini masih belum keluar
dari pakem standar. Bangkok adalah
perpaduan antara cerita romansa dari sepasang sejoli yang sudah mapan, memiliki
karier dan biasanya masih sama-sama single,
kemudian memiliki masalah yang unik, dan kemudian dipersatukan atas nama cinta.
Plus, bonus jajaran kata-kata mutiara yang sarat akan nilai-nilai luhur cinta
dan kehidupan. Bangkok semacam novel
yang sepertinya lebih banyak pembaca wanitanya, walau banyak juga pembaca
cowoknya (saya ini apa coba?). Bedanya, setting-nya
mengambil tempat di kota Bangkok. Menurut saya, kota Bangkok dan carte postale itulah yang menjadi
keunggulan utama buku ini. Settingnya digarap dengan apik dan urut, seolah-olah
penulis sedang mengiming-imingi pembaca yang belum pernah pergi ke Bangkok.
(Kasian deh lo, Yon!)
Edvan
Wahyudi (satu poin yang membuat saya memilih Bangkok adalah penggunaan sudut
pandang orang pertama tunggal yang berjenis kelamin cowok. Jarang kan buku
romance tapi ditulis dari sudut pandang cowok?), seorang arsitek sukses yang
bermukim di Singapura mendapatkan sebuah sms dari adiknya di Bandung. Sebuah
sms duka cita yang mengabarkan bahwa ibunya baru saja wafat. Sudah 10 tahun
keduanya putus kontak. Edvan pergi dari rumah karena menentang keputusan ibunya
yang menurutnya terlalu buta dalam mendukung keputusan adiknya, Edvin, untuk
menjadi seorang transgender. Dari adiknya, yang sudah “berubah” menjadi
seorang wanita cantik bernama Edvina, Edvan tahu bahwa ibunya meninggalkan satu
jurnal berisi petunjuk untuk mencari 6 jurnal lain yang sudah tersebar di
Bangkok 30 tahun yang lalu. Jurnal-jurnal itulah peninggalan terakhir ibunya,
dan sebagai anak yang telah menghilang selama 10 tahun dan tidak berada di
samping ibunya saat wafatnya, Edvan pun tergerak untuk memenuhi permintaan
terakhir sang ibu.
“A mother is one to whom you hurry when you are troubled.” (hlm 2)
Bangkok
menjadi kota tujuannya, tenpatnya mencari harta karun peninggalan sang ibu.
Yang tidak disadari Edvan, Bangkok tidak hanya menghadirkan keindahan
arsitektur kuil-kuil (he is an architect
if you know what I mean!). Kota itu juga menawarkan senyum tulus seorang guide bernama Charm yang memiliki pesona
seindah namanya. Dari gadis inilah, Edvan kemudian belajar banyak tentang arti
sebuah keluarga (“Family helps family,”
kata Charm), juga tentang menjalani kehidupan di tengah segala keterbatasan,
serta pada akhirnya, belajar tentang cinta dan mencintai. Charm, gadis yang
begitu sederhana, tetapi ia begitu kaya akan semangat dan kekuatan, serta
penerimaan dan penghargaan pada kehidupan. Edvan belajar banyak dari cewek ini.
“Resep sabar apa, Khun? Aku hanya
melakukannya dengan senang hati. Kita hanya hidup satu kali di dunia ini.
Kenapa harus frustrasi pada masalah-masalah yang kita hadapi? Buat saja itu
petualangan. Or something fun.” (hlm
189)
Tidak
kebetulan penulis memilih setting Bangkok dan tema transgender dalam novel ini.
Sebagaimana kita ketahui, banyak warga Thailand yang mengubah jenis kelaminnya,
mereka ini sering kita sebut sebagai kaum waria atau transgender. Dan, jangan
ditanya kaum transgender Thailand yang memang cantik-cantik itu, sampai-sampai
ada iklan “lulur banci Thailand” yang konon bisa memutihkan dan menghaluskan
wajah seketika (kok saya tahu yang beginian sih #plakk). Kembali kepada Edvan,
jurnal-jurnal itu oleh mendiang ibunya dititipkan kepada orang-orang yang
tersebar di Bangkok. Maka, dengan dibantu Charm (yang ia sewa sebagai pemandu),
Edvan mengajak pembaca menelusuri liku-liku kota Bangkok hingga sudut-sudutnya,
begitu lengkap tapi tanpa menjadikan buku ini Lonely
Planet.
Bangkok mengajarkan Edvan untuk berdamai
dengan masa lalunya. Bahwa sebuah keluarga tetaplah keluarga, tidak peduli
perubahan yang telah terjadi para anggotanya. Selain kisah cinta yang “begitu-begitu
juga akhirnya”, novel ini mengugah sekaligus mencolek pandangan kita tentang
keluarga. Baik atau buruknya, harus kita terima dan kita rangkul, bukannya
malah dijauhi. Tidak ada keluarga yang sempurna, tetapi banyak keluarga yang
sedang berusaha menjadi sempurna dengan saling memperbaiki diri, saling
memahami dan mengerti, dan saling menghargai. Sebuah cerita tentang
kekeluargaan dan travelling nan
menghangatkan. Cerita yang utuh dengan konsep unik serta jelas digarap lewat
riset terlebih dulu. Saya mungkin akan membaca Swiss atau London. Ada
yang mau minjemin? #eh
Masukan:
- Tokoh cowoknya terlalu standar sih a.k.a kaya raya, mapan, banyak uang, perut sixpacks, tinggi, arsitek lagi hih (bilang saja lu iri, Yon!)
- Itu font yang buat nulis jurnal kok kecil-kecil dan dempetan gitu sih, bacanya bikin mata pegel.
Kalo gitu yang menonjol dari buku ini sisi keluarganya bukan?
ReplyDeleteYup, sisi cintanya sih begitu-begitu juga, tapi pesan kekeluargaannya menurut saya yang bagus di novel ini.
DeleteOohh... ada soal transgender segala ya di novel ini... baru tau -_-'
ReplyDeleteHum, kayaknya ngomongin Bangkok tanpa tema ini kurang lengkap deh
DeleteSaya kasih bintang lima di GR karena ditodong moemoe wkwkwk :p
ReplyDeleteWah kenal sama penulisnya ya Mbak? Keren ihhh
Delete