Judul :
Rahasia Meede, Misteri Harta Karun VOC
Pengarang :
ES. ITO
Penyunting :
Yulia Fitri
Sampul :
Windu Budi
Cetakan : 1,
Agustus 2007
Penerbit :
Hikmah
Tebal : 675
hlm
“Novel yang dahsyat
detail sejatahnya dan inspiring. Pram muda telah lahir …”
Sepenggal
pernyataan Fadjroel Rachman terhadap novel Rahasia
Meede di atas begitu tepat menggambarkan kualitas seorang ES ITO sebagai
pengarang buku ini. Dalam hal menyindir dan menyentil hati pembaca Indonesia,
gaya penulis memang agak mirip dengan gaya Pram, hanya saja dalam konteks yang
lebih kekinian. Sementara dari detail dan alur cerita, tidak bisa tidak,
pembaca akan teringat dengan Dan Brown saat mengarang Da Vinci Code, meskipun novel ini jauh lebih detail dan kaya akan
informasi sejarah. Salut sekali saya dengan kepiawaian penulis dalam meramu
unsur-unsur sejarah, kemudian menyajikannya dalam sebuah prosa yang tidak hanya
sastrawi, namun juga informatif dan sangat seru. Aneka kejadian, konspirasi,
dan narasi bergerak cepat, saling susul-menyusul sehingga pembaca seolah diajak
adu balap dalam ceritanya. Belum lagi aneka informasi sejarah tentang masa
lampau Hindia Belanda, VOC, hingga akhirnya ke masa-masa perjuangan Kemerdekaan
RI; semuanya dirangkum dan dituliskan dalam lajur-lajur tulisan yang padat tetapi
tetap enak dinikmati.
Secara
garis besar, Rahasia Meede meniru Dan
Brown dalam mengolah sejarah menjadi sebuah konspirasi. Sebuah terowongan kuno
ditemukan tepat di bawah kota Jakarta dengan pintu masuk di dalam Museum
Sejarah Jakarta. Jalur terowongan itu memanjang melewati bangunan-bangunan
bersejarah yang tersebar di kota tua: Museum Bank Mandiri, Lapangan Merdeka,
Istana Negara, bahkan sampai ke Monas. Tidak ada yang mengetahui ini selain 3
peneliti Eropa yang disewa oleh Dinas Kebudayaan Indonesia. Mereka yakin,
terowongan itu akan berujung pada batang-batang emas simpanan VOC yang diklaim
dapat digunakan untuk melunasi utang luar negeri Republik Indonesia.
Sementara
itu, pembunuhan berantai terjadi di penjuru Nusantara dan dunia. Lima tokoh besar
ditemukan tewas di kota-kota yang berawalan dengan huruf B, yakni Boven Digoel,
Banda, Brussel, Bukit Tinggi, dan Bangka. Pada masing-masing mayat ditemukan
juga selebaran berisi satu dosa dari Tujuh Dosa Sosial yang dicetuskan Mahatma
Gandhi.
Perniagaan tanpa moralitas
Politik tanpa
etika.
Sains tanpa
humanitas.
Peribadatan
tanpa pengorbanan
Kekayaan
tanpa kerja keras
Pengetahuan
tanpa karakter
Kesenangan
tanpa nurani.
Lima korban,
dan dua korban lagi di dua kota yang juga berawalan dengan huruf B. Wartawan
Batu Noah Gultom ditugaskan oleh harian Indonesiaraya
untuk mengikuti kasus ini. Kepolisan telah menudingkan telunjuknya ke
gerombolan Anarki Nusantara yang dipimpin oleh Attar Malaka. Kelompok ini
bertujuan untuk menegakkan prinsip-prinsip keadilan dengan tangan mereka
sendiri. Mereka tidak mengakui hukum dan bergerak atas nama pribadi. Petunjuk
pertama membawa Batu ke pelosok Nias, mencari tahu lambang tato yang konon
paling tua di dunia. Pembaca akan diajak menjelajahi kepulauan terpencil ini,
dengan segala aspek budaya dan alamnya yang masih sangat asri, benar-benar
tamasya yang menyenangkan.
Sementara di
Jakarta, ketiga peneliti Eropa itu dikejutkan oleh temuan mereka di lorong
bawah Jakarta, sebuah penemuan yang akhirnya menjerumuskan ketiganya dalam
sebuah konspirasi mengerikan. Peneliti lain, Cathleen, yg juga berasal dari
Belanda malah menjadi korban penculikan ketika dia menaiki penahu pinisi di
Tanjuk Priok, yang membawanya jauh ke pedalaman kepulauan Banda dan
rempah-rempahnya. Sama sekali dia tidak tahu bahwa dirinya juga telah terseret
dalam sebuah perseteruan maut antara dua kelompok yang memperebutkan emas VOC.
Siapakah penjahat yang sebenarnya? Konspirasi apa yang sedang terjadi? Dan
siapakah tokoh pahlawan dalam novel ini? Serta, apakah emas VOC itu benar-benar
ada? Rasa ingin tahu pembaca akan terus diseret sepanjang membaca novel ini.
Setiap kalimatnya mengintimidasi untuk terus melanjutkan, meskipun sesekali
pembaca harus berhenti sejenak untuk mengelus dada saat sindiran-sindiran penulis
begitu telak menghantam jati diri kita sebagai manusia Indonesia.
Dari Kota Tua
Jakarta, pembaca akan diajak berjalan-jalan ke pedalaman Nias dan Sumatra,
berpesiar naik perahu pinisi ke Makasar, menikmati aroma rempah di Maluku,
melompat ke dinginnya Brussel dan Belanda, lalu kembali lagi ke kepadatan
Jakarta. Mengobrak-abrik Menteng, menyelusup ke Istana Merdeka, menerobos jauh
ke dasar Monumen Nasional, berputar-putar di Pulau Onrust, lalu masuk ke dalam
sebuah kelas nan bersahaja di pelosok Sumatra. Semuanya digambarkan dengan
begitu detail dan narasi yang tajam, tidak berboros kata tetapi benar-benar
sangat menusuk rasa ke-Indonesiaan kita. Gelontoran fakta sejarah juga tak
habis-habisnya diobral si penulis. Kita diajak berkenalan dengan JP Coen yang
ternyata dulunya adalah seorang akuntan, dengan tokoh-tokoh besar seperti
Muhammad Hatta dan M. Gandhi, ikut masuk dan mempelajari kantor wartawan, dan
merasakan bagaimana kerja seorang intelijen negara. Luar biasa! Penulis pasti
melakukan riset yang tidak main-main saat mengarap buku ini.
Ketika
akhirnya Batu dan Cathleen dipertemukan dengan sosok misterius pemimpin Anarkhi
Nusantara, semakin jelaslah siapa dalang sesungguhnya dibalik konspirasi besar
yang telah berusia ratusan tahun ini. Merentang sepanjang hampir 400 tahun
sejak VOC berlabuh di pulau Onrust hingga pendirian Monumen Nasional, telah
tersusun untaian sejarah panjang kolonial yang begitu kelam sampai akhirnya
cahaya benderang muncul ketika M. Hatta menandatangani Penandatanganan
Kedaulatan republic Indonesia. Dan lebih dari enam puluh tahun setelahnya,
generasi Indonesia yang lebih muda, harus berjuang menyelamatkan keutuhan
negara dari konspirasi tangan-tangan kekuasaan yang hendak menjungkirkan
kedaulatan negara yang sudah susah payah dibangun oleh para pendiri bangsa.
Sebuah bacaan yang sangat bergizi.
No comments:
Post a Comment