Judul : Menanti Cinta
Pengarang : Adam Aksara
Cetakan : Pertama, Februari 2014
Setter: Ihwan Hariyanto
Tebal : 227 hlm
Penerbit : Mozaik Indie Publisher
“Cinta tidak pernah membebani. Ia
meringankan yang memilikinya.” (hlm 207)
Saya
bukan pembaca cerita romance, tetapi saya selalu jujur ketika bertemu dengan
cerita yang bagus, saya akan menyukainya—tidak peduli itu kisah dari genre apa. Penilaian saya sebenarnya
cukup sederhana, ketika cerita itu rapi dan selesai—tidak peduli seberapa
sederhananya—saya pasti akan menyukainya. Yah, insting editor juga sih, yang
penting cerita rapi, alur logika tidak terlalu menyimpang, cerita memenuhi
garis edarnya, tanpa terlalu jauh melenceng, dan cerita itu selesai ketika buku
ditutup. Selesai bukan berarti ceritanya usai, tapi selesai ketika kisah itu
tidak meninggalkan pertanyaan-pertanyaan di luar cerita semisal ”Ini kok si A tega bener menjual anaknya
sendiri padahal itu darah dagingnya sendiri lho.” Bagi saya, Menanti Cinta sudah selesai, dan saya
puas membacanya. Ceritanya sederhana, tapi dia rapi. Itu jauh lebih saya sukai
ketimbang cerita yang wow tapi eksekusinya luber kemana-mana, nggak fokus.
Sekarang
kita tinjau dari segi cerita. Menanti
Cinta sebenarnya masih mengangkat tema yang sama: PENGUNGKAPAN CINTA. Hanya
saja, penulis menggunakan tokoh-tokoh yang ekstrem luar biasa. Alih-alih
menggunakan anak-anak kuliahan yang entah bagaimana hari-harinya selalu
bling-bling berkilau kayak sinetron FTV itu, penulis memilih bercerita dari
sudut pandang Claire. Nama yang indah tapi tak seindah nasib pemiliknya. Claire
hanyalah seorang gadis miskin yang mendapat beasiswa kuliah 1 semester. Ayah
tirinya penjahat kambuhan yang sering berusaha memperkosanya, sementara ibu
kandungnya hanyalah wanita pemabuk yang bahkan tidak peduli kalau Claire itu
ada. Minuman keras telah menguasai hidupnya.
Sebagaimana bisa ditebak, dalam kisah-kisah
seperti ini si gadis miskin biasanya disukai oleh cowok kaya raya yang tampan
dan sempurna. Nah, hampir benar. Alex mencintai Claire, dan pria itu memang
kaya raya. Tapi, Alex adalah seorang dosen yang usianya 10 tahun lebih tua dari
Claire, dan ia menggunakan kursi roda. Penyakit polio telah melumpuhkan
kakinya, juga melumpuhkan perasaannya. Sejak kecil hingga sesukses sekarang,
Alex menyibukkan diri dalam laboratorium, berkutat dengan berbagai perangkat
kimia. Ia belajar dan terus belajar, menjadi sukses dengan penemuan kimiawinya,
sebelum akhirnya diangkat menjadi dosen muda di universitas tempat Claire
belajar. Di sanalah keduanya bertemu. Rak-rak dan buku-buku tua di perpustakaan
lama menjadi saksi mulai berubahnya kehidupan dua insan manusia ini.
“Aku bersumpah bahwa aku benar-benar mencintaimu sejak tiga tahun lalu,
hingga kini dan cinta itu terus bertumbuh setiap detiknya.” (hlm 169)
Claire tidak tahu, Alexlah yang
telah mengusahakan agar perpustakaan tua itu kembali di buka agar Claire bisa
“bersembunyi” sejenak dari kekejaman dunia. Gadis itu juga tidak tahu,
diam-diam Alex mengawasi dan mencintainya di balik dingin mukanya. Bahkan, ketika
Claire bermasalah dengan Mark Burger
tempatnya bekerja, ada tangan-tangan gaib Alex yang entah bagaimana selalu
membantu gadis malang itu. Claire memang gadis yang layak dibantu. Dia gadis
yang tabah dan tidak gampang menyerah. Dia lamban tapi sepenuh hati dalam
belajar. Lupakan deretan mahasiswi cantik berkaki jenjang menenteng tas-tas
keluaran butik terbaru. Dalam Menanti
Cinta, kita hanya akan melihat wanita miskin yang tangguh dan seorang pria
berkursi roda yang mencintai secara istimewa.
“Mampu mencintai adalah sebuah berkah yang sangat indah.” (hlm 208)
Kalau dalam sinetron, keduanya
pasti langsung dipersatukan secara instan. Tapi dalam Menanti Cinta, penulis sengaja menraik-ulur hubungan diantara Alex
dan Claire. Butuh waktu yang lama sebelum keduanya menyadari adanya perasaan
saling tertarik. Tapi memang biarlah cinta mengalir dan menemukan muaranya. Itu
jauh lebih indah ketimbang memaksanya. Walau kadang saya gemes juga sih liat si
Alex sama Claire yang sudah tahu saling cinta tetapi harus menunggu begitu
lama. Pada akhirnya, keduanya memang dipersatukan, tetapi bukan seperti itu
ending dari Menanti Cinta. Judul
novel ini sendiri seperti semacam kode bagi pembaca, yang setelah selesai
membaca pasti bilang “Ow begitu hihihi.”
“Biarlah dicintai dan mencintai dengan sepenuh hati saat waktu masih
mengizinkan. Menarilah dan nikmatilah saat senandung itu masih ada. Karena
sungguh, suatu saat nanti, waktu itu akan hilang dan hanya akan tersisa
kesepian dan penyesalan jika tersia-siakan.” (hlm 209)
Dan, saya langsung was-was baca
halaman 210. Kalau pembaca disuruh
begituan sih sama saja malah bikin pembaca tambah penasaran. Dan, setelah saya
nekat menyelesaikan buku ini, saya akhirnya menyesal karena membaca ending buku
ini. Kenapa? Kok bisa seperti itu sih? Aduh kasihan Claire. #eh malah spoiler
hihihi. Untuk sebuah buku romansa, Menanti
Cinta tidak menawarkan sesuatu yang baru, atau yang wow, atau yang fresh. Tapi, satu keunggulan novel ini
adalah teknik menulisnya yang rapi dan runtut. Dibaca sambil menyeduh teh
hangat di akhir pekan, Menanti Cinta dapat
menjadi obat yang menghangatkan jiwa.
Bagi teman-teman yang tertarik
membaca novel ini, silakan bisa langsung membelinya di situs mozaikindie.com.
Terima kasih atas resensinya yang indah Mas Dion. :)
ReplyDeleteMembuat saya berbesar hati.
Toko Buku Online Terlengkap & Terpercaya - GarisBuku.com
ReplyDelete