Judul : Anak Semua Bangsa
Pengarang : Pramoedya Ananta Toer
Penyunting : Astuti A. Toer
Sampul : Ong Hari Wahyu
Cetakan : 13, September 2011
Penerbit : Lentera DIpantara
Tebal : 539 hlm
Membaca seri kedua dari Tetralogi Pulau Buru ibarat mengubek-ubek kembali luka
lama bangsa kita sebagai bangsa yang pendah dijajah kekuasaan kolonial. Tiga ratus lima puluh tahun dijajah
(meskipun fakta sejarah menunjukkan bahwa Aceh baru berhasil dikuasai Belanda
pada awal abad ke-20) telah memunculkan sebuah lebam sejarah yang
mengharu-biru, memunculkan semacam persepsi pada rakyat kecil bahwa semua yang
Eropa niscaya lebih jaya dan lebih tinggi. Rasa minder, malas, kurang kreatif
dari bangsa ini seolah merupakan wujud tak tampak namun sangat menggelisahkan, hasil dari penindasan budaya
dan mental secara sistematis oleh sebuah kerajaan kecil di Eropa. Sampai
sekarang pun, orang kita sering kali merasa segan atau minder duluan kalau
bertemu orang asing, terutama rakyat kecil, orang kebanyakan. Padahal, mereka
juga manusia seperti kita, hanya anak dari bangsa yang berbeda.
“Kau harus bertindak terhadap siapa saja yang mengambil seluruh atau
sebagian dari milikmu, sekali pun hanya segumpil batu yang tergeletak di bawah
jendela. Bukan karena batu itu sangat berharga bagimu. Azasnya: mengambil milik
tanpa ijin: pencurian; itu tidak benar, harus dilawan.”
Melanjutkan
kisah Minke dan Nyai Ontosoroh yang begitu menyita perhatian pembaca dalam Bumi Manusia, jilid kedua Tetralogi Buru
ini mengulas lebih dalam penjuangan kedua pribumi terlepajar tersebut demi
melawan pemerintah kolonialisme. Minke yang telah kehilangan Annelies kembali
terusik hatinya ketika ia diejek seorang wartawan indo sebagai seorang
pribumi terpelajar yang tahu dunia tetapi abai pada bangsanya sendiri. Minke dikatakan pandai ilmu-ilmu Eropa, tetapi pengetahuan tentang bangsanya sendiri sangat
minim. Panas hati, ia memutuskan pergi ke Tulangan, wilayah perkebunan tebu di
sekitar Sidoharjo demi merasakan hidup dan untuk mempelajari nasib rakyat pribumi. Di sanalah
dia bertemu dengan keluarga petani Trunojoyo yang tengah berusaha mempertahankan ladang dan sawah
peninggalan orang tuanya dari pihak kolonial yang mau merebut tanahnya dengan
semena-mena. Hanya karena ia menolak menyewakan lahan, rumah dan sekeliling
ladangnya dikurung ladang tebu tanpa akses keluar.
“Kau Pribumi terpelajar! Kalau mereka itu, Pribumi itu, tidak
terpelajar, kau harus bikin mereka jadi terpelajar. Kau harus, harus, harus,
harus bicara pada mereka , dengan bahasa yang mereka tahu”
Minke
berjanji membantu si petani, lewat tulisan. Tetapi apa daya, ia memang masih
anak bawang dalam menulis artikel tentang bangsa sendiri. Galau menderanya,
benarkah bahwa selama ini ia terlalu berorientasi ke Barat sehingga lupa
belajar tentang negerinya sendiri, hal yang berusaha ia perjuangkan selama ini.
Maka belajarlah ia menengok ke dalam, menulis dalam bahasa Melayu. Ada dia
temukan, betapa bangsanya begitu merasa kecil terhadap semua yang berbau
Belanda dan Eropa. Melihat dirinya berpakaian Barat pun sudah membikin mereka
keder dan susut jiwanya. Bangsa yang selama ini ia sayangi, ia perjuangkan, ia
angkat dari nasib rendah akibat kolonialisme. Sungguh, penjajahan paling berat
memang penjajahan mental. Jika sekadar dijajah fisik suatu saat kita bisa
melawan, maka tidaklah begitu dengan penjajahan mental. Penjajahan kedua
membuat si terjajah selamanya merasa “layak” dijajah, dan mereka yang merasa
layak dijajah niscaya tidak akan protes atau melawan. Dalam hal inilah,
pengetahuan menjadi satu-satunya senjata.
“Keajaiban pengetahuan: Tanpa mata yang melihat dia membikin orang
mengetahui luasnya dunia: dan kayanya, dan kedalamannya, dan ketinggiannya, dan
kandungannya, dan juga sampar-samparnya.”
Novel Anak Semua Bangsa dengan telak menikam
pembaca dengan sebuah kebenaran yang pahit: betapa sudah ratusan tahun bangsa
kita dijajah secara fisik maupun mental sehingga menghasilkan bangsa yang berjiwa kerdil.
Dalam hal ini, Pram mengutip Jepang dengan slogan Asia Timur Raya sebagai
pembanding. Dipuji-pujinya bangsa kuning itu dengan segenap kepandaian mereka
meniru yang baik dari Barat kemudian mengembangkannya sendiri, kerja keras dan
kerja cerdas mereka sehingga menjadi bangsa yang disegani. Dan, terbukti pada tahun
1930-an, Jepang menjadi satu-satunya negara Asia yang dianggap sejajar dengan
bangsa Eropa. Nasib yang berkebalikan terjadi pada bangsa Hindia Belanda, yang
tetap diam saja walau ditindas begitu rupa. Pahit memang, tapi apa mau dikata?
“Negeri Matahari Terbit, negeri Kaisar Meiji itu berseru pada para
perantaunya, menganjurkan: Belajar berdiri sendiri! Jangan hanya jual tenaga
pada siapa pun! Ubah kedudukan kuli jadi pengusaha, biar kecil seperti apa pun;
tak ada modal? berserikat, bentuk modal! belajar kerja sama! bertekun dalam
pekerjaan!”
Dalam
kondisi demikian, setiap putra pribumi harus mau dan mampu melawan dengan apapun.
Era Minke adalah era-era mulai berseminya pergerakan nasional. Pram secara
sekilas menyebut Kartini dan Multatuli sebagai salah dua dari beberapa orang
yang tengah melawan penindasan kolonialisme lewat cara mereka sendiri. Kartini
pernah mengatakan bahwa mengarang adalah bekerja untuk keabadian, maka
melawanlah Minke sesuai dengan yang ia kuasai: menulis.
Tidak
heran buku ini sempat dilarang di era Orde Baru karena niscaya banyak sekali
pihak yang akan tersentil saat membaca buku ini. Termasuk pemerintahannya, juga
orang Jawa, dan orang-orang pejabat pada umumnya. Ketika kita mau berpikiran
terbuka, banyak yang memang benar adanya. Ah, ternyata mental sebagian kita
memang masih terjajah, masih tidak mau menerima sentilan yang membangun dan
memilih tetap berada di zona nyamannya serasa memberangus mereka yang tidak
sejalan atau mencoba mengusik zona nyamannya.
Dalam
buku kedua ini, akan kita ketahui bagaimana nasib Annelies dan Robert Mellema,
dua anak Nyai Ontosoroh. Muncul juga beragam perkembangan baru, tokoh-tokoh
baru, serta lawan baru. Bahkan di ending buku ini pembaca bisa menyaksikan
bagaimana mereka melawan Ir. Maurits Mellema dengan berbagai argumen dan
kata-kata. “Kita sudah melawan, Ma.
Biarpun hanya dengan mulut.”
Tidak seperti Bumi Manusia, saya kurang menemukan aspek nostalgia tempoe doloe saat membaca buku ini. Setting dan deskripsi tempat serta masa kurang terlalu digambarkan dengan detail, sepertinya Pram mulai berfokus menyampaikan ide-ide besarnya. Satu hal yang aneh dari novel ini, buku ini terasa begitu nyaman membacanya meskipun ini novel ditulis dengan ejaan lama, di mana "matahari" masih ditulis matari dan ada begitu banyak serapan dalam bahasa Jawa, juga noun phrase masih banyak disambung. Tetap saja indah karya ini dibacanya. Memang benar kata orang, membaca karya Pram ibarat membaca sebuah hadiah dari Indonesia untuk dunia.
Tidak seperti Bumi Manusia, saya kurang menemukan aspek nostalgia tempoe doloe saat membaca buku ini. Setting dan deskripsi tempat serta masa kurang terlalu digambarkan dengan detail, sepertinya Pram mulai berfokus menyampaikan ide-ide besarnya. Satu hal yang aneh dari novel ini, buku ini terasa begitu nyaman membacanya meskipun ini novel ditulis dengan ejaan lama, di mana "matahari" masih ditulis matari dan ada begitu banyak serapan dalam bahasa Jawa, juga noun phrase masih banyak disambung. Tetap saja indah karya ini dibacanya. Memang benar kata orang, membaca karya Pram ibarat membaca sebuah hadiah dari Indonesia untuk dunia.
sepertinya dikit banget kisah cintanya *berpikir lagi untuk membacanya* :p
ReplyDeleteIya, romance-nya ada di Bumi Manusia Lis wkwk
Deletewah, masih pakai ejaan lama ya? huwaaa.. ayoo bantu koleksiin dooonk X((
ReplyDeleteHaha ejaannya sama, tp kata-katanya yang jadoel wkwkwk
ReplyDeleteHahaha iyaa ... bacaanku Larasati juga banyak ejaan lama, sempat rada bingung awalnya, kukira typo :D
ReplyDeleteBuku ini masih dalam timbunanku, gara-gara nunggu dan belum nemu buku pertama, Bumi Manusia *hicks*
Betul Mbak, aduh Bumi Manusia aku baca yg bajakan. Bukannya mendukung bajakan, tp karena ngak ada alternatif lain karena di Gramedia pun kosong :(
Deletekesalahan aku baca tetralogi ini adalah: dulu nggak tau ini seri, jadi bacanya gak urutan. hahaha culun ya. skrg mau baca ulang dr awal kok agak males... tapi masih penasaran juga soalnya pengen tau ide besar yang disampaikan pram ini...
ReplyDeleteHahahaha iya kayaknya kalo baca ulang gimana gitu, serasa tebel. Tapi ngak rugi banget kan baca seri ini :)
DeleteAh, ternyata mental sebagian kita memang masih terjajah, masih tidak mau menerima sentilan yang membangun dan memilih tetap berada di zona nyamannya serasa memberangus mereka yang tidak sejalan atau mencoba mengusik zona nyamannya. -> suka deh sama kalimat ini. Bikin sendiri atau nyomot, kak? *menatap dengan curiga xD
ReplyDeleteItu dri aku sendiri yooo ... tp masih kebawa gaya berceritanya Pram hehe
DeleteTetralogi Buru jadi salah satu bacaan yang dulu menjadi nazar jika selesai skripsi, belinya pake perjuangan x)
ReplyDelete@lucktygs
http://luckty.wordpress.com/2014/02/27/review-the-jacatra-secret/
Iya, gak rugi beli walo mahal :)
DeleteSeumur hidup aku baru pernah sekali baca karya Pram, yg judulnya Arok-Dedes. Tetralogi ini harus dimasukin ke 'daftar buku yg harus dibaca Tirta sebelum mati' kayaknya x)
ReplyDeleteSerinya harus dibaca berurutan, kah, Mas Dion?
Iya, sebaiknya berurutan
Deleteaku belum nyambungin baca tetralogi pulau buru.
ReplyDeletesetelah bumi manusia, masih mandeg..
mau baca ulang bumi manusia lagi, biar enak nyambung ke ASB-nya..
aduh nggak ada yang filemin tetralogi ini yah?
Kalo difilmkan suer pasti keren
Deletewah, aku belum baca yang ini, baru baca yang BM, semoga segera bisa baca buku yang ini kang
ReplyDeleteYok baca kang
Delete