Search This Blog

Thursday, February 27, 2014

Anak Semua Bangsa



Judul : Anak Semua Bangsa
Pengarang : Pramoedya Ananta Toer
Penyunting : Astuti A. Toer
Sampul : Ong Hari Wahyu
Cetakan : 13, September 2011
Penerbit : Lentera DIpantara
Tebal : 539 hlm





                Membaca seri kedua dari Tetralogi Pulau Buru ibarat mengubek-ubek kembali luka lama bangsa kita sebagai bangsa yang pendah dijajah kekuasaan kolonial. Tiga ratus lima puluh tahun dijajah (meskipun fakta sejarah menunjukkan bahwa Aceh baru berhasil dikuasai Belanda pada awal abad ke-20) telah memunculkan sebuah lebam sejarah yang mengharu-biru, memunculkan semacam persepsi pada rakyat kecil bahwa semua yang Eropa niscaya lebih jaya dan lebih tinggi. Rasa minder, malas, kurang kreatif dari bangsa ini seolah merupakan wujud tak tampak namun sangat  menggelisahkan, hasil dari penindasan budaya dan mental secara sistematis oleh sebuah kerajaan kecil di Eropa. Sampai sekarang pun, orang kita sering kali merasa segan atau minder duluan kalau bertemu orang asing, terutama rakyat kecil, orang kebanyakan. Padahal, mereka juga manusia seperti kita, hanya anak dari bangsa yang berbeda.

“Kau harus bertindak terhadap siapa saja yang mengambil seluruh atau sebagian dari milikmu, sekali pun hanya segumpil batu yang tergeletak di bawah jendela. Bukan karena batu itu sangat berharga bagimu. Azasnya: mengambil milik tanpa ijin: pencurian; itu tidak benar, harus dilawan.”

                Melanjutkan kisah Minke dan Nyai Ontosoroh yang begitu menyita perhatian pembaca dalam Bumi Manusia, jilid kedua Tetralogi Buru ini mengulas lebih dalam penjuangan kedua pribumi terlepajar tersebut demi melawan pemerintah kolonialisme. Minke yang telah kehilangan Annelies kembali terusik hatinya ketika ia diejek seorang wartawan indo sebagai seorang pribumi terpelajar yang tahu dunia tetapi abai pada bangsanya sendiri. Minke dikatakan pandai ilmu-ilmu Eropa, tetapi pengetahuan tentang bangsanya sendiri sangat minim. Panas hati, ia memutuskan pergi ke Tulangan, wilayah perkebunan tebu di sekitar Sidoharjo demi merasakan hidup dan untuk mempelajari nasib rakyat pribumi. Di sanalah dia bertemu dengan keluarga petani Trunojoyo yang tengah berusaha mempertahankan ladang dan sawah peninggalan orang tuanya dari pihak kolonial yang mau merebut tanahnya dengan semena-mena. Hanya karena ia menolak menyewakan lahan, rumah dan sekeliling ladangnya dikurung ladang tebu tanpa akses keluar.

“Kau Pribumi terpelajar! Kalau mereka itu, Pribumi itu, tidak terpelajar, kau harus bikin mereka jadi terpelajar. Kau harus, harus, harus, harus bicara pada mereka , dengan bahasa yang mereka tahu”

                Minke berjanji membantu si petani, lewat tulisan. Tetapi apa daya, ia memang masih anak bawang dalam menulis artikel tentang bangsa sendiri. Galau menderanya, benarkah bahwa selama ini ia terlalu berorientasi ke Barat sehingga lupa belajar tentang negerinya sendiri, hal yang berusaha ia perjuangkan selama ini. Maka belajarlah ia menengok ke dalam, menulis dalam bahasa Melayu. Ada dia temukan, betapa bangsanya begitu merasa kecil terhadap semua yang berbau Belanda dan Eropa. Melihat dirinya berpakaian Barat pun sudah membikin mereka keder dan susut jiwanya. Bangsa yang selama ini ia sayangi, ia perjuangkan, ia angkat dari nasib rendah akibat kolonialisme. Sungguh, penjajahan paling berat memang penjajahan mental. Jika sekadar dijajah fisik suatu saat kita bisa melawan, maka tidaklah begitu dengan penjajahan mental. Penjajahan kedua membuat si terjajah selamanya merasa “layak” dijajah, dan mereka yang merasa layak dijajah niscaya tidak akan protes atau melawan. Dalam hal inilah, pengetahuan menjadi satu-satunya senjata.

“Keajaiban pengetahuan: Tanpa mata yang melihat dia membikin orang mengetahui luasnya dunia: dan kayanya, dan kedalamannya, dan ketinggiannya, dan kandungannya, dan juga sampar-samparnya.”

                Novel Anak Semua Bangsa dengan telak menikam pembaca dengan sebuah kebenaran yang pahit: betapa sudah ratusan tahun bangsa kita dijajah secara fisik maupun mental sehingga menghasilkan bangsa yang berjiwa kerdil. Dalam hal ini, Pram mengutip Jepang dengan slogan Asia Timur Raya sebagai pembanding. Dipuji-pujinya bangsa kuning itu dengan segenap kepandaian mereka meniru yang baik dari Barat kemudian mengembangkannya sendiri, kerja keras dan kerja cerdas mereka sehingga menjadi bangsa yang disegani. Dan, terbukti pada tahun 1930-an, Jepang menjadi satu-satunya negara Asia yang dianggap sejajar dengan bangsa Eropa. Nasib yang berkebalikan terjadi pada bangsa Hindia Belanda, yang tetap diam saja walau ditindas begitu rupa. Pahit memang, tapi apa mau dikata?

“Negeri Matahari Terbit, negeri Kaisar Meiji itu berseru pada para perantaunya, menganjurkan: Belajar berdiri sendiri! Jangan hanya jual tenaga pada siapa pun! Ubah kedudukan kuli jadi pengusaha, biar kecil seperti apa pun; tak ada modal? berserikat, bentuk modal! belajar kerja sama! bertekun dalam pekerjaan!” 

                Dalam kondisi demikian, setiap putra pribumi harus mau dan mampu melawan dengan apapun. Era Minke adalah era-era mulai berseminya pergerakan nasional. Pram secara sekilas menyebut Kartini dan Multatuli sebagai salah dua dari beberapa orang yang tengah melawan penindasan kolonialisme lewat cara mereka sendiri. Kartini pernah mengatakan bahwa mengarang adalah bekerja untuk keabadian, maka melawanlah Minke sesuai dengan yang ia kuasai: menulis.

                Tidak heran buku ini sempat dilarang di era Orde Baru karena niscaya banyak sekali pihak yang akan tersentil saat membaca buku ini. Termasuk pemerintahannya, juga orang Jawa, dan orang-orang pejabat pada umumnya. Ketika kita mau berpikiran terbuka, banyak yang memang benar adanya. Ah, ternyata mental sebagian kita memang masih terjajah, masih tidak mau menerima sentilan yang membangun dan memilih tetap berada di zona nyamannya serasa memberangus mereka yang tidak sejalan atau mencoba mengusik zona nyamannya. 

                Dalam buku kedua ini, akan kita ketahui bagaimana nasib Annelies dan Robert Mellema, dua anak Nyai Ontosoroh. Muncul juga beragam perkembangan baru, tokoh-tokoh baru, serta lawan baru. Bahkan di ending buku ini pembaca bisa menyaksikan bagaimana mereka melawan Ir. Maurits Mellema dengan berbagai argumen dan kata-kata. “Kita sudah melawan, Ma. Biarpun hanya dengan mulut.


               Tidak seperti Bumi Manusia, saya kurang menemukan aspek nostalgia tempoe doloe saat membaca buku ini. Setting dan deskripsi tempat serta masa kurang terlalu digambarkan dengan detail, sepertinya Pram mulai berfokus menyampaikan ide-ide besarnya. Satu hal yang aneh dari novel ini, buku ini terasa begitu nyaman membacanya meskipun ini novel ditulis dengan ejaan lama, di mana "matahari" masih ditulis matari dan ada begitu banyak serapan dalam bahasa Jawa, juga noun phrase  masih banyak disambung.  Tetap saja indah karya ini dibacanya. Memang benar kata orang, membaca karya Pram ibarat membaca sebuah hadiah dari Indonesia untuk dunia.


18 comments:

  1. sepertinya dikit banget kisah cintanya *berpikir lagi untuk membacanya* :p

    ReplyDelete
  2. wah, masih pakai ejaan lama ya? huwaaa.. ayoo bantu koleksiin dooonk X((

    ReplyDelete
  3. Haha ejaannya sama, tp kata-katanya yang jadoel wkwkwk

    ReplyDelete
  4. Hahaha iyaa ... bacaanku Larasati juga banyak ejaan lama, sempat rada bingung awalnya, kukira typo :D
    Buku ini masih dalam timbunanku, gara-gara nunggu dan belum nemu buku pertama, Bumi Manusia *hicks*

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul Mbak, aduh Bumi Manusia aku baca yg bajakan. Bukannya mendukung bajakan, tp karena ngak ada alternatif lain karena di Gramedia pun kosong :(

      Delete
  5. kesalahan aku baca tetralogi ini adalah: dulu nggak tau ini seri, jadi bacanya gak urutan. hahaha culun ya. skrg mau baca ulang dr awal kok agak males... tapi masih penasaran juga soalnya pengen tau ide besar yang disampaikan pram ini...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahahaha iya kayaknya kalo baca ulang gimana gitu, serasa tebel. Tapi ngak rugi banget kan baca seri ini :)

      Delete
  6. Ah, ternyata mental sebagian kita memang masih terjajah, masih tidak mau menerima sentilan yang membangun dan memilih tetap berada di zona nyamannya serasa memberangus mereka yang tidak sejalan atau mencoba mengusik zona nyamannya. -> suka deh sama kalimat ini. Bikin sendiri atau nyomot, kak? *menatap dengan curiga xD

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itu dri aku sendiri yooo ... tp masih kebawa gaya berceritanya Pram hehe

      Delete
  7. Tetralogi Buru jadi salah satu bacaan yang dulu menjadi nazar jika selesai skripsi, belinya pake perjuangan x)

    @lucktygs
    http://luckty.wordpress.com/2014/02/27/review-the-jacatra-secret/

    ReplyDelete
  8. Seumur hidup aku baru pernah sekali baca karya Pram, yg judulnya Arok-Dedes. Tetralogi ini harus dimasukin ke 'daftar buku yg harus dibaca Tirta sebelum mati' kayaknya x)
    Serinya harus dibaca berurutan, kah, Mas Dion?

    ReplyDelete
  9. aku belum nyambungin baca tetralogi pulau buru.
    setelah bumi manusia, masih mandeg..
    mau baca ulang bumi manusia lagi, biar enak nyambung ke ASB-nya..
    aduh nggak ada yang filemin tetralogi ini yah?

    ReplyDelete
  10. wah, aku belum baca yang ini, baru baca yang BM, semoga segera bisa baca buku yang ini kang

    ReplyDelete