Search This Blog

Thursday, February 28, 2013

Bumi Manusia



Judul  : Bumi Manusia
Pengarang      : Pramoedya Ananta Toer
Editor             : Astuti Ananta Toer
Sampul           : Nadia
Cetakan          : 17, Januari 2011
Tebal              : 535 hlm
Penerbit          : Lentera Dipantara


            Sebuah karya besar tetaplah sebuah karya besar, tidak peduli orang berupaya membredel, melarang terbit, dan melenyapkannya. Pemerintah Indonesia sempat menyembunyikannya di masa Orde Baru, tapi toh dunia tetap membaca dan bahkan menyebarluaskannya. Dari sini kita harus belajar, sebuah karya tidak melulu dilihat dari siapa pengarangnya, tapi isi yang disampaikannya. Sentimen antikomunis dan kecurigaan tidak perlu kepada etnis tertentu yang sempat mengemuka di masa lalu, tidaklah kemudian menjadi pembenaran untuk menutuip-nutupi permata yang dimiliki bangsa kita kepada dunia. Nyatanya, Bumi Manusia memang permata kaya yang indah sungguh. Pancarannya bahkan terlebih dulu sampai ke Amerika dan Eropa, sebelum akhirnya secara resmi masuk di toko buku-toko buku di Nusantara.

            Bumi Manusia adalah buku pertama dari Tetralogi Pulau Buru karya Pram yang sudah begitu mendunia. Kisah ini mengambil setting awal-awal masa pergerakan nasional di pergantian abad ke-19 dan ke-20. Tokoh utamanya adalah Minke, sebuah nama unik yang tadinya berasal dari julukan gurunya, yang seorang barat. Minke sendiri adalah anak seorang bupati di daerah B dan bergelar Raden Mas dengan sejumlah hak istimewa. Di antaranya, dia berhak bersekolah di sekolah-sekolah Belanda yang waktu itu terlarang bagi pribumi. Pendidikan Eropa telah membentuknya menjadi seorang pribumi Jawa berpikiran Eropa, tapi pendidikan Eropa juga yang mencerabutnya sedemikian rupa terhadap tradisi dan budaya Jawa.

            “Tidak bisa mereka melihat Pribumi tidak penyek terinjak-injak kakinya, bagi mereka, Pribumi mesti salah, orang Eropa harus bersih, jadi pribumi pun sudah salah. Dilahirkan sebagai Pribumi lebih salah lagi.” (hlm 413)

            Layaknya  seorang berpendidikan, Minke mempertanyakan segalanya, termasuk apa yang dilakukan oleh gurunya—Bangsa Eropa—kepada bangsanya sendiri. Kecut hatinya melihat pribumi diinjak-injak dan diremehkan oleh bangsa kolonial, sementara karya-karya besar dari Eropa mengajarkan tentang humanisme dan persamaan derajat. Perbudakan memang telah dihapuskan kala itu, tapi toh para mister kumpeni tetap memandang rendah pribumi, bahkan cenderung memperlakukan mereka semena-mena. 

          Bahkan, Minke mengkritisi para bangsawan kerajaan di Jawa yang entah kenapa begitu lemah pada masa itu. Mereka berusaha tampil berwibawa di hadapan rakyatnya, tapi tunduk kepada orang kulit putih yang menjajah tanah Jawa. Hanya kepada  orang-orang Aceh, Minke memberi penghormatan atas perjuangan mereka yang gagah berani melawan Belanda. Dan, sejarah membuktikan bahwa Belanda adalah wilayah terakhir di nusantara yang berhasil ditaklukan Belanda. 

            Kekritisan Minke terhadap kondisi bangsanya yang begitu lemah padahal diinjak-injak begitu rupa oleh Belanda membuatnya semakin gemas. Sebagai pelajar H.B.S, ia tidak bisa berbuat banyak kecuali berjuang lewat tulisan. Dengan nama samaran Max Tollenaar, Minke menulis banyak tentang kondisi Hindia Timur dan orang-orang yang hidup di atas tanahnya nan subur. Sekali lagi, ia harus menggunakan nama dan bahasa Belanda agar tulisannya dibaca, baik oleh Belanda maupun kaum pribumi.

            “Memang begitu kehidupan kolonial di mana saja: Asia, Afrika, Amerika, Australia. Semua yang tidak Eropa, lebih-lebih tidak kolonial, diinjak, ditertawakan, dihina, hanya untuk berpamer tentang keunggulan Eropa dan keperkasaan kolonial. (hlm 416)

Pertemuannya dengan Nyai Ontosoroh dan Annelie juga semakin mengobarkan jiwa pemberontakkannya. Diperlakukan ibarat barang dagangan, Nyai Ontosoroh atau Sanikem adalah seorang wanita berhati baja dengan dendam yang menyala-nyala. Tekadnya begitu rupa untuk melawan ketidakadilan yang menimpa dirinya sehingga secara otodidak ia menempa dirinya sendiri menjadi seorang berpendidikan dan berkarakter. Tapi ia tetap menyebut diri sebagai nyai, dengan gelar yang rendah itu. Sebuah anomaly, dan memang buku ini penuh dengan anomali-anomali indah yang digarap secara menakjubkan. Ia belajar membaca dan menulis, dan kemudian mengembangkan pemikirannya dengan membaca karya-karya besar dunia. Dari suaminya, tahulah ia betapa penting membaca sastra itu.

“Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai sederet gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai.” (hlm 313)

            Entah bagian mana yang membuat karya ini begitu haramnya sehingga dilarang terbit pada masa Orde Baru. Apakah keterus-terangan Pram dalam menunjukkan kebenciannya pada Belanda? Ataukan keceplas-ceplosannya dalam mengkritik para raja di Jawa, ataukah ide-idenya yang begitu progresif tentang berbagai hal, yang walaupun positif tapi tidak semua orang bisa menerimanya? Yang jelas, buku ini ditulis dengan bagus sekali, tampak jelas benar bahwa penulisnya adalah orang yang gemar membaca, banyak berdiskusi, serta menjadikan menulis sebagai bagian hidupnya. 

         Berbagai istilah ala Belanda banyak menghiasi halaman-halamannya, begitu juga suasana romantisme alam kolonial di Hindia Timur pada akhir abad ke-19 yang digambarkan dengan begitu hidup dan detail. Juga, walaupun ditulis dengan gaya bahasa lama, tidak mengurangi keasyikan membacanya. Banyak kata-kata yang kini sudah tidak dipergunakan lagi, juga kecenderungan untuk menulis dua kata benda (noun phrase) secara bersambung (mejamakan, rumahplesiran, cokelatsusu). Tapi semua itu malah semakin menyeret pembaca untuk menikmati setting tempo doloe yang nyata.

            Lebih dari itu semua, karakter-karakter dalam Bumi Manusia begitu beragam dan nyata. Begitu utuh seolah-olah mereka benar-benar ada di masa lalu. Kemudian, dengan segala kelebihan dan kekurangan yang melekat pada masing-masing jiwa, manusia memang tidak ada yang sempurna. Yang sayangnya, ketidaksempurnaan itulah yang sering kali membuat kita alpa bahwa semua kita aslinya adalah sama dan sederajat. Kita semua tinggal dan berdiam di ranah yang sama. Hanya karena yang satu lebih maju dan kaya, layakah kemudian menindas yang papa dan tak berdaya? Padahal, kita semua hidup di bumi yang sama, Bumi manusia.  

12 comments:

  1. ending reviewnya nendang banget, setelah baca reviewnya Ndari aku jadi kepengen baca buku ini, cari pinjeman ahhhhh #kode :))

    ReplyDelete
  2. Aseeeekk.. nabuung.. nabuuung biar serinya lengkaap :))

    ReplyDelete
  3. waah..tadinya mau baca ini tpi takut gk kelar..sekarang nyesel deh setelah baca reviewmu dion aihhhhh...

    ReplyDelete
  4. Mungkin dilarang justru karena 'keterbukaan' dan caranya yang blak-blakan ya, aq baca Gadis Pantai juga merasa sama, kenapa sampai jadi korban vandalisme, tapi memang kita hidup di era yg berbeda, jadi krg bisa memahami suasana hidup serba 'dibungkam' waktu itu

    ReplyDelete
  5. sama kayak mas Tezar, belum batja buku ini juga, heheh.

    Ending reviewnya keren, uey -> "Padahal, kita semua hidup di bumi yang sama, Bumi manusia" :'D

    ReplyDelete
  6. kalau nemu yang diskon macam buku-buku kemarin aku mau dong :D
    *blom pernah baca bukunya Pram*

    ReplyDelete
  7. buku ini memang layak baca bangeet..:)

    ReplyDelete
  8. aku dapet buku ini dari kick andy 3-4 tahun yang lalu tapi sampe sekarang belum aku baca >_<!!

    ReplyDelete
  9. eh tunggu, yang dari kick andy itu buku ini apa yang Kartini ya -__-;; tapi kayaknya aku didongengi ini barengan sama ujian Pengantar Hukum

    ReplyDelete
  10. Dengan mahakarya ini, mestinya Pram sudah mendapatkan Nobel Sastra, seandainya tidak ada tangan-tangan culas yang menjegalnya. Salam kenal

    ReplyDelete