Judul : Bumi Manusia
Pengarang : Pramoedya Ananta Toer
Editor : Astuti Ananta Toer
Sampul : Nadia
Cetakan : 17, Januari 2011
Tebal : 535 hlm
Penerbit : Lentera Dipantara
Sebuah karya
besar tetaplah sebuah karya besar, tidak peduli orang berupaya membredel,
melarang terbit, dan melenyapkannya. Pemerintah Indonesia sempat
menyembunyikannya di masa Orde Baru, tapi toh dunia tetap membaca dan bahkan
menyebarluaskannya. Dari sini kita harus belajar, sebuah karya tidak melulu
dilihat dari siapa pengarangnya, tapi isi yang disampaikannya. Sentimen
antikomunis dan kecurigaan tidak perlu kepada etnis tertentu yang sempat
mengemuka di masa lalu, tidaklah kemudian menjadi pembenaran untuk
menutuip-nutupi permata yang dimiliki bangsa kita kepada dunia. Nyatanya, Bumi Manusia memang permata kaya yang
indah sungguh. Pancarannya bahkan terlebih dulu sampai ke Amerika dan Eropa, sebelum akhirnya secara resmi masuk di toko buku-toko buku di Nusantara.
Bumi Manusia adalah buku pertama dari
Tetralogi Pulau Buru karya Pram yang sudah begitu mendunia. Kisah ini mengambil
setting awal-awal masa pergerakan nasional di pergantian abad ke-19 dan ke-20.
Tokoh utamanya adalah Minke, sebuah nama unik yang tadinya berasal dari julukan
gurunya, yang seorang barat. Minke sendiri adalah anak seorang bupati di daerah
B dan bergelar Raden Mas dengan sejumlah hak istimewa. Di antaranya, dia berhak
bersekolah di sekolah-sekolah Belanda yang waktu itu terlarang bagi pribumi. Pendidikan
Eropa telah membentuknya menjadi seorang pribumi Jawa berpikiran Eropa, tapi
pendidikan Eropa juga yang mencerabutnya sedemikian rupa terhadap tradisi dan
budaya Jawa.
“Tidak bisa mereka melihat Pribumi tidak
penyek terinjak-injak kakinya, bagi mereka, Pribumi mesti salah, orang Eropa
harus bersih, jadi pribumi pun sudah salah. Dilahirkan sebagai Pribumi lebih
salah lagi.” (hlm 413)
Layaknya
seorang berpendidikan, Minke
mempertanyakan segalanya, termasuk apa yang dilakukan oleh gurunya—Bangsa
Eropa—kepada bangsanya sendiri. Kecut hatinya melihat pribumi diinjak-injak dan
diremehkan oleh bangsa kolonial, sementara karya-karya besar dari Eropa
mengajarkan tentang humanisme dan persamaan derajat. Perbudakan memang telah
dihapuskan kala itu, tapi toh para mister kumpeni tetap memandang rendah
pribumi, bahkan cenderung memperlakukan mereka semena-mena.
Bahkan, Minke mengkritisi para bangsawan kerajaan di Jawa yang entah kenapa begitu lemah pada masa itu. Mereka berusaha tampil berwibawa di hadapan rakyatnya, tapi tunduk kepada orang kulit putih yang menjajah tanah Jawa. Hanya kepada orang-orang Aceh, Minke memberi penghormatan atas perjuangan mereka yang gagah berani melawan Belanda. Dan, sejarah membuktikan bahwa Belanda adalah wilayah terakhir di nusantara yang berhasil ditaklukan Belanda.
Bahkan, Minke mengkritisi para bangsawan kerajaan di Jawa yang entah kenapa begitu lemah pada masa itu. Mereka berusaha tampil berwibawa di hadapan rakyatnya, tapi tunduk kepada orang kulit putih yang menjajah tanah Jawa. Hanya kepada orang-orang Aceh, Minke memberi penghormatan atas perjuangan mereka yang gagah berani melawan Belanda. Dan, sejarah membuktikan bahwa Belanda adalah wilayah terakhir di nusantara yang berhasil ditaklukan Belanda.
Kekritisan
Minke terhadap kondisi bangsanya yang begitu lemah padahal diinjak-injak begitu
rupa oleh Belanda membuatnya semakin gemas. Sebagai pelajar H.B.S, ia tidak
bisa berbuat banyak kecuali berjuang lewat tulisan. Dengan nama samaran Max
Tollenaar, Minke menulis banyak tentang kondisi Hindia Timur dan orang-orang
yang hidup di atas tanahnya nan subur. Sekali lagi, ia harus menggunakan nama
dan bahasa Belanda agar tulisannya dibaca, baik oleh Belanda maupun kaum
pribumi.
“Memang begitu kehidupan kolonial di mana
saja: Asia, Afrika, Amerika, Australia. Semua yang tidak Eropa, lebih-lebih
tidak kolonial, diinjak, ditertawakan, dihina, hanya untuk berpamer tentang
keunggulan Eropa dan keperkasaan kolonial. (hlm 416)
Pertemuannya dengan
Nyai Ontosoroh dan Annelie juga semakin mengobarkan jiwa pemberontakkannya.
Diperlakukan ibarat barang dagangan, Nyai Ontosoroh atau Sanikem adalah seorang
wanita berhati baja dengan dendam yang menyala-nyala. Tekadnya begitu rupa
untuk melawan ketidakadilan yang menimpa dirinya sehingga secara otodidak ia
menempa dirinya sendiri menjadi seorang berpendidikan dan berkarakter. Tapi ia
tetap menyebut diri sebagai nyai, dengan gelar yang rendah itu. Sebuah anomaly,
dan memang buku ini penuh dengan anomali-anomali indah yang digarap secara
menakjubkan. Ia belajar membaca dan menulis, dan kemudian mengembangkan
pemikirannya dengan membaca karya-karya besar dunia. Dari suaminya, tahulah ia
betapa penting membaca sastra itu.
“Kalian
boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai sederet gelar kesarjanaan apa
saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai.”
(hlm 313)
Entah
bagian mana yang membuat karya ini begitu haramnya sehingga dilarang terbit
pada masa Orde Baru. Apakah keterus-terangan Pram dalam menunjukkan
kebenciannya pada Belanda? Ataukan keceplas-ceplosannya dalam mengkritik para
raja di Jawa, ataukah ide-idenya yang begitu progresif tentang berbagai hal,
yang walaupun positif tapi tidak semua orang bisa menerimanya? Yang jelas, buku
ini ditulis dengan bagus sekali, tampak jelas benar bahwa penulisnya adalah
orang yang gemar membaca, banyak berdiskusi, serta menjadikan menulis sebagai
bagian hidupnya.
Berbagai istilah ala Belanda banyak menghiasi halaman-halamannya, begitu juga suasana romantisme alam kolonial di Hindia Timur pada akhir abad ke-19 yang digambarkan dengan begitu hidup dan detail. Juga, walaupun ditulis dengan gaya bahasa lama, tidak mengurangi keasyikan membacanya. Banyak kata-kata yang kini sudah tidak dipergunakan lagi, juga kecenderungan untuk menulis dua kata benda (noun phrase) secara bersambung (mejamakan, rumahplesiran, cokelatsusu). Tapi semua itu malah semakin menyeret pembaca untuk menikmati setting tempo doloe yang nyata.
Berbagai istilah ala Belanda banyak menghiasi halaman-halamannya, begitu juga suasana romantisme alam kolonial di Hindia Timur pada akhir abad ke-19 yang digambarkan dengan begitu hidup dan detail. Juga, walaupun ditulis dengan gaya bahasa lama, tidak mengurangi keasyikan membacanya. Banyak kata-kata yang kini sudah tidak dipergunakan lagi, juga kecenderungan untuk menulis dua kata benda (noun phrase) secara bersambung (mejamakan, rumahplesiran, cokelatsusu). Tapi semua itu malah semakin menyeret pembaca untuk menikmati setting tempo doloe yang nyata.
Lebih
dari itu semua, karakter-karakter dalam Bumi
Manusia begitu beragam dan nyata. Begitu utuh seolah-olah mereka
benar-benar ada di masa lalu. Kemudian, dengan segala kelebihan dan kekurangan
yang melekat pada masing-masing jiwa, manusia memang tidak ada yang sempurna.
Yang sayangnya, ketidaksempurnaan itulah yang sering kali membuat kita alpa
bahwa semua kita aslinya adalah sama dan sederajat. Kita semua tinggal dan
berdiam di ranah yang sama. Hanya karena yang satu lebih maju dan kaya, layakah
kemudian menindas yang papa dan tak berdaya? Padahal, kita semua hidup di bumi
yang sama, Bumi manusia.
ending reviewnya nendang banget, setelah baca reviewnya Ndari aku jadi kepengen baca buku ini, cari pinjeman ahhhhh #kode :))
ReplyDeleteAku aja yg minjem jd pengen beli hahaha
DeleteAseeeekk.. nabuung.. nabuuung biar serinya lengkaap :))
ReplyDeletewaah..tadinya mau baca ini tpi takut gk kelar..sekarang nyesel deh setelah baca reviewmu dion aihhhhh...
ReplyDeleteMungkin dilarang justru karena 'keterbukaan' dan caranya yang blak-blakan ya, aq baca Gadis Pantai juga merasa sama, kenapa sampai jadi korban vandalisme, tapi memang kita hidup di era yg berbeda, jadi krg bisa memahami suasana hidup serba 'dibungkam' waktu itu
ReplyDeletebelum baca.... Dududu
ReplyDeletesama kayak mas Tezar, belum batja buku ini juga, heheh.
ReplyDeleteEnding reviewnya keren, uey -> "Padahal, kita semua hidup di bumi yang sama, Bumi manusia" :'D
kalau nemu yang diskon macam buku-buku kemarin aku mau dong :D
ReplyDelete*blom pernah baca bukunya Pram*
buku ini memang layak baca bangeet..:)
ReplyDeleteaku dapet buku ini dari kick andy 3-4 tahun yang lalu tapi sampe sekarang belum aku baca >_<!!
ReplyDeleteeh tunggu, yang dari kick andy itu buku ini apa yang Kartini ya -__-;; tapi kayaknya aku didongengi ini barengan sama ujian Pengantar Hukum
ReplyDeleteDengan mahakarya ini, mestinya Pram sudah mendapatkan Nobel Sastra, seandainya tidak ada tangan-tangan culas yang menjegalnya. Salam kenal
ReplyDelete