Judul: Kiai Ujang di Negeri Kanguru
Penulis: Nadirsyah Hosen
Cetakan: Pertama, Maret 2019
Tebal: 276 hlm
Penerbit: Noura
"Perbedaan-perbedaan pendapat dalam umatku adalah satu (pertanda dari) kasih sayang Tuhan. (hlm. 213)
Islam itu luas dan luwes, dengan begitu banyak keragaman pendapat yang menunjukkan betapa perbedaan itu tidak hanya indah tetapi juga bisa menjadi berkah jika kita bisa menyikapinya dengan bijak. Dan cara terbaik untuk belajar menghargai perbedaan adalah dengan turut mengalami sendiri menjadi yang berbeda, dan mencoba melihat dan tinggal dengan mereka yang berbeda. Seperti yang dilakukan Kyai Ujang di buku ini: menuntut ilmu di Australia. Berbeda dengan catatan perjalanan lain tentang tinggal dan sekolah di luar negeri, buku ini lebih banyak berisi kajian keislaman yang dikaitkan dengan masa tinggal penulis selama di Australia. Kita tidak akan menemukan kisah tentang kanguru, atau orang Aborigin, atau pengalaman mengemudi di negara benua itu.
"Orang Barat tidak mengenal Islam tetapi mempraktikan nilai-nilai keislaman yang universal. Mereka sering dianggap individualistis, dituduh tidak pedulian dengan orang lain. Namun, sejatinya mereka itu hanya tidak usil kepada orang lain." (hlm. 322)
Di buku ini, kita serasa mengikuti kajian keislaman dengan latar benua Australia. Akan kita temukan, drama membeli daging halal di negara nonmuslim, bagaimana hukumnya berwudu dengan mengusap kaus kaki ketika di sana tidak ada tempat untuk berwudu, dan bagaimana hukumnya menerima undangan minum bir oleh kolega setempat. Penulis tidak langsung menunjuk kalau yang begini haram dan begitu halal, tetapi beliau menuliskan sejumlah tafsir dari beberapa mahzab dan aliran dalam Islam. Tidak hanya 4 Mahzab utama, tetapi juga sejumlah mahzab kecil lainnya.
"Kalau kita membuka kitab fiqih, maka hanya sekitar 20% yang berisikan syariah. Selebihnya merupakan opini, pemahaman, intrepretasi, atau penerapan yang kita sebut dengan fiqih.(hlm. 149)
Saya jadi tahu kalau diperbolehkan menggusap kaus kaki ketika kondisi tidak memungkinkan untuk berwudu, atau diperbolehkannya mandi junub dengan tayamum ketika kondisi sangat dingin dan mandi bisa menyakiti diri, juga tentang diperbolehkannya "berganti mahzab" dengan sejumlah catatan. Hal yang menarik, penulis dalam sosok Kyai Ujang menuliskannya dengan lembut dan tidak menghakimi. Kita yang awam serasa diajak belajar fiqih. Pembaca yang sama sekali tidak mengenal Kitab Kuning juga diajak mendalami sisi-sisi kitab klasik ini lewat kisah-kisah yang mudah dicerna.
"Keragaman pendapat dalam Islam itu hal yang biasa dan wajar saja. Sayangnya, mereka yang tidak memiliki akses kepada khazanah klasik kitab kuning yang merekam keragaman pendapat ulama biasanya cenderung antipati thd pendapat ulama yang berbeda dengan apa yang selama ini mereka pahami atau amalkan." (hlm. 182)
Selain luwes, ada aroma tasawuf yang diselipkan penulis. Lewat sosok Haji Yunus, beliau menginsyaratkan pentingnya untuk bersikap tawadu atau rendah hati dalam mencari ilmu. Dalam beberapa kali kesempatan, penulis seperti ditegur ketika dia merasa berguna karena sudah membantu orang dengan ilmu fiqihnya. Teguran yang langsung menyadarkan kita bahwa seluruh ilmu sejatinya adalah milik Allah dan kita hanya diberikan secuil dari samudra ilmuNya yang luas.
"Cara kita menghakimi orang lain adalah bentuk mekanisme pertahanan diri kita, yang tidak bisa menerima fakta orang lain lebih baik dari kita." (hlm. 224)
Plus karena semua ilmu adalah milik Allah SWT, sudah seharusnya umat Islam tidak alergi mempelajari ilmu-ilmu nonagama seperti fisika, biologi, sastra, psikologi, teknologi dan seluruh cabang keilmuwan yang kini dikuasai dan dipelopori bangsa Barat dan Asia Timur. Ingat, umat Islam pernah mempimpin peradaban di Abad Pertengahan. Kini bukan saatnya lagi bernostalgia mengenang kejayaan masa lalu. Tapi, ini saatnya umat Islam harus turut belajar segenap cabang ilmu. Bukan untuk menjadi jaya dan berkuasa, tetapi untuk meninggikan derajat. Betapa Allah pun memandang tinggi orang-orang yang berilmu.
"Belajar tasawuf itu bukan soal kegaiban atau keajaiban, tapi soal akhlak sehari-hari." (hlm. 224)
Beberapa artikel lepas yang cukup unik di buku ini: apakah sang Budhha Gaotama itu Nabi Zulkifli? Siapakah 3 Rasul yang disebut dalam Surat Yaa Sin? Apakah benar mereka itu Petrus, Johanes, dan Paulus? Mengapa Australia yang sekuler malah telah mampu menerapkan konsep islami tentang bernegara ketimbang negeri-negeri Islam? Mengapa tidak ada yang bisa menyamai Nabi Yahya? Masih banyak lagi yang seru di buku ini.
"Bertanya kepada orang lain yang lebih tahu termasuk baian dari ikhtiar. Bukanlah al-Qur'an menanjurkan kita untuk bertanya jika kita tidak mengetahui (hlm. 15)
No comments:
Post a Comment