Search This Blog

Friday, December 20, 2024

Kita dan Mereka, Ilusi dari Identitas

Judul: Kita dan Mereka

Penulis: Agustinus Wibowo

Tebal: 667 hlm

Cetakan: 3, Maret 2024

Penerbit: Mizan 



                Setiap kita membawa dalam diri kita semua perangkat identitas beserta segala konflik dan kisahnya. Kita punya agama, bangsa, negara, kepercayaan, pilihan politik, keluarga, pekerjaan, kelas sosial, hingga pengarang favorit. Segala atribut identitas ini menempel begitu erat bersama diri kita, menjadikan kita seperti kita. Tidak hanya menjadi tanda tentang siapa diri kita, kadang identitas ini terlalu lekat melekat sehingga setuap upaya dan siapa yang mencoba menyenggolnya dapat memicu reaksi perlawanan: aku versus dia, kita versus mereka. Agustinus Wibowo lewat buku ini mencoba mengupas lapis demi lapis kedirian kita yang terlalu erat melekat (bahkan mengingkat) ini. Menunjukkan kepada kita bahwa semua atribut diri ternya begitu subjektif, rapuh, dan terkadang tidak seberharga itu jika kita memandangnya dari sudut pandang yang lebih besar.

“…karena manusia adalah makhluk yang berpikir, terus menciptakan cerita, dan terus menemukan makna dari segala penderitaan dan keterbatasan yang dialami. Itulah yang membuat kita bisa terus beradaptasi dengan perubahan, terus berupaya menciptakan lingkungan yang lebih baik, demi tetap sintas. (hlm. 540).

                Lewat perjalanan fisik yang dilakukannya menjelajahi beragam bangsa dna negara di dunia, Agustinus menemukan berbagai fakta yang menunjukkan betapa manusia itu berbeda-beda tetapi sama. Kita terbentuk oleh cerita,-cerita memiliki tembok batas maisng-masing, membangun peradaban yang berputar jatuh bangunnya, saling berperang dan berkonflik, meyakini suatu sistem keyakinan tertentu, hingga membentuk diri dengan segala aku dan kamunya. Hal-hal yang begitukita pegang erat sehingga semua yang berbeda tidak jarang dianggap mengancam. Perjalanan fisik di tanah asing menjadikan kita mampu menanggalkan jubah keakuan ini, menjadi bukan siapa-siapa kecuali bagian dari satu kelompok besar umat manusia.

“Tiada tempat yang sempurna di dunia ini, tiada tanah surgawi berlimpah susu dan madu. Kemana pun kita pergi, di mana pun kita menetap, selalu ada tantangan yang menghadang, selalu ada perjuangan yang harus dilalui untuk membuat suatu tempat menjadi rumah yang sejati. ” (hlm. 585)

                Setelah perjalanan fisik, berikutnya Agustinus melakukan perjalanan sejarah dengan pembacaan ratusan buku yang membawanya melintas waktu. Sebuah upaya yang menyadarkannya bahwa peradaban manusia memang dipergulirkan jatuh bangunnya, tidak peduli siapa mereka: apakah muslim, Kristen, ateis, penyembah berhala. Setiap kita merupakan hasil dari berpuluh-puluh bahkan berates generasi yang telah lalu. Sejarah mengajarkannya bahwa identitas yang sering terlalu erat kita pegang itu ternyata sebenarnya juga terus berubah. Indonesia sempat dikenal sebagai negara muslim dengan penduduk terbesar di dunia. Tapi sejarah menunjukkkan agama besar yang mendominasi perjalanan sejarah panjang bangsa ini adalah Hindu dan Buddha (18).

                “Apa yang tidak bisa kau terima, ubahlah; dan apa yang tidak bisa kau uah, terimalah.” (hlm 586).

                Perjalanan sejarah yang tidak pernah lepas dari konflik dan perang menunjukkan betapa keakuan diri selalu ada. Agustinus mengatakan betapa manusia tampaknya sangat berbakat untuk menonjolkan perbedaan-perbedaan di antara mereka  dan mengobarkan perang atas dasar perbendaan-perbedaan identitas tersebut (19). Bahkan agama yang seharusnya menjadi penuntun kehidupan dan pencipta keharmonisan pun menjadi salah satu bentuk identitas yang membelanya palingg berdarah-darah. Di masa lalu, seseorang bisa diperangi karena tuhannya berbeda, atau karena tidak bertuhan. Sekarang, cara ibadah yang berbeda bahkan cara berpakaian berbeda pun dapat memicu konflik. Mengapa kita berperang hanya karena kita berbeda?

                “Ketika identitas kelompok dipegang terlalu kuat hingga mendominasi pikiran individu, identitas kelompok itu kemudian menjadi satu-satunya kebenaran aginya sehingga dia tidak lagi bisa melihat kebenaran yang mungkin ada di luar kelompoknya. Hal ini bisa mendorong individu menjadi fanatic dan ekstrem, bahkan sampai pada tingkat memenci orang-orang dari kelompok lain.” (hlm. 606)

                Mempertanyakan kembali identitas diri memang tidak nyaman. Tidak semua orang berani mempertanyakan lagi segala atribut identitas yang sudah telanjur melekat pada diri sekian lama. Benarkah bangsa kita ramah dan cinta damai? Apakah bangsa Eropa itu hanya penjajah dan membawa penderitaan rakyat? Bukankah tahun 1965 menjadi bukti sejarah pembantaian jutaan anak bangsa oleh sesama anak bangsa. Bahwa karena penjajahan Belandalah sejatinya negara NKRI bisa terbentuk (wilayah Indonesia bentukan Belanda saat ini malah lebih luas wilayahnya ketimbang di era imperium Majapahit). Jika tidak dijajah Belanda, Indonesia mungkin masih berupa kumpulan kerajaan dan kesultanan kecil yang masih saling berperang dan berebut pengaruh. Dengan demikian, mampukah kita kemudian meninggalkan narasi kebangsaan yang sempit dan mengakui bahwa bagaimana pun Indonesia ada karena Belanda?

                “Pada permukaannya, konflik identitas terlihat sebagai pertarungan antara benar atau salah. Kami benar, kalian salah. Kita benar, mereka salah. Ini adalah pola pikir dualis yang telah menjadi bagian dari sejarah peradaban manusia selama berabad-abad.” (hlm. 607)

                Apakah dengan demikian kita tidak boleh menjadi seorang nasionalis? Apakah kita harus memuji Belanda? Bukan seperti itu. Lewat buku ini, Agustinus mengajak kita menanggalkan keyakinan-keyakinan berlebihan yang mendorong pada konflik. Buku ini mengajak kita mengedepankan persamaan ketimbang perbedaan sehingga kita mampu memandang segala sesuatu dari cakrawala yang lebih objektif, lebih manusiawi, tidak berlebihan. Mampukah kita?

 Banyak orang yang memilih tetap tinggal dalam kenyamanan kegelapan yang seragam ketimbang menikmati indahnya warna-warni keberagaman dalam sebuah pelangi. Agustinus bahkan sudah dari awal memberikan peringatan, betapa membaca buku ini mungkin akan menimbulkan rasa tidak nyaman bagi sementara orang. Tetapi, ketidaknyamanan itu memang perlu. Mengupas kulit sendiri memang menyakitkan, tetapi itu tak bisa dihindari jika kita ingin menemukan siapa diri sejati kita yang sebenarnya.

                 Hal pertama yang perlu dikupas adalah tembok kedirian. Manusia membangun tembok, dengan tujuan untuk melindungi diri dan keluarga dari berbagai serangan dan ancaman dari luar. Tembok ini bsa berupa “tembok pikiran” di dalam kepala kita. Bisa juga tembok fisik nyata sepanjang 6000 km dengan 20.000 menara yang kini kita kenal dengan Tembok besar Cina. Tembok menjadi bentuk kecenderungan manusia untuk membeda-bedakan antara kita versus mereka. Tembok ini bahkan sudah terbentuk secara alamiah ketika kita masih bayi. Bayi yang baru lahir akan menangis bahkan ketika digendong oleh ibunya sendiri. Bayi itu juga gampang tertidur pulas, tidak perduli siapa yang mengendongnya (apakah suster, atau ibunya). Tapi beberapa bulan kemudian, si bayi sudah menciptakan temboknya sendiri. Ia akan menangis jika digendong oleh yang bukan ibunya atau bukan keluarganya.

                “Keberagaman manusia adalah hukum alam. Merangkul keberagaman berarti mengalir bersama Hukum Alam.” (hlm. 613).

                Tembok adalah mekanisme utama perlindungan diri yang wajar dan alamiah. Tetapi seperti tembok Besar Cina yang gagal melindungi Kerajaan dari serangan suku nomad Asia Tengah, tembok adalah perlindungan yang rentan. Manusia sejatinya membangun tembok hanya untuk mengusir rasa takut, bukan mengusir musuh. Tembok bukan emnciptakan keamanan, tetapi hanya menciptakan perasaan aman (43). Hal ini karena manusia ingin tetap berada dalam goa perlindungannya yang seragam. Tidak ingin melihat keberagaman dunia. Tembok kemudian menjadi benteng untuk pembeda antara diri yang dianggap baik dan paling beradab dengan mereka yang di luar tembok dan dianggap liyan karena berbeda.  Tembok yang awalnya untuk melindungi fisik, menjadi pelindung ego juga.

                “Semua identitas adalah konsep abstrak yang tidak mampu punya emosi atau perasaan. Negara tidak bisa menangis. Agama tidak dapat dipermalukan, ideology tidak bisa marah, klub sepak ola tidak dapat dipecundangi. Yang bisa merasa bersedih, malu, marah, atau terhina adalah manusia, yaitu individu-individu yang secara kuat mengidentifikasi diri dengan identitas-identitas itu.” (hlm 606)

                Bab tentang Cerita dan Agama termasuk bagian paling mindblowing di buku ini. Penulis membongkar seluruh konsep tentang negara, uang, bangsa, hingga pemerintahan sebagai suatu cerita yang terus diembuskan dan dipercaya agar dunia bisa berjalan. Tentang uang misalnya, ada segolongan orang yang membuat kita oercaya bahwa beberapa lembar kertas isa ditukarkan dengan sekarung beras, bahkan setumpuk kertas bernama uang bisa “ditukarkan” dengan tanah seluas 1 hektar beserta semua kekayaan yang dikandungnya. Demikian juga negara, Agustinus menulis bahwa negara bisa ada karena kita percaya dia ada. Mitos tentang negara ini lalu diperkuat dengan “cerita-cerita lain” seperti lagu kebangsaan, bendera negara, angkatan bersenjata, uang, lambang negara, dan banyak lainnya. Betapa kacaunya dunia ketika ada banyak orang yang sudah tidak mempercayai cerita tentang uang dan negara.

                “Hidup ini bukanlah tentang kontradiksi antara benar atau salah, melainkan tentang perpaduan berbagai elemen yang tampaknya berkonflik satu sama lain, yin dan yang, yang saling melengkapi demi terwujudnya harmoni yang utuh.” (hlm. 611)

Demikianlah, lewat riset pustaka dan pengamatan dan pengalaman nyata, penulis menyusun tesis-tesis menariknya di buku. Termasuk membongkar segala hal yang kita percayai dan itu turut membentuk identitas kedirian kita. Bahkan Agustinus di buku ini memilih tetap menggunakan kata “Cina”, bukan hanya Tionghoa semata padahal yang pribumi pun cenderung menghindari menggunakannya. Bahkan konsep siapa pribumi dan siapa pendatang di Indonesia pun sesungguhnya masih sangat kabur. Sudah bukan waktunya lagi berdebat tentang siapa si paling pribumi karena kedua sisi seharusnya sama-sama berperan aktif meredam konflik. Mayoritas menciptakan lingkungan yang menerima identitas minoritas, sementara individu dengan identitas minoritas juga harus mau menerima dan berusaha agar diterima di lingkungannya.

                “Kalau kau menganggap dirimu minoritas, selamanya kau adalah minoritas. Kalau kau menganggap dirimu korban, selamanya kau adalah korban. Ini adalah masalah sudut pandang.” (hlm 587)

 Ketika kedua belah pihak sama-sama saling berjuang, maka tidak ada lagi konsep kita versus liyan atau kita vs mereka, melainkan sebuah konsep yang satu dan menyatu:  kita dan mereka.  

                “Semua peradaban, semua budaya, semua negara, semua agama, semua individu; masing-masing memiliki kontribusi unik mereka dalam membangun narasi yang kaya tentang kehidupan dunia.” (hlm 609)

No comments:

Post a Comment