Judul: The Last Waterbird
Pengarang: Baia Panutur
Cetakan: Pertama, Januari 2023
Tebal: 236 hlm
Penerbit: Balai Pustaka
Ambisi untuk meraih kembali kejayaan di masa lalu sering kali menyeruak dari dalam hati sebagian bangsa ini. Seperti kita ketahui, Nusantara pernah menjadi kekuatan yang disegani pada masa Klasik. Masa keemasan peradaban itu ditandai dengan kemegahan Kerajaan Sriwijaya dan kebesaran Imperium Majapahit. Kerajaan yang terakhir bahkan mampu menyatukan hampir seluruh wilayah Nusantara ditambah Malaya bahkan sampai Philippina. Meskipun bagaimana Majapahit bisa mengontrol wilayah seluas itu masih diperdebatkan, semua sepakat bahwa Majapahit memang kekuatan maritim yang dahsyat.
"Seorang pemimpin yang baik adalah dia mempunyai saujana yang luas, seberapa jelas dia melihat jalur-jalur yang akan membawa menuju kebaikan bangsa." (131)
Permisi inilah yang digunakan pengarang sebagai tema sentral novel ini. Sebuah upaya untuk mengembalikan kejayaan Nusantara, tapi dilakukan dengan memusnahkan semua yang sudah telanjur ada untuk kemudian dibangun yang baru di atas puing-puingnya. Sosok itu bernama Naya Genggong, entitas sakti dari masa lampau yang konon bisa mengarungi waktu. Sosok ini telah dan akan hidup selama ratusan tahun. Dia pernah dan telah menyaksikan peradaban besar di Nusantara tumbuh, jaya, dan akhirnya jatuh. Janji 500 tahun setelah runtuhnya Majapahit menjadi linimasa dimulainya pemusnahan akbar untuk memulai peradaban penerus Majapahit. Naya hendak memusnahkan negeri Indonesia!
"Hari ini 21 Mei adalah hari besar dan hari bersejarah. Hari runtuhnya sebuah rezim, turunnya singasana sang Singa." (131)
Saat itu tahun 1998, masa yang krusial dalam sejarah negeri ini. Jika kita masih ingat, 1998 adalah periode gelap negeri ini. Dimulai dengan merosotnya nilai rupiah, lalu datangnya Krisis Moneter, maraknya berbagai demontrasi, kerusuhan rasial dan penjarahan di kota kota besar, dan puncaknya adalah lengsernya Presiden Soeharto setelah 32 tahun memerintah negeri ini. Kejadian ini masih diperparah dengan timbulnya kebakaran hutan luar biasa hebat di Pulau Sumatra. Bencana alam yang luar biasa dahsyat. Tahun 1998 benar - benar menjadi tahun ketika negeri ini diserang bertubi-tubi dari segala sisi. Mungkinkah ini janji Naya Genggong yang hendak meruntuhkan negeri ini untuk membangun lagi kejayaan masa lalu?
"Memang betul kondisi Indonesia begitu aneh sejak tahun lalu. Pasti ada jalan, pasti selalu ada jalan keluar." (40)
Maesa Pater, tokoh utama novel ini, dikisahkan bekerja di sebuah Organisasi Internasional yang bertugas untuk mengatasi kebakaran hutan di Sumatra. Karena asap kebakaran telah turut mencemari udara Malaysia dan Singapura, juga status Hutan Hujan Sumatra yang menjadi warisan biosfer dunia, Maesa bersama beberapa rekan dari berbagai negara berjibaku untuk bisa memadamkan apinya. Di sela sela pekerjaannya yang berat dan terpencil itulah, dia menyempatkan saling berkirim email dengan rekan dan juga calon kekasihnya. Novel ini mengambil latar 1998, dengan media berbalas email sebagai cara pe ceritaannya. Dari email yang dikirimkan Maesa dan teman temannya, cerita ini bergerak.
"Kenapa selalu menyalahkan rutinitas? Rutin itu bagus untuk membentuk kebiasaan dan disiplin." (34)
Karena berupa email, novel ini hampir semuanya naratif. Semua kejadian dan tokoh dan gagasan disampaikan lewat sudut pandang orang pertama. Ini teknik yang unik tetapi sekaligus juga membatasi. Unik karena pembaca disuguhi kolom-kolom email di sepanjang novel dan bukannya paragraf-paragraf seperti biasa. Rasanya seperti mengintip atau ikut membaca cerita di sebuah mailing list yang memang pernah jaya beberapa eh banyak tahun lalu. Di sisi lain, teknik ini lama-lama terasa membosankan karena saya sebagai pembaca berasa jadi orang luar yang iseng mengintip percakapan sekelompok orang. Separuh awal buku ini membutuhkan waktu pembacaan yang lama, karena jujur saya bosan. Apalagi ceritanya terasa belum bergerak, tidak ada konflik. Semacam saling tukar kabar yang sebenarnya tidak terlalu penting.
Cerita baru mulai terasa seru setelah separuh belakang. Mulai muncul bibit konflik, dan ini ditambah dengan selingan berbagai peristiwa 1998 terutama kerusuhan rasial yang menimpa salah satu teman Maesa. Bagian ini dramatis sekali dan sangat menyentuh, seharusnya ada banyak kisah kisah berkonflik bagus yang diangkat sejak awal novel ini. Sayang sekali sebenarnya karena cerita ini sebenarnya bagus tapi ada terlalu panjang pengantar di bagian depan yang seharusnya bisa dipotong. Selain menghemat halaman (dan juga kertas sehingga harga buku ini lebih murah), juga untuk mengambil perhatian pembaca sejak awal. Masa digital ketika pembaca disuguhi dengan beragam pilihan interaktif (video bergerak dan animasi), buku ini sepertinya harus berjuang lebih untuk merebut perhatian pembaca. Dan percakapan Maesa dan kawan kawan seharusnya bisa diringkas lagi karena hanya beberapa bagian saja sepertinya sudah cukup untuk membangun konflik. Sebagaimana pembaca lainnya, saya menantikan kemunculan sosok Naya yang mengagumkan itu.
"Manusia hanyalah mahkluk yang suka berkhayal akan rencana, sombong akan akal pikiran yang diberikan tanpa menyadari betapa kecil dirinya terhadap alam raya." (212)
Sosok Naya Genggong baru dimunculkan di sepertiga akhir buku. Di bagian ini, email email Maesa menjadi lebih panjang (dan saya suka) menyerupai bab-bab dalam novel. Inilah bagian permata di novel ini karena isinya konflik tanpa henti. Maesa dan kawan-kawan perusahaannya harus menghadapi entitas kuno yang disinyalir menjadi sumber utama dari kebakaran hutan itu. Lebih parahnya lagi, Naya berkomplot dengan sejumlah rekan Maesa entah karena pengaruh uang ataukah memang mereka menemukan idealismenya pada sosok Naya. Mereka ingin negeri yg makmur, hanya saja caranya keliru. Kemakmuran tidak selayaknya dibangun di atas pemusnahan. Maesa CS pun harus berjuang menghadapi kobaran api, pengkhianatan, dan juga sosok perkasa dari zaman purba.
Naya sendiri dikisahkan sebagai sosok wanita berbusana Jawa dengan kemampuan mengarungi waktu. Dia bwrasal dari era awal Majapahit dan konon pernah berinteraksi dengan raja-raja besar tanah Jawa. Kemunculannya di dekat Istana Siak dikarenakan adanya sebuah kotak Pandora yang jika dibuka akan melimpahkan bermacam keburukan bagi negeri. Maesa dibuat kewalahan dengan sosok gaib yang menerornya ini. Bagaimana seorang biasa bisa melawan sosok yang bisa menghentikan waktu? Setiap kali diserang, Naya bisa sejenak menghentikan waktu dan berpindah. Dia bahkan bisa menghentikan waktu dalam suatu tempat termasuk orang-orang di dalamnya. Walaupun kekuatan ini agak tidak logis karena jika yang dimaksudkan adalah waktu, maka itu berarti Naya harus bisa menghentikan waktu di seluruh semesta (dan itu mustahil adanya). Kemungkinan Naya tidak menghentikan waktu, tetapi menghentikan gerak semua benda yang berada dalam jangkauan kekuatannya. Waktu tidak mungkin berhenti, bahkan ketika seseorang membeku, waktu sejatinya terus berjalan. Namun konsep kekuatan memanipulasi waktu ini unik karena kita jarang menemukannya dalam versi lokal.
Dan akhirnya, novel ini ditutup oleh pertarungan seru, dengan banyak api, pukulan, dan tembakan. Kemudian, apa sosok burung air terkahir yang menjadi judul buku ini? Iya adalah senjata rahasia Maesa untuk menyelamatkan negeri ini.
"Kita semua hidup dalam jalur masing-masing, satu pesthi untuk satu makhluk. Ini aturan, hidup berjalan dalam angger-angger ini. Dalam garis itu, manusia diberi wekdal peluang untuk berlaku, baik ataupun buruk, benar atau salah, lurus atau memutar, itulah cobaan kita untuk mengarahkan garis pinesthi itu menuju tujuan akhir." (228)
No comments:
Post a Comment