Intisari menjadi majalah paling favorit sejak masa kuliah. Setelah SD dibarengi Bobo, SMP sama Fantasi dan Hoplaa, dan SMA ditemani Bola, Kawanku, dan Haiii; masa kuliah sempat kosong karena merasa belum ada majalah yang cocok. Kebetulan, masa itu adalah tahun 2000an ketika media massa cetak dan buku sedang mencapai puncak keramaiannya.
Reformasi menjadikan publik lebih loss dalam menghadirkan aneka terbitan. Berbagai majalah dan surat kabar cetak baru bermunculan, sementara media daring belum semasif sekarang. Teman-teman angkatan pertengahan 2000 - 2010 pasti masih ingat serunya ke perpustakaan kampus untuk membaca aneka koran dan majalah dengan berbagai tema--dari misteri klenik, olahraga, masakan, properti dan bisnis, sastra dan esai, khusus cerpen, remaja, hingga majalah agama. Dalam pusaran berbagai media itulah saya menemukan Intisari dan menambatkan hati *Halah* pada majalah kecil berformat buku ini.
Intisari mungkin meniru konsep Reader's Digest yang lebih dulu terbit di Amerika Serikat. Namun dalam perjalanannua, majalah ini menyerap unsur lokalitas Indonesia dan menjadi majalah dengan kekhasan tersendiri. Isinya bervariasi tetapi kebanyakan mengangkat tema-tema pengetahuan yang disajikan dengan bahasa dan tulisan ringan. Saya pun terpesona dengan bagaimana majalah ini menyajikan tulisan sejarah, boga, flora fauna, bahasa, politik, budaya, hingga peristiwa aktual dari sudut pandang ilmiah tapi tetap ramah untuk pembaca awam.
Saya pun sempat mengoleksi seluruh edisi Intisari dari tahun 1990 sampai 2006. Sayangnya, koleksi itu sekarnag hilang entah kemana. Kemungkinan dijual kiloan karena dianggap memenuhi rumah. Sedih sekali karena saya tidak bisa melacak sekaligus memelihara dokumentasinya.
Tahun 2020 saya kembali mencoba mencari dan membaca Intisari. Keenganan membaca majalah karena fokus bergeser ke membaca novel dan buku non-fiksi. Dan majalah itu ternyata kembali berubah format. intisari kini hadir lebih fokus pada satu tema besar, dengan tulisan-tulisan pendukung. Temanya pun kebanyakan sejarah. Seperti yang saya baca ini adalah Intisari edisi Juni 2022, bertepatan dengan ulang tahun kota Jakarta yang nyaris berusia 5 abad. Tentu saja isi di dalamnya adalah seputar Jakarta, ditulis oleh para ahli di bidangnya dengan dilengkapi foto dan ilustrasi. Para penggemar sejarah pasti bakal jatuh cinta dengan melihat sampulnya. Intisari ibarat semacam koleksi materi bersejarah dalam bahasa yang mudah.
Bagaimana Banjir di Jakarta sudah coba ditanggulangi sejak era VOC dibahas di edisi ini. Pemerintah Kolonial Belanda bahkan sudah berulang kali membangun tanggul air dan bendungan untuk mengatasi banjir. Batavia bahkan sempat dibangun dengan model kanal kanal mirip di Amsterdam. Hanya saja, kanal-kanal ini segera saja mampet karena tingginya volume lumpur yang dibawa Kali Ciliwung juga derasnya debut air dari atas sementara topografi Batavia adalah datang datar yang membuat air mengalir lambat.
Pada tahun 1900, banyak wilayah Jakarta masih berupa daerah sepi tanpa bangunan. Kebanyakan adalah kawasan perkebunan, hutan, dan tanah tanah partikelir yang sepi. Jakarta waktu itu hanya mencakup Jakarta Kota, Gambir, Salemba, hingga Jatinegara. Bahkan kawasan Menteng masih dibangun. Kebanyakan bangunan Belanda yang sekarang menjadi cagar budaya seperti Istana Merdeka, Lapangan Banteng, kawasan Kota Tua dan lain lain kebanyakan dibangun pada tahun 1800an. Alun alun Merdeka yang sekarang menjadi kawasan Monas sedemikian luas, bahkan lebih besar dari lapangan serupa yang lebih terkenal seperti Hyde Park, Champ de Elyses.
Paling menarik menurut saya adalah bab tentang Tugu Monas. Fakta sejarah mengungkap bahwa monumen kebanggaan bangsa ini ternyata tidak pernah diresmikan secara resmi. Tidak ada prasasti yang menandai kapan bangunan tinggi dengan emas seberat 50 kg di bagian lidah api itu diresmikan. Monas juga tadinya hanya diperuntukkan untuk tamu negara, bukan umum. Salah satu tokoh Internasional yang pernah berkunjung di sana adalah Ratu Elizabeth dari Inggris. Menara ini dibangun dengan tenaga ahli Jepang dengan dibantu para tenaga dan ahli dari Indonesia. Terdapat pula foto foto langka ketika Monas dibangun, dari tiang perancah hingga dioramanya yang legendaris itu.
Sebagai sajian terakhir, makanan selalu menjadi pilihan menawan. Intisari mengupas dan mengulas buku. Jakarta, A Dining History karya Kevindra Soemantri mengupas tentang kuliner di Jakarta dari abad 19 hingga tahun 1990. Makanan menjadi suatu cara untuk melihat karakter sebuah kota. Inilah cara paling mudah dan tentunya juga mengenyangkan untuk menilai dan belajar sejarah suatu kota. Sayangnya, buku gastronomi masih sangat jarang di Indonesia padahal negeri ini kayak akan ragam makanan yang tentunya sangat terkait erat dengan budaya, kebiasaan, sejarah, dan juga kehidupan warga suatu kota. Buku ini untuk kota Jakarta, buku-buku lain masih ditunggu penulisan dan terbitnya.
Intisari memang sudah tidak seberagam dulu. Keputusan menjadikan majalah IPTEK ringan ini menjadi majalah sejarah didasari oleh masifnya penggunaan media sosial. Pembaca kini cenderung mencari informasi lewat media online, yang tentunya tidak detail dan kadang keabsahannya diragukan. Majalah cetak cenderung ketinggalan info yang sifatnya update. Tapi tentang info info kesejarahan, akan lebih menarik jika disajikan dalam media cetak yang sesekali bisa dibuka buka dan dibaca kembali tiap lembar kertas mengilapnya sebagai wisata nostalgia. Semoga tetap bertahan di hati para pembacanya.
No comments:
Post a Comment