Search This Blog

Wednesday, February 21, 2024

Drama Mangir karya Pramoedya Ananta Toer

Judul: Drama Mangir

Pengarang: Pramoedya Ananta Toer

Tebal: 200 halaman, Paperback

Terbit: January 1, 2011 

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia

ISBN: 9789799103642



Setelah Majapahit runtuh pada 1527. Jawa kacau balau dan bermandi darah. Kekuasaan tak berpusat, tersebar praktis di seluruh kadipaten, kabupaten, bahkan desa. Perang terus-menerus menjadi untuk memperebutkan penguasa tunggal. Permata-permata kesenian, baik dibidang sastra, musik, dan arsitektur tidak lagi ditemukan. Selama hampir satu abad jawa di kungkung oleh pemerintah teror, yang berpolakan tujuan menghalalkan cara.

Saat berkunjung ke situs watu Gilang di Kota Gede tahun 2003, saya baru mendengar legenda tentang Ki Ageng Mangir ini. Kaget juga mendengar kisah tragis dari era awal Mataram tahun 1500an ini. Konon, watu gilang adalah batu yang digunakan Panembahan Senopati untuk membenturkan kepala menantunya, Ki Ageng Mangir hingga tewas. Ketika itu menantunya sedang dalam posisi bersujud mencium kaki sang mertua yang tengah duduk di atas batu.

Lebih kaget lagi liat makam Ki Ageng Manggir yang diposisikan agak unik. Makamnya dibelah tembok, bagian perut sampai kaki berada dii dalam benteng sebagai lambang dia adalah anggota trah Raja Mataram, sementara badan dan kepalanya di luar sebagai lambang dia seorang pengkhianat. Membaca drama Manggir ini saya seperti mendapat titik terang tentang kemana harus berposisi dalam memandang konflik rumit yang hampir hampir menjadi mitos dalam sejarah berdirinya kerajaan Mataram Islam ini. Kekuasaan begitu rupa menggoda hingga anak cucu pun jadi tumbalnya.

Awal kekuasaan Mataram Islam diraih dengan pertumpahan darah, intrik politik, dan pergiliran kekuasaan. Peristiwa Pembunuhan Raden Rangga oleh ayahnya sendiri, Panembahan Senopati, juga menjadi bagian dari sejarah berdarah Mataram. Nama ini begitu dekat karena nama sang pangeran dijadikan nama lapangan utama di Kecamatan Kalasan. Gusti Pembayun juga merupakan putri sulung Panembahan Senopati yang didapuk sebagai Telik sandi. Dengan menyamar sebagai ronggeng tayuplb, dia merayu Ki Ageng Manggir yang menguasai Perdikan Manggir dan tidak mau tunduk pada kekuasaan mataram. Daerah merdeka kecil di kawasan Kasihan Bantul ini menjadi duri dalam daging bagi Mataram di Kota Gede yang bercita cita menguasai seluruh Jawa.

Menarik melihat pandangan Pram yang menyebut Perdikan Manggir sebagai sebuah republik kecil di mana semua warga sama dan setara. Sebagaimana di BM, Pram dengan halus menyindir feodalisme Jawa yang selama ini mungkin orang banyak enggan mengkritik karena takut kualat kepada rajanya. Tetapi dari drama ini, Pram seperti hendak menunjukkan bahwa seorang raja besar pun memiliki episode gelapnya sendiri, bahwa kekuasaan juga sering dibangun dengan darah dan air mata. Tidak ada yang sempurna, bahkan seorang raja sekalipun. Bahkan Ki Ageng Manggir pun adalah manusia biasa yg takluk dengan pesona wanita. Drama Manggir ini membuat sejarah Mataram Jawa terasa lebih manusiawi dan terpahami.

Sebagaimana Pram, kita wajib juga mengucapkan terima kasih kepada Gereja Katolik Namlea, Buru, dan Universitas Cornell, Ithaca, Amerika Serikat, yang menyelamatkan karya ini sehingga buku ini bisa kita baca saat ini.

“Yang tak berdarah mati. Yang kekurangan darah lemah. Hanya yang berlumuran darah saja perkasa. Ada adinda dengar? Perkasa! Dan hanya si lemah berkubang dalam air matanya sendiri. (Tumenggung Mandraka)”

No comments:

Post a Comment