Search This Blog

Thursday, March 2, 2023

Hidup di Zaman Konten, Ketika Semuanya Serba di Komen

Judul: Hidup di Zaman Konten

Penulis: Impian Nopitasari

Tebal: 276 hlm

Terbit: 2022

Penerbit: Pojok Cerpen




Hidup itu hanya mampir sambat dan disambatin. Hidup juga cuma mampir julid dan untuk bergunjing dan digunjingin. Mulai dari pertanyaan kapan nikahnya, gaji banyak buat apa aja kok belum punya rumah, timbunan buku setumpuk kok ga disumbangin, sampai perkara remeh: Kamu nonton Squid game nggak?

"Kita berhak memilih. Karena bagaimana pun hidup kita yang menjalani ya kita sendiri. Nah tugas orang lain adalah berkomentar. Biasalah." (Hlm. 200)

Rupa-rupa persoalan ringan tapi Nek dijarke yo nganyeli inilah yang diolah kreatif oleh Mbak Impian Nopitasari menjadi pundi pundi uang di detikdotcom. Kalau kita sambat ya sebatas sambat, paling banter berujung jadi nghibahin orang, mbak Impian ini keren asli, sambatan dan gibahan disulap jadi saldo di rekening bank! Tapi ya nggak apa apa sih, namanya orang beda-beda. Ada yg cukup sambat dan didengerin sambatnya saja sudah tenteram.

Semua orang butuh didengarkan, butuh mengeluarkan uneg-uneg, dan nyari orang yg beneran mau mendengarkan sambatan dan curhatan kita itu susah loh. Bener kata mbak Penulis, kita itu lebih pandai bicara tapi kurang terampil mendengarkan. Dalam kebanyakan kasus, kurang sabar dengerin sambatan orang lain. Hidup sendiri aja udah mikirin banyak omongan miring tetangga, kok masih ditambah dengerin sambatan orang. Itu bikin negative vibes banget. Untung mbk Impian ini kreatif, alih alih bayar orang untuk dengerin sambatan ya, eh dia malah dibayar karena orang orang pada baca sambatannya. Skip, lanjut.

Sebagai kumpulan artikel mingguan, tentu tulisan-tulisan di buku ini sangat gado-gado dan nano-nano. Tapi bisa ditarik benang kusut kalau masa Pandemi Covid 19 menjadi latar dari penulisan banyak artikel di buku ini. Tentang covidiot yang nggak percaya Covid19, tentang kebaikan-kebaikan kecil saat pandemi, juga ketika banyak orang tiba-tiba menjadi egois karena ketakutan yang tak wajar di masa Pandemi. Dengan mengambil contoh kasus teman-temannya, mbak Impian mengarisbawahi lagi fakta bahwa tidak ada orang yg benar-benar baik, pasti ada jeleknya. Dan ini wajar, sebagaimana yang diamati dengan jeli oleh penulis terkait warna warni sifat manusia.

Kasus merawat orang tua yang sakit pernah menjadi viral beberapa tahun lalu. Kita tentu masih ingat peristiwa 3 anak yang sepakat menitipkan ibunya yang sudah sepuh. Banyak netizen mengecamnya sebagai tanda anak yg tidak berbakti, anak durhaka. Tetapi mereka luput melihat dari dalam. Keputusan itu tentu dibuat sudah melalui banyak pertimbangan. Apa yg terlihat di mata netizen belum tentu seperti yang mereka duga. Seperti biasa, jari mengetik secepat kibasan pedang, tak peduli apakah itu akan menghasilkan luka atau tidak. Kenapa orang - orang suka mengomentari apa yang belum umum padahal yang belum umum juga tidak berarti selalu keliru.

Masih banyak kasus kasus yang sempat rame antara 2020 - 2021 disentil di buku ini. Dan gaya nyentilnya itu loh, lokal dan khas sekali. Tidak pake banyak kata - kata bernuansa senja, tapi tas tes tas tes rampung! Membaca tulisan ini terasa dekat dan nyaman sekali, meski belum tentu kita sependapat dengan opini penulis tetapi kepala berulang kali mengangguk angguk mengamini sudut pandangnya. Ini bukan esai motivasi, yang oleh Mbak Impian sendiri malah disebutnya esai yg cenderung demotivatif. Aromanya jujur, apa adanya, tapi juga ada benarnya kalau direnungkan lagi. Seperti ada dua atau tiga kebenaran yang duduk berdampingan, dan semuanya tidak salah.

Tulisannya mengingatkan kalau kita ini manusia yang masih manusiawi. Wajar jika sambat (tapi seperlunya saja), butuh bahagia (semua orang juga). Ada yang pengen nikah cepet, monggo. Ada juga yg pengennya kerja dulu, silakan.  Pendapat tiap orang bisa berbeda-beda, dan kita harus ingat bahwa ada alasan dibalik seseorang yang memilih untuk childfree, untuk memblokir seseorang dari kontak wa-nya, atau untuk menutup sementara media sosialnya.

Kita manusia yang tak sempurna, dan itu tidak apa-apa.




No comments:

Post a Comment