Search This Blog

Wednesday, January 19, 2022

Bagaimana Cara Terbaik Menulis Kitab Suci?

Judul: Cara Terbaik Menulis Kitab Suci

Pengarang: Yudhi Herwibowo

Tebal: 240 halaman

Cetakan: Pertama, Desember 2021

Penerbit: Banana




“Sayangnya, kita hanya penulis. Kita tak berkutik menghadapi masalah seperti itu.”

“Tapi, Guru, apa yang kita tulis tentang kejadian itu bisa membuat orang lain yang membacanya tahu.”

“Betul, Guru. Apa yang kita tulis bisa menjadi bahan pelajaran bagi orang-orang lain yang membacanya.”(hlm. 9)


Sepenggal percakapan antara Sinduratulla dan Kantarapajja dengan gurunya, Arangkasadra di atas menjadi pembuka kisah dari tujuh kisah ajaib yang akan dikumpulkan untuk kemudian dituliskan dalam sebuah kitab. Kitab yang dikisahkan tidak akan selesai karena yang namanya keajaiban memang selalu ada, tidak pernah selesai. Bahkan kisah si kembar yang menjadi pembuka ini pun tidak kalah ajaibnya. Sejak bayi merah, keduanya ditinggalkan begitu saja di wilayah wingit yang menjadi perbatasan antara daerah tanah tinggi dan daerah tanah rendah. Tidak ada yang tergerak mengambil atau menyelamatkan kedua bayi mungil tak berdosa itu, meskipun bibir berulang merapalkan simpati dan mata memandang iba. Tetap saja, perbuatan baik adalah ketika dilakukan dan bukan sekadar dikatakan atau disaksikan semata. Guru Arangkasadra yang kemudian mengambil dan mengasuh keduanya.

“…kupikir kebaikan mereka yang mau berkorban untuk orang lain adalah keistimewaan sendiri.” (hlm. 97)

Guru Arangkasadra adalah seorang penulis cerita. Dikatakan, tidak hanya isi tulisannya yang sangat bagus tetapi juga huruf-huruf yang ditulisnya. Dia konon sanggup menulis tanpa henti seharian. Ia sudah merasa senang jika didekatnya tersedia tinta dan kertas yang bisa dia pakai. Dan ditangan sang empu kata-kata inilah si kembar dididik dan dibesarkan menjadi pendengar kisah dan kemudian juru tulis cerita. Setelah keduanya dewasa, baik Sinduratulla dan Kantarapajja mewarisi apa yang menjadi keahlian guru mereka: menuliskan cerita. Begitulah, buku cerita ini memang penuh dengan beragam kisah ajaib sampai halaman penghujung belakang. Sebuah buku cerita tentang tukang cerita yang mengumpulkan serta menuliskan ulang cerita-cerita.

“Aku yakin bila ditulis, kisah-kisah itu akan menjadi abadi.” (hlm. 14) 

Berawal dari wasiat sang Guru, Sinduratulla diberi amanah untuk pergi ke Barat dan mengumpulkan serta menuliskan cerita tentang manusia-manusia istimewa. Sementara Kantarapajja diserahi amanah menja ga rumah kediaman guru mereka beserta buku-buku dan kisah-kisah di dalamnya. Berangkatlah Sinduratulla mengelana ke Barat bukan untuk mencari kitab suci tetapi untuk menuliskan kitab ajaib. Kitab tentang manusia-manusia istimewa yang mengingatkan kita bahwa dalam semesta yang luas ini ada pencipta yang telah menghadirkan keajaiban-keajaiban itu. Kisah pertama tentang bocah yang bercahaya dengan kisah hidupnya yang tidak selalu bercahaya. Kemudian tentang telaga ajaib yang keberadaannya pun tak kalah ajaibnya, tentang tatapan yang bisa membakar, toples yang isinya bercahaya, juga wanita yang batu-batu turut dalam kehendaknya.

“Ada kisah-kisah menakjubkan yang tak banyak diketahui orang. Tempat yang tak biasa, kejadian yang tak bisa dipercaya, serta … orang-orang yang terlahir istimewa.” (hlm. 11)

Bahkan di sela-sela tujuh kisah manusia istimewa itu, terselip kisah-kisah pendek yang tidak kalah istimewanya. Kaya sekali novel ini dengan cerita. Ibaratnya, buku ini berisi cerita dalam cerita, tetapi tidak serumit cerita berbingkai seperti dalam Kisah Seribu Satu Malam. Lebih mirip dengan perjalanan Sun Go Kong cs ke Barat untuk mencari kitab suci. Hanya saja dengan versi yang lebih pendek, dan lebih lembut. Imajinasi mas Yudhi sungguh layak diacungi jempol karena meskipun keajaiban-keajaiban manusia di buku ini mungkin pernah saya temukan di kisah lain, tetapi saya tetap tidak bisa menebak bagaimana telaga ajaib dan mata yang membakar di buku ini dikisahkan. Rasanya baru dan segar. Bukan keajaiban yang sifatnya petualangan seperti di novel-novel fantasi, tetapi keistimewaan manusia yang membuat pembaca merenung tentang makna menjadi manusia. 

“Aku sudah menyadari kalau tak ada yang telah cukup dipelajari. Semua yang kita pelajari haruslah selalu terasa kurang.”

Menurut saya ceritanya kurang banyak, saya inginnya tujuh belas cerita dan  bukannya cuma tujuh cerita *digebuk penulisnya wkwkwk*. Karena telanjur betah menemani perjalanan Sinduratulla, ada rasa tidak rela saat menyelesaikan membaca buku ini. Tetapi, penulis juga manusia yang butuh jeda dan selesai. Kasihan juga sama Sinduratulla kalau harus terus berjalan untuk mengumpulkan cerita sementara bekalnya mulai habis. Ini sekaligus mengingatkan saya dan kita untuk terus mendukung penulis dengan membeli karya-karya mereka, yang asli tentunya bukan yang bajakan, agar mereka bisa terus bercerita, terus mengumpulkan cerita dalam imajinasinya, lalu menuliskannya untuk kita. Ayo beli buku yok! Yang banyak! 

“Ya, manusia tidak bisa memilih akan terlahir sebagai apa, Tapi ia bisa memilih untuk menjadi apa.” (hlm. 64)

Empat setengah bintang  untuk kisah-kisah manusia istimewa di buku ini. Tepuk tangan juga untuk Wulang Sunu yang karyanya menghiasi sampul buku ini dengan begitu indahnya. Asli bagus banget kalau diamati detail di sampulnya. Sangat mengambarkan isi bukunya menurut saya. Masukan mungkin untuk editing karena sepertinya ada beberapa kata yang hilang. Tidak banyak sih. Terakhir, jadi bagaimana cara terbaik menulis kitab suci? Mulailah temukan jawabannya dengan baca buku ini. 

"...beruntunglah kita, yang masih menyimpan kata pulang dalam hati." (hlm. 216)


No comments:

Post a Comment