Search This Blog

Monday, September 14, 2020

Xenoglosofia, Kenapa Harus Nginggris

Judul: Xenoglosofia, Kenapa Harus Nginggris

Penyusun: Ivan Lanin

Tebal: 232 hlm

Cetakan: 1, Juli 2018

Penerbit: Penerbit Buku Kompas


40729619. sx318

Kalau sudah terlebih dulu membaca buku kumpulan artikel bahasa sejenis, buku ini termasuk ringan. Bandingkan dengan buku Bus Bis Bas karya Ajib Rosidi, Bahasa! Kumpulan artikel bahasa di majalah Tempo, atau Inul Itu Diva dan Kompas Bahasa yang cenderung serius, buku ini pembahasannya lebih awam karena mungkin memang ditujukan untuk awam. Penulisannya pun tidak sekaku kumpulan artikel bahasa lain yang biasanya memang ditulis dengan standar koran. Setelah saya baca lagi, kumpulan tulisan ini sebagian (besar) memang diambil dari blog Ivan Lanin. Bisa dimaklumi kalau bahasanya singkat dan populer, khas tulisan blogger atau narablog.

Meskipun ringan, bukan berarti isinya dapat dientengkan. Ivan Lanin menyentil kita sebagai pengguna bahasa Indonesia terkait kesalahan atau ketidaktepatan kita dalam berbahasa. Salah satunya keliru mengeja praktik sebagai praktek. Ternyata kesalahan kaprah ini ada sejarahnya. Ini ilmu tipis tapi baru bagi pembaca, eh saya dink. Kekeliruan lain seperti di mana (belum ada dimana), penulisan kata majemuk yg dipisah (kecuali 52 kata majemuk yg ditulis serangkai seperti olahraga, acapkali, syahbandar, dan sukarela--ini kudu dihafalkan duh), penulisan kata sapaan, serta bagaimana membaca singkatan dan akronim dibahas sederhana namun mengena.

Paling khas dari Uda Ivan Lanin ini adalah upaya beliau yg tak kenal lelah untuk memperkenalkan padanan dari bahasa Nusantara untuk sebuah kata asing. Beberapa usul beliau telah terbukti digunakan sekarang ini seperti gawai, tagar, dan tetikus. Tetapi ada juga usul yang meleset, seperti online dan offline yang kini dipadankan dengan daring dan luring, bukannya terhubung dan terputus. Saya senang sekali dengan pengetahuan beliau yg luas tentang kosakata Nusantara yg harusnya kita pertahankan seperti pranala (untuk link) dan gerip. Ada juga istilah tanja untuk mengartikan FAQ alias pertanyaan yg sering ditanyakan. Menarik kalau mengingat tanja ini bisa diplesetkan jadi tinja sebagaimana FAQ yg dilafalkan mirip fuck.

Banyak hal menarik lain seputar bahasa di buku ini. Misalnya saja padanan YALIYAD (YANG ANDA.LIHAT YANG ANDA DAPAT) sebagai padanan what you see is what you get. Paling menarik bagi saya adalah sejarah asal usul sebuah kata. Beliau bahkan melacak asal muasal kenapa olahraga ditulis serangkai padahal sepak bola, buku tangkis, dan bola voli ditulis terpisah. Juga ada alasan menarik di balik kata indehoi.

Sungguh buku ini ringan tapi sarat manfaat. Cocok untuk dibaca khalayak (eh atau khayalak ya?) umum, tapi mungkin kurang mendalam bagi pemerhati bahasa. Poin plus ada pada cara penyampaiannya yang lugas, ringkas, dan kekinian. Kekurangannya mungkin bab-bab jadi terlalu pendek. Kekurangan lain adalah mungkin tidak adanya daftar pustaka. Ivan Lanin mengutip banyak sekali kamus dan buku serta pendapat ahli bahasa, tetapi saya tidak (atau belum) menemukan sumber kutipannya di daftar pustaka atau catatan kaki. Contohnya kamus loan words in Indonesia and Malay Language, saya tidak menemukan info siapa pengarang, penerbit, dan cetakannya di buku ini.

Dalam beberapa artikel, penulis bahkan mengutip dengan teknik dalam kurung, nama penulis, tahun, dan halaman, tapi tidak ada rujukan judul bukunya di daftar pustaka dan catatan kaki. Misalnya saja di hlm. 133, 140, dan 122. Uda kadang hanya menulis judul buku dan penulisnya. Tentu sangat disayangkan mengingat ini buku tentang berbahasa Indonesia yang benar. Alasannya mungkin karena hanya disebut sekilas dan tidak digunakan sebagai bahan penulisan. Tetapi ini pun bisa diakali dengan meletakkan rujukan buku asli di catatan kaki. Lepas dari yang agak mengganjal ini, buku ini luar biasa manfaatnya. Bahkan yg sudah membaca banyak referensi tentang berbahasa Indonesia yg baik dan benar pun akan tetap mendapatkan banyak hal dari buku ini. Bagi saya, salah satunya, mengetahui kalau IMF dibaca /i em ef/ dan bukan /ai em ef/, sementara UNESCO dibaca sesuai aslinya, yakni /yunesko/.


 


No comments:

Post a Comment