Saya pernah menemukan sebuah novel yang ditulis menyerupai
sebuah kitab suci dalam buku Alkudus garapan
Asep Syaeful Anwar. Kemudian, akhirnya saya menemukan versi puisi yang ditulis
menyerupai ayat-ayat dalam kitab suci dalam buku karya mas Stebby Julionatan
ini. Persamaan keduanya adalah sama-sama mengangkat Tuhan sebagai sentral, walau
dalam Di Kota Tuhan penulis agaknya mengambil
ragam tema yang cukup lebar dengan memasukkan unsur-unsur kenangan pribadi dan
memadukannya dengan peristiwa politik. Saya cenderung setuju dengan pendapat
Oka Rusmini di pengantar buku ini. Di Kota
Tuhan masih harus berjuang menemukan posisinya dalam belantara sastra
Indonesia karena adonan puisi dan prosa di dalamnya masih bercampur lekat dan
saling berlomba untuk tampil ke pentas.
Remukkan aku, Tuhan |
Remukkan aku | hingga taat tanpa tapi | dan patuh tanpa nanti (hlm. 55)
Hal lain yang menarik adalah Probolinggo yang oleh Stebby
dijadikan sebagai satu-satunya setting di seluruh isi buku ini. Saya sangat
suka dengan karya sastra yang fokus ke daerah lokal tertentu, terutama
kota-kota yang jarang tersentuh oleh puisi. Seperti mas Kiki Sulistyo yang
mengangkat lokalitas Ampenan, Stebby menggunakan kota kelahirannya sebagai
sumber inspirasi sekaligus sebagai rangka untuk membangun Di Kota Tuhan. Lewat sejumlah tempat yang ada di kotanya, dia
menyampaikan apa yang terlintas dalam pemikirannya. Kemudian, ditambahkannya sedikit
kenangan lampau yang sempat singgah di tempat-tempat tersebut. Dan sebagai
sentuhan akhir, diselipkan potongan-potongan dari kisah Alkitab. Tidak lupa ia
melapisi kesemuanya dengan diksi dan rima yang nyaman diikuti.
Pengalaman membaca puisi-puisi di buku ini semakin intens
dengan adanya potret-potret yang menghiasi hampir setiap halamannya. Potret-potret
yang sebenarnya sangat sederhana, semata cuplikan dari adegan-adegan keseharian
dan tempat-tempat lokal di Probolinggo yang mungkin terlewatkan oleh mata kita
saking umumnya. Tetapi Stebby mampu menggunakannya sebagai pendamping visual
atas puisi-puisinya yang bergerak cepat dan gegas. Kita jadi bisa beristirahat
sejenak memandang foto sebuah taman setelah diajak penulisnya menyelusuri sepotong
kenangan muram atau diajak diskusi penulisnya terkait sebuah pengalaman
politik. Saya suka bagaimana foto-foto yang bisu ini jadi memiliki semacam
suara-suara dengan mendampingkannya bersama puisi.
“Nak, minumlah,” | sepulang
sekolah Mama selalu siap dengan susu. | “Sebab kau butuh banyak kalsium untuk
menjaga kokoh cintamu.” (hlm. 22)
Saya mendukung pilihan Stebby yang memilih hanya foto-foto
dari Probolinggo dan kawasan di sekitarnya di buku ini. Upayanya mengangkat
kota kelahirannya dibuktikan dengan konsistensinya menggunakan foto-foto yang
sangat lokal. Penulis tidak tergoda menggunakan foto-foto epic (yang memang
akbar tapi sayangnya kadang terasa jauh sekali dari pembaca) dan memilih foto-foto
sederhana semacam gang depan perumahan padat atau bahkan komik surga-neraka.
Sederhana tapi mengena. Sayangnya, foto-foto di buku ini dicetak dengan
kualitas yang kurang tajam. Banyak warna-warni yang ikut hilang karena tertutup
bias keputihan atau malah tergusur oleh latar yang gelap. Seandainya tintanya
lebih tajam, saya yakin potret-potret ini memiliki sudut-sudut tegas yang akan
mampu lebih berbicara meskipun dicetak hanya dengan tinta hitam dan putih.
Hanya ada satu kata:
Kenang! |Dan, semoga doaku, cukup layak untuk menjangkaumu. (hlm. 52)
Akhirnya, menyimak puisi-puisi Di Kota Tuhan ibarat berziarah ke sudut-sudut Probolinggo sambil
mengenang segala yang sempat terjadi di negeri ini. Membaca buku ini menghadirkan
kesan sebagaimana saat kita membaca buku travelling, dengan sentuhan sejarah
dan tema-tema agama yang cukup kental. Saya masih merasakan adanya sedikit
kegamangan, semacam tarik ulur antar elemen di dalamnya yang menjadikan buku
ini belum murni buku puisi seutuhnya. Saat menelurusi baris-barisnya, saya
ditarik ke kanan oleh kenangan, lalu ditarik ke depan oleh doktrin alkitab, dan
dipukul di belakang oleh nada larik puisi. Sebuah pengalaman yang membingungkan
sekaligus layak didapatkan.
Penulis:
Stebby Julionatan
Tebal: 74
hlm
Cetakan:
Pertama, 2018
Penerbit: Indie Book
Corner
No comments:
Post a Comment