Search This Blog

Saturday, July 28, 2018

The Night Eternal; Penutup yang Tanggung

Judul: The Night Eternal (The Strain Trilogy #3)
Pengarang: Guillermo del Toro dan Chuck Hogan
Penerjemah: 
Tebal: 504 pages
Cetakan: Pertama, Oktober 2014 
Penerbit: Elex Media Komputindo




Memang kalau dibandingkan buku pertamanya, seri ketiga ini jatuh banget. Ibaratnya sebuah cerita horor yang seru tapi endingnya adalah aksi tembak2kan dan ledakan bom. Saya juga masih blm puas sama aspek supranatural dan ilmiah yg bekerja pada vampir tapi zombie di buku ini, yang di buku 3 malah ikut ketambahan elemen religi. Asal dari cacing2 darah memang dijawab, tp kurang ilmiah kalo dibanding penyebarannya yang luar biasa anatomia di buku 1. Untungnya, setengah ke belakang buku ini kaya akan adegan aksi, yang bahkan masih panas sampai 5 halaman terakhir. Cukup memuaskan hasrat pembaca akan sebuah bacaan yg menjanjikan adegan2 visual ala film.

Tema falling angel tampaknya jadi salah satu favorit para penulis Amerika. Setelah sebelumnya sempat mendominasi genre romance dan turunan-turunannya, si malaikat yang terbuang akhirnya juga mengoda penulis thiller. Tidak ada yang salah dengan tema ini. Hanya saja, tema ini jatuhnya geje ketika diterapkan dalam seri The Strain yang sudah dibuka dengan bagus sekali di buku pertamanya (sebelum kemudian emakin ke belakang kok malah semakin merosot ratingnya). To the point aja, maafkan kalau agak spoiler, saya termasuk barisan pembaca yang tidak puas dengan penjelasan mengenai asal usul vampire yang digambarkan di buku ini. Memang, ada mitos yang menyebut vampir sebagai Yudas Iskariot yang dikutuk untuk hidup abadi sampai hari perhitungan kelak. Tetapi, mengaitkan asal-usul vampir sebagai malaikat yang terbuang, saya kok agak gimana gitu.


Sebagai sebuah buku pamungkas, buku ini juga kurang meyakinkan. Saya sudah curiga sejak  buku pertama bahwa kayaknya bakal ada hal-hal beraroma magis atau takhayul untuk menjawab asal muasal vampir dalam the Strain. Tetapi, saya nggak menyangka kalau para penulis ternyata juga membawa-bawa unsure religi. ini yang bikin gemes. Memang hak penulis sih mau menyetir kisahnya ke arah mana. Tetapi saya sudah telanjur terpesona sama The Strain, sama kepiawaian penulis menggambarkan fase-fase penularan vampir  yang begitu “ilmiah”. Betapa penulis berhasil dengan sangat baik meyakinkan pembaca bahwa vampir sejatinya adalah agenpenyebar virus yang penularannya menyerupai gejala penyakit. Bahwa vampir itu tidak mengigit, tetapi menyengat—walaupun kedua versi sama-sama mengisap darah korbannya.

Keunggulan buku pertama the Strain ada pada aroma fiksi ilmiahnya, yang digambarkan dengan begitu medis sehingga malah menghasilkan aroma mencekam seperti film-film zombie apocalypse. saya rasa  pemnaca tidak keberatan jika vampir dalam The Strain lebih mirip pasukan zombie + alien ketimbang sesosok vampir yang selama ini kita kenal. Yang dicari pembaca dari membaca buku thriller adalah ketegangannya. Pembaca merasa puas ketika penulis berhasil menakut-nakuti pembaca sampai tahap penasaran sehingga mereka tetap akan melanjutkan membaca cerita meskipun takut. Sensasi takut tapi bikin penasaran ini biasanya kita rasakan juga saat mendengarkan cerita horror. Rasanya takut tapi kok ya penasaran. Ini resep yang cespleng banget untuk menarik pembaca. Dan menurut saya, penulis sangat berhasil melakukannya di buku pertama, lumayan sukses di buku kedua, tapi tidak terlalu manjur di buku ketiga. Sayang sekali padahal ini sebagai buku pamungkas.

Ada semacam inkonsistensi dalam serial ini, yang untungnya berhasil ditutup dengan baik oleh para penulisnya. Vampir yang menular lewat virus dan cacing, bahkan metabolisme hingga fisiologisnya digambarkan dengan sedemikian detail, tetapi takut sama perak. Memang, dalam dunia medis perak dianggap sebagai unsur suci hama, tetapi tetap saja heran saat Goodweather dengan mudah menebas vampir dengan pedang perak tapi tidak dengan pedang logam. Bagaimana perak meracuni vampir, pertanyaan ini yang coba saya temukan jawabnya dengan bersabar membaca seluruh seri ini sampai tuntas. Sesuai dengan penjabaran vampir yang teramat ilmiah, saya menghadapkan jawaban yang ilmiah juga. Tetapi, ternyata jawabannya sangat beraroma religi. ini ibarat mencampur dua genre yang jauh berbeda dalam satu cerita, yang untungnya cerita itu bagus. Hal yang sama juga berlaku pada aliran air yang mengalir dan sinar matahri, ujung-ujungnya tetap kembali kepada takhayul dan bukan ilmiah.


Saya, seperti juga sejumlah pembaca lain, menantikan ada semacam plot twist bernuansa ilmiah untuk menjawab tiga pertanyaan besar tentang vampir yang sudah muncul sejak di buku pertama. Tetapi, rupanya tentang vampir ini belum bisa move on dari sumber tradisionalnya. Sungguh saya berharap seandainya si Master ini semacam mutant akibat radioaktif nuklir atau apa gitu agararoma ilmiah yang mendominasi di buku pertama bisa tetap dipertahankan hingga di buku pamungkasnya. Walau demikian,hal positifnya juga banyak. DI antaranya, penulis yang piawai banget mengolah setting tempat dan waktu sehingga pembaca mudah membayangkannya. Penggunaan data sejarah yang lumayan popular untuk disambungkan dengan asal-usul vampir ini juga patut diacungi jempol. Jangan lupakan juga adegan pertempuran yang bertebaran hingga ke halaman-halaman terakhir sehingga membuat pembaca bisa berteriak puas sambil berseru “ Rasakan kau, vampir-vampir sialan.”  

Ini bukan ulasan, lebih mirip surat pembaca ya wkwkwk.

No comments:

Post a Comment