Search This Blog

Friday, April 20, 2018

Tahun Terakhir Dena, Setiap Pilihan Memiliki Konsekuensinya


Judul: Tahun Terakhir Dena
Pengarang: Purba Sitorus
Penyunting: Muhajjah Saratini
Sampul: Amalina Asrari
Tebal: 204 hlm
Cetakan: Pertama, Januari 2018
Penerbit: Laksana



Masa SMA selalu menjadi salah satu masa yang paling berkesan bagi banyak orang. Baik atau jelek, menyenangkan maupun buram, selalu ada kenangan yang tertinggal dari masa-masa abu-abu putih ini. Ada yang pertama kali jatuh cinta, mendapat sahabat dekat, pergi jauh dari rumah untuk pertama kali, perdana membolos di kelas, ketahuan merokok, atau mengenal dunia baru yang belum pernah dicoba sebelumnya. Masa-masa ini juga menjadi penentuan akan masa depan. Mau dibawa kemana setelah ini  (apakah lanjut kerja atau memutuskan untuk kuliah). Inilah tiga tahun paling krusial sekaligus paling penuh warna dalam hidup ini. Entah kenapa, saya bisa mengingat masa-masa SMA jauh lebih jelas ketimbang masa-masa kuliah. Akan dilupakan atau tetap terus dikenang, masa SMA memang akan selalu tersimpan rapi di pojok ingatan. 

Bagi Dena yang seorang bintang kelas hingga kelas 11 SMA, masa-masa ini adalah masa kritis dalam mempertahankan prestasinya. Jika sampai dia gagal di tahun terakhirnya di SMA, gagal pula semua perjuangannya selama ini. Dena adalah murid berprestasi di SMA Harapan, sebuah SMA swasta yang kebanyakan diisi oleh anak-anak dari keluarga kaya. Karena prestasinya itulah, Dena dan Farah (sahabat dekatnya) bisa mendapatkan beasiswa agar tetap bisa bersekolah di SMA mahal itu. Untuk itu, mereka harus terus berjuang mempertahankan nilainya agar tetap di atas.  Lalu, ada Adit, cowok kaya bin bandel yang jadi idola cewek-cewek dengan penampilannya yang slengean. Nah, di tahun terakhirnya di SMA, si Dena kebagian tugas untuk memberikan semacam les privat gratis (istilahnya “tentir”) kepada Adit sebagai tambahan kredit di surat rekomendasi beasiswa kuliahnya.

Tidak ada jalan lain, Dena harus rela mendekati Adit yang bukan dari “dunianya” itu agar cowok itu mau ikut tentir dengannya. Tetapi, berteman dengan Adit kudu sepaket. Artinya, Dena harus berteman juga dengan geng-nya Adit yang tajir melipir. Ada anak-anak dari geng populer macam Aurel, Karen, David, dan Mario yang dunianya adalah uang, pesta, dan bersenang-senang. Bagi mereka, sekolah mungkin sekadar pengisi waktu luang. Kita mengenal orang-orang seperti Dena ini. Mereka yang masuk kelas demi mengejar prestasi dan tak peduli dengan yang lainnya. Kita juga mengenal cowok bandel tapi idola kayak Adit. Tipikal cowok kaya yang menjadi bintang di SMA meskipun nilainya memprihatinkan. Kita mungkin juga tidak akan asing dengan sosok Aurel, khas cewek gaul dan kaya yang hidupnya habis untuk pesta dan belanja. Masa-masa SMA kayaknya bakal kurang terasa gregetnya kalau nggak ada orang-orang kayak mereka.

Di sinilah Dena kembali diuji. Berteman dengan geng populer ibarat bermain dengan api. Awalnya terasa hangat dan menyenangkan, tetapi bisa membakar jika terlibat terlalu dalam. Aurel dan gengnya perlahan menyeret Dena dalam kehidupan glamour mereka. Dena yang seumur-umur berjuang demi menjadi murid berprestasi pun mulai terpengaruh oleh ajakannya. Hidup muda hanya sekali, kenapa menunggu tua untuk berbuat nakal. Justru jadilah nakal mumpung masih muda daripada nakal di saat tua. Begitu bujukan Aurel yang terus menyusup dalam pikiran Dena. Sampai akhirnya, Dena sampai pada titik di mana dia akan menggunakan tahun terakhirnya di SMA untuk bersenang-senang. Tetapi benarkah itu pilihannya? Selain menyadari bahwa setiap orang punya pilihan, di ending novel ini dia juga belajar bahwa setiap pilihan memiliki konsekuensinya masing-masing.  

Manusia tidak bisa dipandang dari tampilan luarnya semata. Selain harus menghadapi Adit yang ternyata menyimpan sesuatu, Dena juga menemukan bahwa orang-orang populer kayak Aurel dan Karen ternyata tidak sepenuhnya jahat. Lewat novel ini, kita diajak untuk mengunjungi kehidupan geng populer agar bisa adil dalam memandang. Saya juga suka dengan cara penulis mempertahankan ciri khas karakter-karakternya. Tidak ada karakter yang dipaksa untuk berubah 180 derajat sehingga terasa tidak nyata. Perubahan sejati berlangsung perlahan, untuk kemudian berkembang dan menguat seiring perjalanan usia. Baik Dena, Farah, Adit, maupun Aurel—semuanya dibiarkan tumbuh apa adanya sesuai dunia mereka. Konflik yang ada tidak kemudian menjadikan cerita tertawan oleh keinginan pembaca agar  cerita bergulir sesuai pakem standar. Tidak sama sekali. Dan saya suka itu.  

2 comments: