Judul: Cinta Semanis Racun
Pengarang: Anton Chekhov,
Anton Kurnia
(translator), Fyodor
Dostoyevsky, Émile Zola,
James Joyce,
Franz Kafka,
Carlos
Fuentes, Isabel
Allende, dll
Penerjemah: Anton
Kurnia
Tebal: 632 hlm
Cetakan: 1, Agustus
2016
Penerbit:
DIVA Press
Salah satu tolok ukur
kemajuan suatu bangsa ada pada perkembangan sastranya. Bangsa-bangsa yang maju
adalah para pembaca sastra yang lahap. Budaya membaca mereka sangat kuat yang
pada gilirannya turut mendukung lahirnya para penulis sastra yang berbakat. Fakta
bahwa sebagian besar penerima Nobel Sastra berasal dari negara-negara maju di
kawasan Eropa dan Amerika Utara (baru-baru ini Tiongkok dan Jepang juga) juga
semakin menunjukkan adanya keterkaitan yang erat antara majunya suatu bangsa
dengan kemajuan karya sastranya. Mungkin kasusnya agak berbeda untuk di Amerika
Selatan, tetapi kebanyakan penerima Nobel Sastra memang didominasi dari
warga-negara maju. Bagaimana dengan Indonesia? Meskipun belum ada sastrawan
negeri ini yang mendapatkan kehormatan Nobel sastra, kita patur berbangga
karena Pram pernah dinominasikan sebagai calon penerima Nobel sastra, meskipuntidak
pernah terpilih juga akhirnya.
Kita memimpikan untuk
bisa memiliki penulis atau sastrawan penerima Nobel Sastra dari Indonesia.
Mimpi seperti ini sah-sah saja, tetapi perlu kita ingat juga bahwa pencapaian
seprestisius itu harus didahului dengan pengembangan dan pertumbuhan budaya
membaca di negeri ini. Umumnya, penulis yang baik lahir dari masyarakat pembaca
yang baik. Tanpa adanya keinginan yang kuat untuk mau membaca, sulit untuk bisa
menjadi seorang penulis besar, apalagi penulis sekaliber para penerima Nobel
Sastra. Keinginan membaca yang kuat ini tentunya juga harus didukung pula
dengan tersedianya bacaan-bacaan sastra yang berkualitas, termasuk karya-karya
sastra gubahan para pengarang kelas dunia. Bagaimana dunia mau mengapresiasi
karya-karya sastra dari Indonesia jika bangsa Indonesia sendiri cuek pada
sastra dunia.
Menjadikan masyarakat
Indonesia melek pada sastra dunia salah satunya telah dilakukan oleh Anton
Kurnia. Selama kurun waktu 15 tahun, Anton Kurnia dengan tekun telah memilih
dan memilah, kemudian menerjemahkan puluhan cerita pendek karya para pengarang
dunia. Cerita-cerita pendek ini kemudian dikirimkan dan banyak yang dimuat di
media massa. Beberapa karya terjemahannya bahkan menjadi langganan untuk
diterbitkan di Koran Tempo edisi akhir pekan. Ketekunannya menerjemahkan
cerita-cerita pendek dunia didasari oleh keyakinannya akan pentingnya
memperkenalkan sastra dunia kepada pembaca Indonesia. Dalam hal ini, upaya
besar Anton Kurnia ini menemukan relevansi dengan impian bangsa ini untuk
memiliki penulis sekaliber Orhan Pamuk atau Haruki Murakami.
Kendala bahasa
merupakan penghalang utama bagi sebagian besar pembaca Indonesia. Berbeda
dengan masyarakat pembaca di negeri Jiran yang memiliki budaya berbahasa
Inggris cukup tinggi, umumnya masyarakat Indonesia masih belum terbiasa membaca
buku berbahasa Inggris. Karena, upaya Anton Kurnia menerjemahkan cerpen-cerpen
karya pengarang dunia sungguh sangat patut diapresiasi. Sebuah petuah dari salah
satu penulis besar menjadi penyemangatnya dalam menerjemahkan. “Setiap
sastrawan memiliki tanggung jawab moral untuk menerjemahkan satu karya sastra
dunia ke dalam bahasa ibunya.” Upaya ini tidak lain tidak bukan agar pembaca di
negaranya juga bisa turut menikmati dan mengambil pelajaran dari tulisan para
maestro sastra dunia.
Buku yang sekaligus
menjadi dokumentasi karya Anton Kurnia ini memuat 99 cerita pendek karya para
pengarang dari berbagai penjuru dunia. Bagi para pembaca akut yang tentunya
sudah tidak asing lagi dengan nama-nama klasik seperti Frank Kafka, Oscar
Wilde, dan O’Henry; hadirnya buku ini ibarat pemuas rasa rindu membaca
karya-karya legendaris tersebut. Sementara bagi para pembaca kontemporer,
hadirnya nama-nama seperti Haruki Murakami dan Gabriel Garcia Marques di buku
tebal ini tentu akan menghadirkan daya tarik tersendiri. Pun bagi para pembaca
pemula yang baru terbuai eloknya dunia sastra, buku ini akan menjadi semacam
pengantar yang ramah sekaligus lengkap dalam sebuah tur pembacaan sastra dunia.
Siapa saja di buku ini?
Dimulai dari para sastrawan dari era klasik seperti Anton Chekov, Fyodor
Dostoyevsky, Emile Zola, James Joyce, dan Franz Kafka. Kemudian ada para
maestro Amerika Latin yang karya-karya beraliran realisme magisnya kembali
diminati saat ini, seperti semacam Jorge Luis Borges, Jorge Cortazar, Carlos
Fuentes, Isabel Allende, dan Roberto Bolano. Tak ketinggalan juga peraih Nobel
Sastra serupa Gabriel Garcia Marquez, Octavio Paz, Nadine Gordimer, Gao
Xingjian, dan Mo Yan. Karya penulis-penulis calon peraih Nobel juga turut
ditampilkan, mulai dari Horacio Castellanos Moya (pengarang Honduras yang
disebut-sebut World Literature Today layak meraih Nobel Sastra), Etgar Keret
(penulis Israel yang menarik perhatian dunia), dan tentu saja Haruki Murakami (novelis laris yang berkali-kali
menjadi kandidat pemenang Nobel Sastra).
Selain begitu
beragamnya nama dan karya, hal unik dari buku ini adalah penerjemah menyusun
dan membagi isi buku ini sesuai daerah tempat para penulisnya bertempat
tinggal. Dengan demikian, meskipun cerpen-cerpen dari Amerika Latih dan Eropa
cukup mendominasi, kita masih bisa membaca karya-karya dari kawasan yang jarang
diasosiasikan sebagai kawasan yang nyastra, seperti Karibia dan Oseania.
Membaca karya-karya dari daerah-daerah baru ini membuktikan betapa lingkungan
memang turut menyumbang dalam corak tulisan para penulisnya. Masih ada lagi
kawasan Asia Timur, yang akhir-akhir ini rupanya menjadi salah satu perhatian
dunia. Penantian Murakami akan Nobel sastra secara tidak langsung membuat
pembaca menyorotkan pandangan pada karya-karya lain dari Tiongkok dan Jepang
yang ternyata tidak kalah berbobot.
Karena sebuah buku yang
bagus, tulis sastrawan Hamsad Rangkuti, dapat memincu munculnya gangguan
kreatif pada pembacanya, semoga buku ini pun bisa berbuat demikian kepada para
pembaca di Indonesia. Melek sastra dunia diawali dengan tersedianya karya-karya
dunia yang bisa terbaca tanpa memaksa pembaca awam pun mengerutkan keningnya.
Anton Kurnia dengan luwes menerjemahkan kisah-kisah dunia di buku ini.
Kalimat-kalimatnya mudah dipahami, dan masih terasa sekali ada aroma asli dari
naskah orisinalnya. Penerjemahan di antaranya adalah perkara pengalaman.
Cerpen-cerpen di buku tebal ini membuktikan betapa panjang dan banyaknya jam
terbang sang penerjemah dalam menekuni kamus dan tesaurus untuk memunculkan
cerita terjemahan yang seelok naskah aslinya. Buku ini adalah sebuah
dokumentasi sastra dunia dalam bahasa Indonesia yang tak ternilai harganya. Sekian ulasan rasa esai ini.
Ada yang suka baca Gabriel Garcia Marquez? Baca juga wawancara dengan Gabriel (imajiner) di stenote-berkata.blogspot.com Mudah-mudahan suka.
ReplyDelete