Judul: The Naked
Traveler 7 (Naked Traveler #7)
Penulis: Trinity
Tebal: 286 hlm
Cetakan: Pertama, Juli
2016
Penerbit: B-First
Seri The
Naked Traveller selalu layak ditunggu karena menyajikan cerita-cerita
perjalanannya yang unik dan berbeda. Trinity tidak hanya memotret keindahan
suatu objek wisata semata, tetapi apa yang ada di samping atau di belakang
tempat wisata pun turut disorotinya juga. Dengan demikian, pembaca akan
mendapatkan pemandangan lengkap dari sebuah tempat wisata yang terkenal. Inilah
jenis tulisan perjalanan yang tidak hanya memuaskan mata pembaca, tetapi juga
memperkaya hati. Segala pengalaman unik Trinity dalam setiap perjalanannya
mengingatkan kita kembali bahwa selalu ada hitam dan putih dari setiap objek
wisata. Bersama Trinity, perjalanan wisata tidak semata sekadar ajang berfoto
narsis di tempat-tempat eksotis dan hits, tetapi juga sebagai sarana untuk
lebih mengenal manusia dengan berbagai warnanya.
Seperti di buku ketujuhnya ini, Trinity
banyak mengupas tentang sisi lain dari sebuah perjalanan wisata. Tidak melulu
senang, kita diajak turut merasakan kehilangan yang dialami Trinity saat ibunda
tercinta wafat sementara dirinya masih berada di pulau terpencil di Filipina.
Sebuah perjalanan wisata yang semestinya menyenangkan bisa tiba-tiba berubah
begitu merepotkan. Demikian juga hidup,
yang kadang bisa berubah sekejap mata tanpa kita mampu menyetirnya. Kita hanya
bisa menjalani (dan sebisa mungkin menikmati) kehidupan, sementara bagaimana
perjalanan itu akan berujung adalah urusan Tuhan yang Maha Kuasa. Maka inilah
salah satu dari tujuan melakukan perjalanan, untuk mengingatkan manusia tentang
betapa kecilnya kita di hadapan luasnya alam ciptaanNya, juga di hadapan
kekuasaan takdir-Nya. Mungkin ini sebab mengapa banyak orang bijak di zaman
dulu yang gemar melakukan perjalanan jauh.
Kembali di Naked Traveller 7, buku ini secara fisik lebih tebal meskipun variasi
tempat yang dikunjungi Trinity tidak banyak sekali. Seingat saya cuma Filipina,
Kanada, Tanzania dan negara-negara sekitar, Seycelles, India, Fiji, dan
Australia. Plus, beberapa tempat di Indonesia tentunya. Fontnya lebih kecil,
tetapi ini diimbangi dengan halaman-halaman berwarna yang lebih nyaman
dipandang. Lebih bikin iri, lebih tepatnya. Terkait cara penulisan, Trinity
masih konsen dengan teknik menulisnya yang gesrek-asyik semau gue tetapi selalu
bikin kangen. Sesuai dengan judul bukunya yang naked alias apa adanya, Trinity dengan santai dan lepas menuangkan
semua yang dia alami dalam perjalanannya mengelilingi dunia. Kemudian,
bab-babnya juga pendek-pendek jadinya nggak bosan membacanya. Rupanya, penulis
membagi-bagi satu tulisan di satu tempat menjadi beberapa bab pendek yang enak
dibaca. Secara umum, membaca buku ini masih sama menyenangkannya dengan membaca
seri-seri NT sebelumnya.
Kalau ada yang kurang, mungkin
foto-fotonya. Foto-fotonya sangat kurang banyak padahal Trinity dengan
berapi-api menggambarkan spot-spot
keren yang dikunjunginya. Terutama di pulau Flores yang ada air panas di tengah
hutan hijau itu, saya kepengen banget lihat fotonya. Juga, ada tulisan tentang
kota Ende yang sejak dulu masyhur sebagai kota penerbit buku-buku pelajaran
bahasa Indonesia di sekolah dulu. Namun, kekurangan ini terbayarkan dengan
sedikit cerita perjalanan si Yasmin (sahabat kental Trinity) saat menjalankan
ibadah Haji di Tanah Suci. Membaca
pengalaman traveling Trinity yang dikisahkan apa adanya itu selalu seru dan
mengasyikkan. Buku ini mengingatkan saya bahwa ada dunia luas di luar sana,
sekaligus juga menyadarkan bahwa Indonesia tetaplah rumah tempat kembali yang
paling indah.
No comments:
Post a Comment