Search This Blog

Saturday, November 19, 2016

Perlawanan sang Gadis Petir

Judul: Glass Sword
Pengarang: Victoria Aveyard
Penerjemah: Reni Indardini
Penyunting: Jie Effendi
Cetakan: Pertama, Oktober 2016
Tebal: 601 hlm
Penerbit: Mizan Fantasi

32607149

Wow ... buku ini benar-benar menyentrum pembacanya lewat kisah yang seru, tak tertebak alurnya, dan penuh dengan adegan aksi berdarah-darah. Sebagai sebuah buku distopia-fantasy-romance, unsur action dalam novel ini nggak tanggung-tanggung. Saya belum sempat membaca Red Queen karena sudah kehabisan di toko buku Jogja, tetapi secara garis besar yang bisa saya tangkap dari seri ini adalah warga Kerajaan Norta dibagi menjadi dua, yakni Perak dan Merah--sesuai warna darahnya. Para Perak adalah manusia-manusia super yang memiliki kekuatan lebih dibanding kaum merah (yang adalah manusia biasa). Kaum Perak dibagi-bagi dalam klan sesuai kekuatan mereka:  pengendali besi, pengendali air, pengendali api, pengendali angin, pembisik, telekinetis, tubuh yang kebal, dan lain sebagainya. Berkat kekuatan lebihnya ini, Perak menjadi kaum penguasa di Norta, dan kebanyakan mereka menggunakan kekuatannya untuk menindas para darah merah. Kemudian, semuanya berubah ketika Mare Barrow, sang Gadis Petir datang.

 "Aku adalah senjata yang mewujud menjadi daging, pedang berbalut kulit. Aku terlahir untuk membunuh seorang raja, untuk menggulingkan takhta berdarah selagi belum terlambat. Api dan petir menahbiskan Maven, api dan petir pulalah yang akan menjungkalkannya." (hlm. 332)

Mare adalah seorang darah merah tetapi dia mengalami semacam mutasi yang menjadikannya memiliki kekuatan super yang jauh lebih dahsyat ketimbang para Perak. Kejutannya lagi, Mare tidaklah sendirian. Banyak Darah Merah lain yang sepertinya, dengan kekuatan yang belum diketahui oleh para Perak. Para darah merah dengan kekuatan super inilah yang disebut Darah Baru. Pangeran Maven--yang di buku pertama telah menumbangkan dan merebut tahta ayahnya sendiri--kemudian memburu Mare dan Cal yang dianggapnya sebagai pengkhianat. Keberadaan para darah baru itu adalah ancaman bagi para Perak sehingga Maven mengerahkan segala kemampuan untuk menemukan dan membasmi para Darah Baru. Upanya ini selain untuk menyembunyikan informasi, juga untuk menghukum Mare dan Cal atas pengkhianatan mereka. Mare dan Cal harus berpacu dengan Maven untuk menemukan para Darah Baru sebelum mereka dibasmi Maven.

Aroma x-men memang sangat kuat di buku ini. Kita seperti melihat anak-anak mutant yang direkrut oleh dokter Xavier. Hanya saja, pemimpinnya di sini adalah Storm sementara musuh disetir oleh Ratu Elara yang memiliki kemampuan mengendalikan pikiran ala dokter X. Itu aja? Nggak lah, Seri ini memiliki setting medieval alias abad pertengahan yang kental tapi anehnya kok ada listrik, senapan, dan pesawat jet ya? Kayaknya, Red Queen lebih ke dunia distopia deh. Selain setting medieval berlistrik yang unik, penulis melengkapi kisahnya dengan beragam intrik politik kerajaan yang lumayan rumit. Saking rumitnya, mungkin agak butuh lama membaca seperempat awal buku ini. Tapi, justru ini yang membuat kisahnya begitu kuat karena memiliki basis yang kokoh. Bahkan di buku kedua ini, intrik politiknya semakin melebar ke kerajaan-kerajaan tetangga. Makin banyak yang terlibat, makin banyak pihak-pihak yang mungkin berkhianat, makin seru ngikutinnya!

"Kita tak mungkin memahami isi hati siapa pun sepenuhnya. Tidak juga isi hati kita sendiri." (hlm. 579)

Selain setting dan intriknya, poin utama buku ini ada pada aksi pertempurannya. Cambukan petir, hunjaman logam tajam, limpahan air bah, ganasnya kobaran api, dan aksi ilusi serta beralihrupa mewarnai karakter-karakter di buku ini. Seolah seperti sedang menonton versi medieval dari X-men. Dan adegan pertempurannya tidak hanya satu, tapi berulang-ulang serta menyebar di beberapa bagian buku tebal ini. Seru banget melihat kemampuan-kemampuan super para Darah Baru yang unik-unik sekaligus mengerikan. Bosan dengan aksi pamer para Perak, di buku ini giliran para Darah Baru yang unjuk kebolehan. Dan penulis mampu menuliskan kisah-kisah mutant klise ini dalam cara yang tidak berlebihan sehingga pembaca tidak bosan.

"Tiada yang terlahit jahat, sama seperti tiada yang terlahir sendirian. Mereka menjadi seperti itu karena pilihan dan keadaan." (hlm. 557)

Kemudian, karakter-karakternya dalam buku ini ... benar-benar nyetrum. Walau belum membaca Red Queen, saya merasa mampu mengikuti perkembangan karakter Mare, Cal, dan juga Kilorn yang  dibiarkan tumbuh sewajarnya oleh penulis. Penulis tidak memaksa karakter-karakternya untuk sesuai dengan keinginan pembaca, seolah mereka tumbuh dan berkembang sendiri di tengah-tengah cerita. Pembaca jadi gemes dan pengen ikut nyetrum itu karakter-karakter yang keras kepala, tetapi mereka mengingatkan kita pada orang-orang nyata di sekitar kita. Setelah selesai membaca novel ini, saya acungkan jempol kepada penulis karena telah menciptakan karakter-karakter yang sedemikian berwarna. Sayangnya, saya kurang dapat karakter Maven di buku kedua ini. Kemungkinan, buku kedua ini memang dipersembahkan untuk Cal.

Satu lagi, tepuk tangan yang gemuruh layak dihaturkan kepada penerjemah dan editor. Saya suka pilihan kata (diksi) yang digunakan di novel ini, mengingatkan saya pada diksi di Fablehaven. Banyak kata-kata baru yang sebenarnya adalah kata-kata lama dalam bahasa Indonesia. Memunculkan kembali kata-kata indah ini di buku fantasi kekinian menjadikan kosakata pembaca semakin kaya, plus terasa pas dengan setting buku ini yang agak-agak medieval-kelistrikan. Dan, sampul buku ini, sampulnya UWOWWW 5 juta kali.

No comments:

Post a Comment