Penulis : Carlos Maria Dominguez
Penerjemah : Ronny Agustinus
Penerbit : Marjin Kiri
Cetakan : I, September 2016
Tebal : 76 hlm, 12x 19cm
ISBN : 978-979-1260-62-6
"Jauh lebih sulit membuang buku ketimbang memperolehnya." (hlm. 9)
Ada buku
yang rasa-rasanya tak cukup sekali dibacanya. Ada sesuatu dalam buku itu yang
tampaknya selalu baru setiap kali membuka dan membacanya. Bahkan pun ketika
kita sudah membacanya sampai khatam hingga
lima kali serta merasa telah menyentuh setiap kata dan kalimatnya betulang-ulang, perasaan ingin membaca buku itu lagi masih ada. Sampai akhirnya kita
sadar, bukan buku itu yang menjadikannya seperti itu, tetapi karena kitalah yang telah jatuh cinta pada buku tersebut. Dan bagi saya, Rumah Kertas adalah salah satu dari buku-buku sejenis itu. Buku yang telah membuat banyak pembaca penimbun buku jatuh cinta ini memang berkisah tentang orang-orang yang jatuh cinta kepada buku. Saya suka sekali buku-buku yang juga berkisah tentang buku karena buku-buku langka semacam ini berpotensi menjadikan kita semakin mencintai menimbun buku. Buku mengubah takdir hidup orang-orang (hlm. 1) dan kisah di buku ini membuktikannya.
"Mereka (buku-buku) masih terus menemaniku. Memberiku perlindungan. Keteduhan di musim panas. Membentengiku dari angin. Buku-buku adalah rumahku." (hlm. 54)
Buku ini dibuka dengan sebuah kisah singkat yang dijamin akan langsung menyita perhatian pembaca. Seorang dosen sastra tertabrak mobil hingga meninggal hanya karena dia terlalu asyik membaca buku. Adakah kecintaan terhadap buku yang melebihi kecintaan sang dosen ini? Kematian Bluma inilah yang menjadi awal perjalanan di tokoh utama 'aku' yang akan membawanya menelusuri kisah-kisah para pecinta buku yang luar biasa. Saat menggantikan posisi Bluma di Jurusan Sastra Amerika Latin Universitas Cambridge, London, si tokoh 'aku' mendapatkan sebuah paket misterius yang dialamatkan kepada mendiang Bluma Lenon. Setelah dibuka, paket itu berisi sebuah buku edisi lama La linea de sombra karya Joseph Conrad dengan bekas-bekas adonan semen kering yang masih menempel pada ujung-ujungnya. Pada halaman persembahan, terdapat tulisan tangan Bluma yang menyebut bahwa buku ini dipersembahkan kepada seseorang bernama Carlos.
"Kamar mandinya berisi buku di tiap dindingnya, kecuali di dinding
tempat pancuran air, dan buku-bukunya tak sampai rusak hanya karena ia
berhenti mandi air hangat buat mencegah uap. Mau musim panas atau musim
dingin, ia selalu mandi air dingin." (hlm. 30)
Terdorong oleh rasa penasaran, sekalian juga hendak pulang ke kampung halaman, si aku menuju ke Uruguay demi melacak siapa Carlos. Pencariannya ini mempertemukan dengan para pecinta buku kelas berat di Montevideo yang bernama Jorge Dinaldi. Kolektor yang juga seorang penjual buku lawas ini mengarahkan si aku kepada seorang pecinta buku lain bernama Delgado, yang akhirnya memberinya petunjuk akan keberadaan Carlos Brauer. Mereka yang disebut terakhir ini adalah para pecinta buku kelas akut. Delgado menggambarkan rumah Brauer yang begitu penuh dengan buku, bahkan sampai ke dapur dan kamar mandi. Brauer ini bahkan rela memberikan mobil kesayangannya kepada salah seorang temannya dengan alasan agar garasinya bisa kosong sehingga bisa diisi dengan lebih banyak buku lagi. Untungnya, Brauer ini adalah seorang pecinta buku sekaligus pembaca buku, dia membaca atau berusaha membaca seluruh buku-buku miliknya. Total ada 20ribu-an buku koleksi miliknya.
Lainnya, ada para kutu buku, pelahap bacaan yang rakus, seperti
Brauer itu, yang sepanjang umurnya membangun koleksi perpustakaan yang
penting. Pecinta buku tulen, yang sanggup mengeluarkan uang yang tidak
sedikit untuk buku yang akan menyita waktu mereka berjam-jam, tanpa
kebutuhan lain kecuali untuk mempelajari dan memahaminya." (hlm. 17)
"....Ia mengulurkan ke si kuli sejilid Borges buat dipaskan di bawah
kusen jendela, Vallejo untuk pintu, Kafka di atasnya, dan di sampingnya
Kant, serta edisi sampul tebal Farrewel to Arms-nya Hemingway, juga
Cortazar dan Vargas Llosa, yang selalu menulis karya tebal-tebal;
Valle-Inclan dengan Aristoteles, Camus dengan Morosoli; dan Shakespeare
lengket selamanya dengan Marlowe kena adukan semen; dan semuanya
ditadirkan untuk mendirikan tembok...." (hlm. 53)
"Tak ada orang yang mau lupa menaruh buku. Kita lebih suka kehilangan cincin, arloji, payung, ketimbang buku yang halaman-halamannya takkan pernah bisa kita baca lagi, namun yang tetap terkenang, seperti bunyi judulnya, sebagai emosi yang jauh dan lama dirindu." (hlm. 10)
Cerita yang simpel, tapi dalam kesederhanaan kisah buku ini ada begitu banyak hal yang kita dapatkan. Saya beberapa kali membuka halaman-halaman buku ini dan selalu saja menemukan hal-hal baru tentang buku. Buku ini kudu dimiliki oleh setiap pecinta buku, dibaca setiap pembaca buku, dan disebarkan agar semakin banyak yang membaca buku. Terlalu banyak kutipan indah di buku ini sampai saya takut kalau ulasan ini bukanlah sebuah ulasan buku melainkan kumpulan kutipan.
"Berapa banyak buku yang Anda punya?" tanyaku.
"Jujur saja, saya sudah berhenti menghitung. Tapi saya rasa pasti ada sekitar delapan belas ribu. Sejauh yang saya ingat, saya sudah lama membeli buku di sana sini. Membangun perpustakaan adalah mencipta kehidupan. Perpustakaan tak pernah menjadi kumpulan acak dari buku-buku belaka." (hlm. 26)
Buku ini sangat-sangat-sangat tipis. Dan dengan cerita sederhana itu, rasanya pantas buku ini dimiliki oleh pecinta buku. WAJIB. Bikin penasaran aja.
ReplyDeleteUntuk buku sebagus ini, dengan harga hanya 32.000 saja, ... harta karun! Hahahaha ayo kudu baca juga deh
DeleteKyaaa..tempo hari bahas buku ini ama Dion, dan sekarang keduluan baca x))
ReplyDeletePustakawan terbaik se Lampung juga kudu baca dan punya buku tipis ini hahaha
Deleteish ish ish pengeeeeeen huhuhu. btw, penerbit marjin kiri ini banyak juga ya nerbitin buku tentang buku. maren nyari-nyari di gramed ga ada nemu ih.
ReplyDeleteAku kemarin belinya di Gramedia.com, kok mbak. Iya, susah kalau di tokbuk offline.
DeleteCoba beli di web penerbitnya, Mbak, yang marjin kiri apa gitu.
Delete