Judul buku: Bersimbah Darah dan Cahaya Bintang
Tebal: 608 halaman paperback
Penulis: Laini Taylor
Penerjemah: Primadonna Angela
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: Juli 2014
Pada zaman dulu, sesosok malaikat jatuh cinta pada sesosok monster; dan dunia terbakar bersama mereka. Pada zaman dahulu, malaikat dan monster saling berperang, dan kita tak lagi bisa membedakan mana pihak yang benar-benar baik dan yang sungguh-sungguh jahat.
Buku kedua seri Daughter of Smoke and Bone ini jauh lebih seru dari buku pertamanya. Awalnya, saya ragu membaca seri ini karena takut porsi romansanya bakal lebih banyak dari porsi fantasinya. Ternyata, masih imbang. Penulis mengusung kisah fantasi ini dengan premis kisah asmara, tapi tidak kemudian kisah ini jadi kelewat galau dan kehilangan elemen petualangan khas fantasi. Tokoh-tokohnya keren, nggak menye-menye, bahkan cenderung ke FIGHTING. Kegalauan Akiva dan Karou digambarkan dengan samar sehingga tidak mengubah laju ceritanya yang seru. Plus, buku kedua ini akan mengajak pembaca ke Eretz sehingga bisa merasakan langsung perang antara kaum Seraphim dan Chimaera yang seru tapi bikin ngelus dada (dada saya sendiri) itu.
Melanjutkan buku pertamanya yang sangat menggantung itu, buku kedua ini sedikit banyak mampu mengobati rasa penasaran pembaca akan sebuah kisah yang ditulis dengan memuaskan. Setelah prolog panjang di buku pertama, buku ini ibaratnya adalah pengantar dari sebuah puncak perang besar yang sudah seru sejak pertengahan halaman. Secara bergantian, pembaca diajak bertualang bersama Akiva di Eretz dan dengan Karou di sebuah padang gurun di Afrika Utara. Kalau yang belum baca buku pertama, Akiva ini dari golongan malaikat (Seraphim) sementara Karou dari golongan monster (Chimaera). Kedua golongan ini telah berperang selama seribu tahun di Eretz sampai kemudian Akiva dan Karou saling jatuh cinta. Dari sini semuanya bermula.
Malaikat dalam mitologi barat agak berbeda dengan malaikat versi kita. Malaikat di buku ini bisa lebih jahat ketimbang para monster. Di buku kedua ini, sepertinya malah kebanyakan tokoh jahatnya diperankan oleh para seraphim sementara golongan monster malah mulai menunjukkan sisi manusiawinya. Penulis seperti hendak menjungkirbalikkan konsepsi pembaca tentan seraphim dan monster. Dalam kisah Akiva, kita akan melihat sisi buruk dari para seraphim yang ternyata juga haus darah dan kaus kekuasaan. Seperti manusia, mereka juga menindas sesama dan menggunakan kekuatan untuk memberantas apa-apa yang menurut mereka berbeda, yakni kaum mosnter. Setelah menghancurkan Loramendi, kota basis terakhir bangsa Chimaera, kaum seraphim masih memburu bahkan suku-suku chimaera yang cinta damai dan tidak bisa bertarung. Begitulah ketika kekuatan dan kedudukan disalahgunakan.
Dari sisi Karou, kita akan mengikuti proses pembangkitan yang dilakukannya. Pada buku pertama, dijelaskan bahwa kaum Chimaera memiliki seorang pembangkit yang bisa menghidupkan kembali chimaera-chimaera yang telah terbunuh selama jiwa mereka sempat dipanen dan disimpan dalam wadah dupa. Nah, Karou ternyata mewarisi kemampuan pembangkit ini. Lebih buruk lagi, dia adalah satu-satunya pembangkit. Sebagai bagian dari Chimaera, Karou merasa bertanggung jawab untuk membantu Thiago--Sang Serigala Putih, panglima tertinggi kaum chimaera--dalam melawan Seraphim. Sayangnya, Thiago ini kelakuannya sama jahatnya dengan raja seraphim yang lalim itu. Pria itu gila kekuasaan dan dia tak ragu lagi memanfaatkan apa yang ada untuk membunuhi musuhnya, termasuk menahan dan memanfaatkan Karou.
Begitulah, dengan kemampuannya, Karou membangkitkan kembali pasukan Thiago yang kejam itu. Mereka lalu menebar teror di Eretz dengan membunuhi para seraphim. Darah dibalas darah, kaum seraphim membalas serangan diam-diam itu dengan membantai kaum chimaera--termasuk ternak-ternak dombanya yang tak bersalah. Akiva yang ditugasi membasmi para chimaera ini mulai berbalik melindungi mantan musuhnya. Setiap kali pasukannya hendak berhasil mengejar sekelompok Chimaera yang kabur, dia membelokkannya. Sampai datangnya satu serangan dari kelompok Thiago yang mengantarkan Akiva pada Karou. Keduanya kembali dipertemukan, hanya untuk saling pergi lagi. Susah memang kalau cinta, kadang rindu dan benci jadi satu dan bolak-balik munculnya. Untung saja kegalauan Karou dan Akiva mereka lampiaskan dengan aksi-aksi keren.
Selain alur cerita yang lebih seru, pembaca juga akan dimanjakan dengan hadirnya lebih banyak karakter keren di buku kedua ini. Suzana dan Mik, dua sahabat Karou yang gesrek itu muncul lagi--kali ini bahkan lebih edan. Juga Liraz dan Hazael yang di buku pertama cuma numpang nampang, di buku ini dapat porsi yang lebih banyak. Kita jadi tahu karakter keduanya yang ternyata tidak hitam-putih. Ada satu lagi tokoh kawan Karou dari sukunya yang muncul dan berperan besar di buku ini. Satu-satunya yang nyebelin adalah karakter antagonis di buku ini yang paket jahatnya komplet banget. Plus, beberapa adegan pembunuhan di buku ini--terutama di ending--bikin ngilu karena kras kres kras kres kayak motong kayu saja. Untungnya, di penghujung buku ini, sudah tampak adanya batas yang jelas antara siapa yang musuh dan siapa yang kawan. Di buku ketiga, perang besar epik itu tampaknya akan tiba.
Zaman dahulu kala, malaikat dan monster bertarung saling bersisian melawan sekelompok lawan yang sama.
Bukan genre favorit sih, tapi saya penasaran dengan karakter-karakter yang muncul.
ReplyDeleteBukannya kamu seneng romance ya? Di buku ini elemen romancenya lumayan tebel loh wkwk
Delete