Penulis: Alexander Thian
Editor: Mita M. Supardi & Tesara Rafiantika
Desainer sampul: Agung Nugroho
Penerbit: GagasMedia
ISBN: 979-780-830-0
Cetakan: pertama, 2015
Tebal: 338 halaman
Buku yang sudah booming duluan sebelum terbit ini memang pernah bikin heboh linimasa Goodreads tahun 2015. Melihat ulasan yang bertebaran, saya pun ikut tergoda membacanya, namun keinginan itu masih kalah kuat dibanding keinginan menimbun sehingga baru setahun kemudian saya membacanya (dan buku ini sudah cetak ulang lima kali). Apa yang membuat novel ini rame? Yah, pertama mungkin karena si penulis yang seorang selebtwit sehingga karya-karyanya langsung diburu followers. Kedua, rancang bangun *halah* novel ini menawarkan cerita cinta yang berbeda: dua cinta dan dua cerita dalam satu buku. Lewat Somewhere Only We Know (untuk selanjutkan akan disingkat SOWK), kita disuguhi dua cerita dengan dua rasa yang berbeda, oleh dua sosok yang juga lain. Mungkin inilah yang menjadikan membaca novel ini jadi menarik dan unik. Yah, selain kisah Kenzo yang tidak biasa itu, juga karena kepiawaian penulis menggali dua karakter utamanya sampai lapis-lapis terdalam. Manusia dengan segala keunikan mereka memang merupakan sumber ide kisah yang tak akan ada habisnya.
"Rasanya nyaman bergelung dengan kesendirian. Rasanya aman bercengkrama dengan kesepian. Kesendirian. Kesepian. Dua kata yang tampak sama, tapi sungguh berbeda." (hlm. 18)
SOWK berisi kisah cinta Ririn dan kisah cinta Kenzo, dua kakak beradik dengan kepribadian yang hampir bertolak belakang. Ririn si Kakak yang meledak-ledak, kadang bisa sangat tidak dewasa, alaynya sering kumat, ekstrovert garis keras, dan sejenisnya dan sejenisnya. Sementara Kenzo lumayan lebih kalem, logikasentris, sering memendam masalahnya sendiri, serta menyukai kesendirian. Tapi, dua-duanya suka berdialog dengan dirinya sendiri plus sama-sama mengalami masalah dalam percintaan. Eh ada satu lagi, dua-duanya sama-sama jatuh cinta sama cowok. Yup, Kenzo itu belok dikit. Tetapi, kedua kakak-adik dengan sifat bertolak belakang ini, malah seperti tercipta satu sama lain. Kenzo yang meluruskan Ririn saat alaynya kumat, sementara bagi Kenzo, hanya Ririnlah satu-satunya yang bisa memahami dirinya. Seperti kata Kenzo: "Manusia kerap memakai topeng tawa untuk menyembunyikan duka mereka," tepat seperti itulah yang dirasakannya. Di balik raut tenang dan kalemnya, Kenzo menyimpan badai yang memporak-porandakan hatinya.
"Memberikan nasihat itu mudah, melaksanakannya teramat susah." (hlm. 19)
Dua saudara dengan dua hati yang sama-sama patah. Ririn yang tidak bisa move on pada mantan terakhirnya, dan Kenzo yang belum bisa melupakan pria pertama yang mencintai sekaligus melukainya. Sementara Ririn menghabiskan hari-hari dalam kegalauan, Kenzo memilih memendam sendiri sakit hatinya dan menyingkir ke Hanoi, Vietnam, demi melupakan segalanya. Tetapi, seperti subjudul di novel ini, cinta itu ada, selalu ada, akan selalu ada. Kemanapun kita menghindar, jika memang cinta sudah menyapa, sangat susah untuk menolaknya. Sebagai manusia, sangat sulit untuk tidak jatuh cinta karena memang mencintai dan dicintai adalah salah satu fitrah menjadi manusia. Ririn dipertemukan dengan blogger favorit sekaligus pangeran impiannya, sementara Kenzo mendapatkan teman tak terduga dari dunia maya. Dua-duanya kembali disapa oleh cinta. Tetapi, luka yang masih membekas tetap saja menimbulkan trauma.
"Addicted to pain is not an escape from reality." (hlm. 19)
Saya lebih menyukai kisah Kenzo yang nano-nano itu ketimbang kisah asmara Ririn yang dongeng banget. Pertemuan Ririn dengan Arik sangat sinetroniyah: bertemu sekali dan langsung jatuh cinta. Ini masih ditambah karaktarisasi Arik yang uwow banget. Pria mapan, tinggi, perit sikpek, lengan kekar, sopan, jago dongeng, punya blog yang laris, plus romantis yang detail banget sampai tahu makanan favorit Ririn meskipun baru sekali ketemu. Tokoh ini terasa too good to be true. Penulis mencoba menangkis tuduhan ini pada halaman-halaman akhir buku ini dengan pernyataannya bahwa kadang memang kita harus menerima sesuatu yang memang sempurna dan berbahagia karenanya. Alih-alih meributkan 'kenapa saya bisa mendapatkan kebahagiaan yang sesempurna ini' kenapa tidak menikmatinya saja? Alasan lain yang digunakan penulis, kita akan mendapatkan sesuai dengan yang kita harapkan, baik itu positif maupun negatif. Sikap Ririn yang alay juga kurang cocok untuk usianya yang sudah 30 tahun menjelang. Pokoknya, saya lebih suka kisah Kenzo yang menurut saya malah bikin buku ini beda.
"Manusia perlu ditampar dengan keras supaya dia menyadari bahwa terus mengeluh tak ada gunanya." (hlm. 19)
Kebalikan dengan Ririn, kisah Kenzo ini agak sulit tertebak. Saya geregetan sendiri sampai saya nekat membuka ke halaman-halaman belakang untuk mengetahui siapa sebenarnya si Hava meskipun baru di pertengahan cerita. Terus, setelah tahu, saya cuma ooooo doang. Twist-nya kurang nampol kalau kata saya karena kayak 'ya udah gitu aja.' Keunggulan lain novel ini adalah banyaknya kalimat-kalimat yang layak kutip di dalamnya, juga deskripsi tempat-tempat wisata yang seru di Bali dan Vietnam--yang masih jarang digunakan sebagai latar cerita roman kita. Dari perjalanan Ririn dan Kenzo, kita diajak belajar untuk tidak mengingkari luka sekaligus tidak terluka lagi karenanya. Luka dan masa lalu selamanya menjadi bagian dari diri kita, tetapi bukan berarti masa depan kita harus selalu diwarnai (apalagi ditentukan) oleh keduanya. Maisng-masing kita memegang takdir kita sendiri: mau ke mana dan akan jadi apa, kita sendiri yang sebenarnya menentukan. Ririn dan Kenzo belajar bahwa mereka sekali lagi bisa mencoba dan belajar untuk menerima cinta, begitu juga kita.
"Rasa sakit adalah pengingat bahwa gua adalah manusia. Dan, tanpa harapan, tak ada yang namanya hidup. To expect is to give purpose in life." (hlm. 262)
Wah, Mas Dion mbaca iki. Aku kudu baca mboten mas?
ReplyDeletehai mas.,
ReplyDeletereviewnya bagus nih.. :D