Search This Blog

Friday, August 12, 2016

Menyimak dan Menikmati Proses Kreatif Hamsad Rangkuti



Judul Buku: Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?
Pengarang: Hamsad Rangkuti
Penyunting: Tia Setiadi
Penyelaras akhir: RN
Cetakan: Juni, 2016
Tebal: 236 hlm
Tata Sampul: Joni Ariadinata
Penerbit: DIVA Press

 30225637

Kuliah di jurusan sastra asing membuat saya benar-benar cupu dengan perkembangan dan sejarah sastra negeri sendiri. Yah, mana sempat juga sih baca Berhala-nya Danarto atau Bibir dalam Pispot-nya Hamsad Rangkuti sementara dosen meminta kami membaca Jane Eyre dan Gullivers Travels dengan font-font menyiksa mata serta bahasa Inggris klasik yang panjang dan diksinya rumit itu. Karena itu, selepas kuliah, hanya bisa melongo ketika teman-teman sekantor sibuk bahas karya-karya indah Danarto, Hamsad Rangkuti, Seno Gumira Ajidarma, atau Dewi Sartika. Daftar penulis Indonesia yang saya ketahui saat itu hanya Dewi Lestari, Andrea Hirata, dan Eka Kurniawan. Bahkan saat kawan-kawan heboh karena Landung Simatupang akan memberikan kuliah umum di fakultas, saya anteng saja karena saat itu tak kenal siapa itu Landung. Dan, saya menyesal.

Ketika dua-tiga-lima-tujuh tahun kemudian saya mulai mengetahui kehebatan sastrawan-sastrawan itu (dan sudah punya penghasilan sendiri untuk bisa membeli timbunan buku, kondisinya sudah agak terlambat. Karya-karya itu sudah menghilang dari pasaran. Saya merasa jadi generasi yang hilang karena tidak sempat membaca karya-karya hebat itu. Untungnya, tahun 2013 dan setelahnya, bisa dibilang sebagai tahun kebangkitan sastra. Beberapa penerbit mulai menerbitkan ulang karya-karya maestro sastra yang sudah langka. Buku-buku yang dulu terbit di bawah bendera Bentang Budaya dan Pustaka Jaya, kembali diterbitkan. Hati makin riang ketika penerbit tempat saya bekerja juga menerbitkan kembali karya-karya lama para sastrawan Indonesia seperti Hamsad Rangkuti, Danarto, dan Seno Gumira Ajidarma. Saya bertekad, kali ini saya tidak boleh ketinggalan lagi.

Cerpen Pispot dan Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu? Merupakan dua cerpen legendaris dalam khazanah sastra Indonesia yang bisa dibaca pembaca di buku ini. Khas Hamsad Rangkuti, penutup cerita karyanya sering kali sangat mengejutkan, sedemikian dahsyat hingga mampu membuat pembaca termotivasi untuk bereaksi sebagaimana yang diharapkan penulisnya. Inilah yang mungkin akan pembaca dapatkan dalam pembacaan cerpen Pispot.  

Sementara, untuk cerpen yang menjadi judul buku kumpulan cerpen ini, Hamsad kembali pada kepiawaiannya merangkai hal-hal biasa secara istimewa (sebagaimana yang ditunjukkan oleh judulnya). Hampir sama  seperti dalam kumcernya sebelumnya Wanita Muda di Sebuah Hotel Mewah (dulu pernah diterbitkan dengan judul Sampah Bulan Desember), cerpen-cerpen di buku ini masih dijuarai oleh kehidupan orang-orang biasa dengan segala absurditasnya. Hanya saja, kesederhanaan itu tampak lebih rumit di buku ini ketimbang di buku sebelumnya. Secara isi, ceroita-cerita di buku ini juga lebih beragam, terutama dari segi setting. 

Selain cerpen-cerpen legendarisnya yang menjadikan buku ini wajib baca bagi para pecinta sastra, bagian pengantar penulis di buku ini bisa dibilang sebagai tulisan yang sangat berisi. Seorang Hamsad Rangkuti menuliskan proses kreatif di balik penulisan cerpen-cerpen karyanya dalam ‘Imajinasi Liar dan Kebohongan (Proses Lahirnya Sebuah Cerpen)’ yang kemudian ditanggapi oleh FX Rahadi di bagian penutup. Di bagian awal buku ini, pembaca akan didongengkan langsung oleh penulis terkait prosesnya dalam menulis cerpen. Tulisan yang cukup lengkap ini juga semacam rekam jejak seorang Hamsad Rangkuti dalam berkarya, sejak pertama kali cerpennya “Sebuah Nyanyian di Rambung Tua” yang ditulisnya tahun 1959. 

Apa yang menjadikan bab ini istimewa, tidak lain karena Hamsad bersedia berbagi masa mudanya (sebagai manusia sekaligus pengarang) kepada pembaca. Disebutnya bahwa cerpen-cerpen karya para sastrawan dunia seperti Anton Chekov, Maxim Gorky, dan Ernest Hemingway sebagai hal yang telah ‘mengganggunya’ saat remaja sehingga beliau memutuskan untuk mengarang. Sudah lumrah ketika sebuah tulisan yang bagus mampu menimbulkan semacam gangguan kreatif pada diri pembacanya. Gangguan kreatif dari cerpen-cerpen karya penulis dunia inilah yang pertama kali memantik imajinasi seorang Hamsad kecil sehingga bisa menjadi penulis legendaris Indonesia.


Tepat sekali yang dikatakan FX Rahardi dalam sisipan tulisannya di akhir buku kumcer ini (Antara Fiksi dan Kebohongan) bahwa Hamsad Rangkuti mungkin bukan cerpenis yang piawai memberikan banyak hal dalam karyanya. Penulis yang kini tengah terbaring sakit karena stroke ini sepertinya memang hanya mampu memberikan sedikit hal saja kepada pembaca, namun dia memberikannya secara mendalam dan dengan sedemikian hebat. Inilah yang kemudian menjadi ciri khas karya-karyanya, yang sekaligus menjadikan pengarang ini dijuluki sebagai salah satu maestro cerpenis di Indonesia. Tentang kehidupan orang-orang biasa serta kelucuan hidup di balik kehidupan mereka yang tampaknya biasa-biasa saja. Hal-hal istimewa selalu berhasil diangkat oleh Hamsad Rangkuti dari segala yang tampaknya biasa dalam kehidupan keseharian. Agus Noor menjuluki ciri khas ini sebagai ‘kesederhanaan yang tetap memesona.”


Membaca sastra sepertinya menjadi proses pembelajaran utama yang ditempuh penulis. Di buku ini, Hamsad mengaku bahwa dirinya pun turut berproses sebagai penulis, dari yang awalnya penulis berbakat alami hingga kemudian menjadi penulis yang mengarang setelah mengetahui teknik kepengarangan. Pengakuan ini menjadi bukti bahwa latihan dan belajar tetap menjadi hal yang utama untuk bisa menjadi unggul dalam banyak hal, termasuk untuk menjadi seorang pengarang unggul. “Saya semakin yakin bahwa dengan makin banyak membaca semakin banyak yang bisa diperoleh,” akunya di halaman 13.

Selain itu, di buku ini Hamsad juga loyal membagikan ilmu dan pengalamannya dalam  menuliskan cerita. Banyak cerita-cerita uniknya yang ternyata terilhami oleh peristiwa yang mungkin terkesan biasa-biasa saja. Misalnya cerpen ‘Dia Mulai Memanjat’ yang tercetus setelah Hamsad muda mendengar ucapan pelukis senior Oesman Efendi: “Kalau kaumau terkenal, penggal kepala patung di Bundaran Senayan. Katakan itu karyamu! Kau akan terkenal!” Untung saja Hamsad tidak melakukannya, tapi dia membiarkan tokoh fiktif rekaannya yang melakukan hal itu dalam cerpen karyanya. Dan, Hamsad pun nyata terkenal sekarang tanpa harus berurusan dengan pihak berwajib. Begitulah seorang pengarang, mereka bertindak nyata lewat karya fiktifnya.



           
           
             


1 comment: