Search This Blog

Monday, September 14, 2015

The Scorch Trial (The Maze Runner 2)



Judul: The Scorch Trial (The Maze Runner 2)
Pengarang: James Dashner
Penerjemah: Meidyana Arrisandi
Tebal: 511 hlm
Cetakan: 1, 2012
Penerbit: Mizan Fantasy

13501972

Mumpung lagi hits filmnya, saya pun mendorong diri untuk membuka segel novel yang sudah saya beli sejak lebih dari tiga tahun ini (mana belinya di obralan pulak, Rp20.000 coba!). Yah, tanggal segini duit sudah mepet (untuk menambah tinggi timbunan) jadi belum bisa nonton filmnya. Daripada saya berbuat dosa dengan nge-donlod versi tidak resminya (mending nunggu aja sih kopiannya di warnet *ditabokproduser) jadi lebih baik saya membaca novelnya. Itung-itung hemat duit dan mengurangi tinggi timbunan yang semakin miring itu. Ketika novel ini keluar dari timbunan, tampak halaman depannya lengket dengan sampul. Inilah bahaya dari menumpuk buku terlalu lama dalam posisi berbaring. Bahkan, ada ‘legokan’ (cekungan) di halaman-halaman depan karena ketindih pembatas buku. Maka sadarilah, menimbun buku itu tidak baik *umpetin timbunan ke kolong kasur.

Jadi, gimana ini kesan dan pesan setelah membaca The Scorch Trial? Kesannya sama persis seperti saat saya membaca The Maze Runner, yakni lebih enak nonton filmnya! Tapi, rugi kan ya, sudah beli buku dan nggak dibaca (walau murah sekalipun). Biasanya, kalau sudah nonton filmnya jadi malas baca novelnya (tapi tidak untuk kebalikannya) jadi saya nekat membaca novelnya. Hasilnya, saya lelah. Saya lelah karena seolah sedang membaca novel tentang lomba lari yang benar-benar melelahkan. Modelnya mungkin kayak perjalanan Frodo cs ke Gunung Mordor, tapi di buku Tolkien itu kita terhibur oleh keindahan Bumi Tengah, sementara dalam buku ini, pemandangan Bumi kering kerontang dan panas.

Ini salah satu alasan mengapa saya kurang suka novel dystopia, yakni karena isinya muram dan tidak ada keindahan setting di dalamnya. Bumi rusak dan peradaban hancur, hancur yang tidak bisa dibangun lagi saking parahnya. Saya lebih suka novel zaman dulu yang klasik tapi dengan segala kemegahannya. Tapi, baca dystopia itu penting loh, paling tidak agar kita tahu seberapa mengerikannya bencana yang bisa ditimbulkan oleh ulah manusia. Jadi, sesekali saya akan membacanya demi agar selalu mengingat agar tidak buang sampah sembarangan, hemat listrik, dan menanam banyak pohon. Saya tidak mau Bumi rusak seperti dalam trilogy Maze Runner ini. Cukup hanya di novel saja.

Mengapa buku kedua ini melelahkan? Di samping tebalnya yang 500 halaman lebih sedikit, ceritanya kurang kompleks kalau disbanding The Maze Runner yang penuh kejutan itu. Di buku kedua ini, Thomas dan para Glader dikisahkan berada di sebuah asrama yang aman (setelah mereka keluar dari Maze), tapi keesokan harinya asrama itu terbukti hanyalah semacam awal dari ujicoba kedua. WICKED kembali hendak mencari variable entah apa dengan menyuruh Thomas dkk bergerak, kali ini tidak dalam Maze melainkan ke dunia luar, ke daratan kering kerontang yang disengat bola matahari. Akhirnya, seperti tidak hanya saya yang bosan dengan kungkungan labirin, akhirnya pembaca bisa mengetahui kondisi dunia setelah bencana badai matahari.

Dunia luar, seperti yang dibayangkan Thomas, adalah padang tandus yang luas, kering, dan sangat panas. WICKED telah menyuruh Thomas dkk menuju utara ke surga yang aman di mana mereka dijanjikan obat bagi flare. Jadi, seluruh isi buku ini adalah tentang perjalanan para Gladers menuju ke utara, dan membacanya bagi saya terasa begitu melelahkan. Mungkin, ini karena kepiawaian penulis yang bisa membikin pembaca larut dalam ceritanya. Tapi, mungkin juga karena ceritanya yang lambat dengan cerita berjalan dan setting kering kerontang begitu-begitu saja. Mereka dengan bertudung taplak berjalan menembus padang kerontang yang panas menggila, lalu menembus kota rusak yang dikuasai para zombie wanna be yang nanggung zombienya (masih agak rasional karena belum flare masih tingkat sebelum akut), lalu sampai ke surga yang aman di mana mereka harus … ah dibaca sendiri saja deh ya.

Bagian drama paling seru di buku ini menurut saya hanya ada dua, yakni serangan bola baja misterius di terowongan saat para gladers keluar dari asrama serta saat ketika Thomas dan Brenda dikejar oleh crank yang ingin mengigit hidung mereka. Adegan ini mengingatkan saya pada film zombie-zombie menyeramkan  macam Night of the Living Dead dan seri Resident Evil. Selain itu, ceritanya berkutat antara perjalanan Thomas dkk. Twist-nya mungkin pada Theresa yang tiba-tiba mengkhianati Thomas. Tapi, saya kok belum bisa teryakinkan dengan alasan pengkhianatan itu, dan juga penyelesaiannya. Trus, ada juga tambahan baru. Jika Glader adalah Kelompok A, ternyata ada kelompok lain yang semuanya adalah anak cewek. Mereka kelompok B. Tujuan kelompok B ini hanya satu, menghabisi Thomas.

Jika di The Maze Runner Thomas adalah juaranya, di buku kedua ini menurut saya Minho lah jagoannya. Entahlah, tapi Thomas makin galau aja gara-gara mulai diserang virus merah jambu, sementara Minho dengan gaya slengeannya adalah si pemegang kendali. Kalau Minho ga ada, saya kurang yakin buku kedua ini bisa berjalan dan para Gladers bisa sampai ke surga yang aman. Dua jempol untuk Minho #TimMinho. Sepertinya, filmnya akan jauh enak untuk dinikmati, walau bukunya sendiri sebaiknya dibaca agar dapat ceritanya. Tapi, mungkin cukup satu kali saja baca buku ini.

8 comments:

  1. belum baca The Maze Runner, tapi barusan liat filmnya *telat banget padahal film The Scorch Trial udh ada* dan emang bener sih, filmnya keren. tapi bingung juga sama filmnya, blank banget waktu nonton bagian awalnya..

    samaaa.. aku juga pendukung Minho :D

    ReplyDelete
  2. iyaaaa Minho for president hahaha kl di buku kerasa banget slegeannya si Minho ini

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih ulasannya mas Dion. (Klo diliat di trailer pilemnya bagus loh)

      Delete
  3. Baru beres baca ini. Iyaaa, capeee hati banget bacanya. Begitu beres malah pengen lempar kindle, krna ga ada happy endingnya. Malah gantung bgd gt.. Hahahha.. Jd aja ga tenang sblm bs beresin buku ke 3.
    Minhoo.. Sukaa banget sama dia, blm lg komentar2 sakartik ny yg bikin makin keren. Hehehe..

    ReplyDelete
  4. Sebagai orang yang nonton film gak baca bukunya, film kedua lebih greget, seru.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya mbak, menurutku filmnya malah lebih keren daripada bukunya

      Delete