Judul: The Scorch Trial (The
Maze Runner 2)
Pengarang: James Dashner
Penerjemah: Meidyana Arrisandi
Tebal: 511 hlm
Cetakan: 1, 2012
Penerbit: Mizan Fantasy
Mumpung
lagi hits filmnya, saya pun mendorong diri untuk membuka segel novel yang sudah
saya beli sejak lebih dari tiga tahun ini (mana belinya di obralan pulak,
Rp20.000 coba!). Yah, tanggal segini duit sudah mepet (untuk menambah tinggi
timbunan) jadi belum bisa nonton filmnya. Daripada saya berbuat dosa dengan
nge-donlod versi tidak resminya (mending nunggu aja sih kopiannya di warnet
*ditabokproduser) jadi lebih baik saya membaca novelnya. Itung-itung hemat duit
dan mengurangi tinggi timbunan yang semakin miring itu. Ketika novel ini keluar
dari timbunan, tampak halaman depannya lengket dengan sampul. Inilah bahaya
dari menumpuk buku terlalu lama dalam posisi berbaring. Bahkan, ada ‘legokan’
(cekungan) di halaman-halaman depan karena ketindih pembatas buku. Maka
sadarilah, menimbun buku itu tidak baik *umpetin timbunan ke kolong kasur.
Jadi,
gimana ini kesan dan pesan setelah membaca The
Scorch Trial? Kesannya sama persis seperti saat saya membaca The Maze Runner, yakni lebih enak nonton
filmnya! Tapi, rugi kan ya, sudah beli buku dan nggak dibaca (walau murah
sekalipun). Biasanya, kalau sudah nonton filmnya jadi malas baca novelnya (tapi
tidak untuk kebalikannya) jadi saya nekat membaca novelnya. Hasilnya, saya
lelah. Saya lelah karena seolah sedang membaca novel tentang lomba lari yang
benar-benar melelahkan. Modelnya mungkin kayak perjalanan Frodo cs ke Gunung
Mordor, tapi di buku Tolkien itu kita terhibur oleh keindahan Bumi Tengah,
sementara dalam buku ini, pemandangan Bumi kering kerontang dan panas.
Ini
salah satu alasan mengapa saya kurang suka novel dystopia, yakni karena isinya muram dan tidak ada keindahan setting
di dalamnya. Bumi rusak dan peradaban hancur, hancur yang tidak bisa dibangun
lagi saking parahnya. Saya lebih suka novel zaman dulu yang klasik tapi dengan
segala kemegahannya. Tapi, baca dystopia itu
penting loh, paling tidak agar kita tahu seberapa mengerikannya bencana yang
bisa ditimbulkan oleh ulah manusia. Jadi, sesekali saya akan membacanya demi
agar selalu mengingat agar tidak buang sampah sembarangan, hemat listrik, dan
menanam banyak pohon. Saya tidak mau Bumi rusak seperti dalam trilogy Maze Runner ini. Cukup hanya di novel
saja.
Mengapa
buku kedua ini melelahkan? Di samping tebalnya yang 500 halaman lebih sedikit,
ceritanya kurang kompleks kalau disbanding The
Maze Runner yang penuh kejutan itu. Di buku kedua ini, Thomas dan para
Glader dikisahkan berada di sebuah asrama yang aman (setelah mereka keluar dari
Maze), tapi keesokan harinya asrama itu terbukti hanyalah semacam awal dari
ujicoba kedua. WICKED kembali hendak mencari variable entah apa dengan menyuruh
Thomas dkk bergerak, kali ini tidak dalam Maze melainkan ke dunia luar, ke
daratan kering kerontang yang disengat bola matahari. Akhirnya, seperti tidak
hanya saya yang bosan dengan kungkungan labirin, akhirnya pembaca bisa
mengetahui kondisi dunia setelah bencana badai matahari.
Dunia
luar, seperti yang dibayangkan Thomas, adalah padang tandus yang luas, kering,
dan sangat panas. WICKED telah menyuruh Thomas dkk menuju utara ke surga yang
aman di mana mereka dijanjikan obat bagi flare.
Jadi, seluruh isi buku ini adalah tentang perjalanan para Gladers menuju ke
utara, dan membacanya bagi saya terasa begitu melelahkan. Mungkin, ini karena
kepiawaian penulis yang bisa membikin pembaca larut dalam ceritanya. Tapi,
mungkin juga karena ceritanya yang lambat dengan cerita berjalan dan setting
kering kerontang begitu-begitu saja. Mereka dengan bertudung taplak berjalan
menembus padang kerontang yang panas menggila, lalu menembus kota rusak yang
dikuasai para zombie wanna be yang
nanggung zombienya (masih agak rasional karena belum flare masih tingkat sebelum akut), lalu sampai ke surga yang aman
di mana mereka harus … ah dibaca sendiri saja deh ya.
Bagian
drama paling seru di buku ini menurut saya hanya ada dua, yakni serangan bola
baja misterius di terowongan saat para gladers keluar dari asrama serta saat
ketika Thomas dan Brenda dikejar oleh crank
yang ingin mengigit hidung mereka. Adegan ini mengingatkan saya pada film
zombie-zombie menyeramkan macam Night of the Living Dead dan seri Resident Evil. Selain itu, ceritanya
berkutat antara perjalanan Thomas dkk. Twist-nya
mungkin pada Theresa yang tiba-tiba mengkhianati Thomas. Tapi, saya kok belum
bisa teryakinkan dengan alasan pengkhianatan itu, dan juga penyelesaiannya. Trus, ada juga tambahan baru. Jika Glader adalah Kelompok A, ternyata ada kelompok lain yang semuanya adalah anak cewek. Mereka kelompok B. Tujuan kelompok B ini hanya satu, menghabisi Thomas.
Jika
di The Maze Runner Thomas adalah
juaranya, di buku kedua ini menurut saya Minho lah jagoannya. Entahlah, tapi
Thomas makin galau aja gara-gara mulai diserang virus merah jambu, sementara
Minho dengan gaya slengeannya adalah si pemegang kendali. Kalau Minho ga ada,
saya kurang yakin buku kedua ini bisa berjalan dan para Gladers bisa sampai ke
surga yang aman. Dua jempol untuk Minho #TimMinho. Sepertinya, filmnya akan
jauh enak untuk dinikmati, walau bukunya sendiri sebaiknya dibaca agar dapat
ceritanya. Tapi, mungkin cukup satu kali saja baca buku ini.
belum baca The Maze Runner, tapi barusan liat filmnya *telat banget padahal film The Scorch Trial udh ada* dan emang bener sih, filmnya keren. tapi bingung juga sama filmnya, blank banget waktu nonton bagian awalnya..
ReplyDeletesamaaa.. aku juga pendukung Minho :D
iyaaaa Minho for president hahaha kl di buku kerasa banget slegeannya si Minho ini
ReplyDeleteTerima kasih ulasannya mas Dion. (Klo diliat di trailer pilemnya bagus loh)
DeleteSteven jadi baca bukunya?
DeleteBaru beres baca ini. Iyaaa, capeee hati banget bacanya. Begitu beres malah pengen lempar kindle, krna ga ada happy endingnya. Malah gantung bgd gt.. Hahahha.. Jd aja ga tenang sblm bs beresin buku ke 3.
ReplyDeleteMinhoo.. Sukaa banget sama dia, blm lg komentar2 sakartik ny yg bikin makin keren. Hehehe..
Toss #TimMinho
ReplyDeleteSebagai orang yang nonton film gak baca bukunya, film kedua lebih greget, seru.
ReplyDeleteIya mbak, menurutku filmnya malah lebih keren daripada bukunya
Delete