Search This Blog

Monday, September 21, 2015

Critical Eleven

Judul: Critical Eleven
Pengarang: Ika Natassa
Editor: Rosi L Simamora
Sampul: Ika Natassa
Cetakan: 1, 2015
Tebal: 338 hlm
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama


25737077 



Akhirnya—terima kasih tak terhingga buat Steven—sehingga rasa penasaran saya akan novel Critical Eleven yang dahsyat itu terjawab. Sebagaimana kebanyakan teman-teman yang lain, saya berhasil menamatkan membaca novel ini dalam waktu sehari saja. Memang kok, buku bagus itu selalu terlalu ‘tipis’ bagi pembacanya, tahu-tahu saja sudah habis dan dia meninggalkan kita dengan pikiran yang berubah, perasaan yang baru, serta kekuatan—entah apa—untuk menjalani hidup ini dengan lebih baik. Sebuah buku yang bagus memang hiburan yang sempurna, karena tidak hanya kita dihiburnya, tetapi juga karena ada sesuatu yang bertambah di dalam diri kita. 



                “Hidup ini jangan dibiasakan menikmati yang instan-instan. Le, jangan mau gampangnya saja. Hal-hal terbaik dalam hidup justru seringnya harus melalui usaha yang lama dan menguji kesabaran dulu.” (hlm. 31)

                Seperti apakah ras Critical Eleven? Bagi saya, novel ini adalah tipe novel metropop yang ideal. Dia tidak mengumbar gaya hidup yang sedemikian bitchy sehingga lupa untuk menjejak bumi, tapi juga tidak kemudian terlalu menceramahi sehingga berudah menjadi novel religi. Karya Ika Natasya ini ada ditengah-tengah keduanya, perpaduan sederhana antara sebuah roman rumah tangga dengan pelajaran hidup tentang perbedaan antara pria dan wanita. Bagi saya, novel ini membelajarkan karena memandu para pembacanya untuk lebih mau dan mampu memahami orang lain. Tidak pria dan tidak pula wanita, bukan #TimAle atau #TimAnya, semua belajar tentang indahnya memahami di buku ini.

“Waktu adalah satu-satunya hal di dunia ini yang terukur dengan skala sama bagi semua orang, tetapi memiliki nilai berbeda bagi setiap orang.” (hlm 17)

                Allan dan Barbara Pease pernah bilang bahwa pria berbicara lewat aksi sementara wanita lebih mengedepankan hati. Pria mengutamakan logika sementara wanita selalu menggunakan perasaan. Tidak ada yang lebih baik di antara keduanya, hanya berbeda itu saja. Dan, menjadi berbeda itu sangat tidak sama dengan “tidak setara.” Inilah yang mungkin hendak diangkat oleh penulis lewat novel ini. Bagi pembaca pria, dia mengajak untuk berusaha memahami wanita sebagai mahkluk perasa. Sementara bagi pembaca wanita, diperkenalkan tentang pria yang sangat menjunjung tinggi logika. Inilah mengapa Ika kemudian menulis dengan dua sudut pandang, yakni Ale dan Anya, secara bergantian. 

                “Kata-kata bisa memperdaya, tetapi angka tidak pernah berbohong.” (hlm 278)

Mungkin, ada yang membenci Anya yang kayak ribet banget atau yang pengen nbejek-mbejek Ale yang egois abis: mengapa sih Ale kayak nggak punya perasaan gitu, tega banget sama Anya atau Aduh Anya ini Ratu Drama banget, masak cuma dibilangin gitu udah ngambek 6 bulan. Tidak, Ika tidak mengajak pembaca untuk memilih salah satu. Melalui buku ini, antara Anya dan Ale saling membuka dunia mereka, mengajak pembaca memasuki dunia perbedaan antara pria dan wanita, bukan untuk diungkit apalagi dipermasalahkan, tapi untuk saling memahami. Pada akhirnya, pasangan yang mampu bertahan lama adalah yang sudah saling memahami satu sama lain. Karena, tidak ada pasangan yang sempurna, yang ada adalah pasangan yang saling menyempurnakan. 

“Tuhan memang penulis cerita cinta yang tak ada duanya.” (hlm. 209)  

Ale dan Anya, kedua orang ini dipertemukan untuk pertama  kalinya dalam sebuah penerbangan ke Sydney. Selama sebelas menit yang menentukan, takdir mereka saling berkelindan sehingga keduanya dipersatukan oleh ikatan merah jambu. Tidak lama setelahnya, mereka berpacaran. Lalu, menikah dan menikmati surga pernikahan yang sungguh bikin iri para jomblowan dan jomblowati sampai akhirnya sebuah peristiwa memilukan datang. Peristiwa besar yang disusul sebuah kesalahan yang berakibat para retaknya hubungan keduanya. Sepanjang buku ini, saya turun diajak naik turun menyaksikan kisah keduanya, bahagia, sedih, malu-malu unyu, dan marah. 

Saya suka buku ini karena bisa belajar banyak tentang kopi, minyak, dan konsultan.
Saya suka buku ini karena tokoh-tokohnya membumi, mereka tidak lupa untuk lapor ke Bos Besar (yang jarang sekali saya temui di buku-buku sejenis).
Saya suka buku ini karena saya sempat ikut sebel sama Anya, tapi lalu simpatik dan pengen meluk dia.
Saya suka buku ini karena Ale telah mengajarkan kepada saya bagaimana menjadi seorang pria yang layak dicintai.
Dan, saya suka buku ini karena ada toko buku di dalamnya.

“Toko buku itu bukti nyata bahwa keragaman selera bisa kumpul di bawah satu atap tanpa harus saling mencela. Yang suka fiksi, komik, politik, masak-memasak, biografi, traveling, semua bisa  ngumpul di satu toko buku and find their own thing there.” (hlm. 13)

4 comments:

  1. Setelah beberapa kali baca Metropo.., mosok ada yang ideal, Mas?
    Penasaraaaannn...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya mbak, ideal menurut saya di sini penulis tidak malu malu untuk memasukkan sedikit unsur religi, jadi baik Ale dan Anya ini selalu mengupayakan ibadah tetap jalan meskipun gaya hidupnya kekinian, hampir mirip seperti yang kita coba untuk idealkan begitu

      Delete
  2. Buku ini emang agak beda sih dari buku Ika sebelumnya, lebih ke domestic drama kalo aku bilang, bukan metropop, mungkin menjadi alasan kenapa label metropopnya dihilangkan, hehehe

    ReplyDelete
  3. Ow begitu, aku blm pernah baca karya dia sebelumnya. Iya menurutku memang lebih ke drama ya karena aroma metropopnya dikit sekali.

    ReplyDelete