Pengarang: Ika Natassa
Editor: Rosi L Simamora
Sampul: Ika Natassa
Cetakan: 1, 2015
Tebal: 338 hlm
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Akhirnya—terima kasih tak terhingga buat Steven—sehingga rasa
penasaran saya akan novel Critical Eleven
yang dahsyat itu terjawab. Sebagaimana kebanyakan teman-teman yang lain,
saya berhasil menamatkan membaca novel ini dalam waktu sehari saja. Memang kok,
buku bagus itu selalu terlalu ‘tipis’ bagi pembacanya, tahu-tahu saja sudah
habis dan dia meninggalkan kita dengan pikiran yang berubah, perasaan yang
baru, serta kekuatan—entah apa—untuk menjalani hidup ini dengan lebih baik.
Sebuah buku yang bagus memang hiburan yang sempurna, karena tidak hanya kita
dihiburnya, tetapi juga karena ada sesuatu yang bertambah di dalam diri kita.
“Hidup ini jangan dibiasakan menikmati yang
instan-instan. Le, jangan mau gampangnya saja. Hal-hal terbaik dalam hidup
justru seringnya harus melalui usaha yang lama dan menguji kesabaran dulu.” (hlm.
31)
Seperti
apakah ras Critical Eleven? Bagi
saya, novel ini adalah tipe novel metropop yang ideal. Dia tidak mengumbar gaya
hidup yang sedemikian bitchy sehingga
lupa untuk menjejak bumi, tapi juga tidak kemudian terlalu menceramahi sehingga
berudah menjadi novel religi. Karya Ika Natasya ini ada ditengah-tengah
keduanya, perpaduan sederhana antara sebuah roman rumah tangga dengan pelajaran
hidup tentang perbedaan antara pria dan wanita. Bagi saya, novel ini membelajarkan
karena memandu para pembacanya untuk lebih mau dan mampu memahami orang lain.
Tidak pria dan tidak pula wanita, bukan #TimAle atau #TimAnya, semua belajar
tentang indahnya memahami di buku ini.
“Waktu adalah
satu-satunya hal di dunia ini yang terukur dengan skala sama bagi semua orang,
tetapi memiliki nilai berbeda bagi setiap orang.” (hlm 17)
Allan
dan Barbara Pease pernah bilang bahwa pria berbicara lewat aksi sementara
wanita lebih mengedepankan hati. Pria mengutamakan logika sementara wanita
selalu menggunakan perasaan. Tidak ada yang lebih baik di antara keduanya,
hanya berbeda itu saja. Dan, menjadi berbeda itu sangat tidak sama dengan “tidak
setara.” Inilah yang mungkin hendak diangkat oleh penulis lewat novel ini. Bagi
pembaca pria, dia mengajak untuk berusaha memahami wanita sebagai mahkluk
perasa. Sementara bagi pembaca wanita, diperkenalkan tentang pria yang sangat
menjunjung tinggi logika. Inilah mengapa Ika kemudian menulis dengan dua sudut
pandang, yakni Ale dan Anya, secara bergantian.
“Kata-kata bisa memperdaya, tetapi angka
tidak pernah berbohong.” (hlm 278)
Mungkin, ada yang membenci Anya
yang kayak ribet banget atau yang pengen nbejek-mbejek Ale yang egois abis: mengapa sih Ale kayak nggak punya perasaan
gitu, tega banget sama Anya atau Aduh
Anya ini Ratu Drama banget, masak cuma dibilangin gitu udah ngambek 6 bulan. Tidak,
Ika tidak mengajak pembaca untuk memilih salah satu. Melalui buku ini, antara
Anya dan Ale saling membuka dunia mereka, mengajak pembaca memasuki dunia
perbedaan antara pria dan wanita, bukan untuk diungkit apalagi dipermasalahkan,
tapi untuk saling memahami. Pada akhirnya, pasangan yang mampu bertahan lama
adalah yang sudah saling memahami satu sama lain. Karena, tidak ada pasangan
yang sempurna, yang ada adalah pasangan yang saling menyempurnakan.
“Tuhan memang penulis
cerita cinta yang tak ada duanya.” (hlm. 209)
Ale dan Anya, kedua orang ini dipertemukan untuk
pertama kalinya dalam sebuah penerbangan
ke Sydney. Selama sebelas menit yang menentukan, takdir mereka saling
berkelindan sehingga keduanya dipersatukan oleh ikatan merah jambu. Tidak lama
setelahnya, mereka berpacaran. Lalu, menikah dan menikmati surga pernikahan
yang sungguh bikin iri para jomblowan dan jomblowati sampai akhirnya sebuah
peristiwa memilukan datang. Peristiwa besar yang disusul sebuah kesalahan yang
berakibat para retaknya hubungan keduanya. Sepanjang buku ini, saya turun
diajak naik turun menyaksikan kisah keduanya, bahagia, sedih, malu-malu unyu,
dan marah.
Saya suka
buku ini karena tokoh-tokohnya membumi, mereka tidak lupa untuk lapor ke Bos
Besar (yang jarang sekali saya temui di buku-buku sejenis).
Saya suka
buku ini karena saya sempat ikut sebel sama Anya, tapi lalu simpatik dan pengen
meluk dia.
Saya suka
buku ini karena Ale telah mengajarkan kepada saya bagaimana menjadi seorang
pria yang layak dicintai.
Dan, saya
suka buku ini karena ada toko buku di dalamnya.
“Toko buku itu bukti nyata bahwa keragaman
selera bisa kumpul di bawah satu atap tanpa harus saling mencela. Yang suka
fiksi, komik, politik, masak-memasak, biografi, traveling, semua bisa ngumpul di satu toko buku and find their
own thing there.” (hlm. 13)
Setelah beberapa kali baca Metropo.., mosok ada yang ideal, Mas?
ReplyDeletePenasaraaaannn...
Iya mbak, ideal menurut saya di sini penulis tidak malu malu untuk memasukkan sedikit unsur religi, jadi baik Ale dan Anya ini selalu mengupayakan ibadah tetap jalan meskipun gaya hidupnya kekinian, hampir mirip seperti yang kita coba untuk idealkan begitu
DeleteBuku ini emang agak beda sih dari buku Ika sebelumnya, lebih ke domestic drama kalo aku bilang, bukan metropop, mungkin menjadi alasan kenapa label metropopnya dihilangkan, hehehe
ReplyDeleteOw begitu, aku blm pernah baca karya dia sebelumnya. Iya menurutku memang lebih ke drama ya karena aroma metropopnya dikit sekali.
ReplyDelete