Penulis: Ade Ubaidil
Editor: Ainini
Cetakan: 1, Agustus 2015
Tebal: 188 hlm
Penerbit: De Teens
Pada zaman
dahulu kala …
Saya tertarik membaca Kafe Serabi karena judulnya yang unik
(memadukan unsur modern dan tradisional) serta membaca synopsis di sampul
belakangnya yang memang bikin penasaran. Jarang loh penulis muda yang
menggunakan karakter gadis kuliahan yang kelebihan muatan eh berat badan
sebagai karakter utama. Biasanya sih ceweknya tipe-tipe tinggi semampai,
langsing, dan gaulnya tujuh turunan. Pasti unik melihat bagaimana gadis
sebongsor Anggun menemukan cintanya senormal gadis-gadis lain yang tidak
sebongsor dirinya. Dan, tiba-tiba novel ini ternyata tentang LGBT,
sodara-sodara! *keselek kuaci
Jadi Anggun yang jarang dilirik
cowok ini tiba-tiba saja didatengin oleh sesosok cowok tampan, tegap, tinggi,
atletis, putih; namanya Ken—iya Ken kayak pria sempurna di dunia Barbietopia. Bagaimana
bisa cowok cakep idaman sejuta umat itu malah jatuh cinta sama Anggun? Nah, di
sini tuh twist-nya, mungkin bisa
langsung ketebak kalau kalian banyak baca novel. Premis ini bisa menjadi bahan cerita yang bagus sebenarnya,
sejujurnya saya sendiri cukup “menikmati” novel ini karena bisa menghabiskannya
dalam dua kali duduk selama kurang lebih 2 jam. Artinya, penulis memiliki
teknik menulis yang sudah jadi.
Sayangnya, kelincahan teknik itu
belum dibarengi oleh riset yang memadai, juga sepertinya penulis menulis naskah
ini dengan terburu-buru. Banyak sekali bolong logika, kepleset fakta, dan
keganjilan kecil yang membuat saya senewen dan cerewet sendiri. Karena agak
banyak, saya beri poin-poin saja ya, dan mohon maaf jika sangat spoiler. Soal
alur ceritanya bagaimana, silakan dibaca sendiri.
1. Di awal
dikisahkan bahwa Anggun selalu di-bully di kampusnya hanya karena dia GENDUT.
Ayolah, mungkin masih wajar ya kalau Anggun ini anak SMP atau SMA dan dibully
teman-temannya hanya karena dia gendut. Maklum, masa remaja kan pada belum
dewasa pemikirannya. Tapi, Anggun ini mahasiswi. Dia KULIAH di KAMPUS
sodara-sodara! Anggun sendiri mengaku dia tidak tahan di kampus ini karena
banyak temannya yang mengejek Anggun sebagai si gendut. Ini anak-anak mahasiswa
yang notabene udah 17 tahun ke atas, kaum intelektual dan diharapkan jadi calon
pemimpin bangsa, masak iya masih memandang orang dari segi fisik! Ini
mahasiswa-mahasiswi yang rela turun ke jalan demi menuntut keadilan bagi
rakyat, tapi di kampus Anggun ini mereka membully Anggun hanya karena dia
GENDUT! Ayolah, anak-anak kuliahan setahu saya tidak sepicik itu.
2. Tentang
Ken dan Reza, sepertinya penulis butuh banyak baca buku tentang LGBT sebelum
menggunakan twist semacam ini dalam
ceritanya. Ken, cowok yang jatuh cinta sama Anggun, dia memilih Anggun hanya
karena dia ingin berubah menjadi cowok yang normal. Kenapa Reza ingin jadi
normal? Karena dia geli dikejar-kejar si Reza yang mengajaknya menikah saat tinggal
di Belanda. Oh ya, Reza ini sepupunya Anggun (sungguh sebuah kebetulan) dan
baik Ken maupun Reza, mereka masih seusia Anggun. Si Reza ini digambarinnya
kemayu, baju bling-bling, pakai anting, dengan rambut bercat. Ayolah, gay zaman sekarang kok model begitu.
Itu sih old time banget yes. Trus, si Ken dikejar-kejar cowok kemayu buat
diajak nikah, terang saja si Ken jijik dan pengen berubah. Nah, jadi ini yang
kemayu kok malah ngejar-ngejar yang macho? Bukannya kebalik ya? Yang dominan
kan harusnya si Ken? *ini kenapa saya seperti semacam pakar LGBT ya?* Jadi, Ken ini pengen tobat hanya karena dia
dikejar-kejar semacam agak banci itu? Aduh, sempit sekali ini dunia sepertinya
*benerin sabuk celana.
3. Masih
tentang Ken dan Reza, jadi si Ken ini pengen berubah. Suatu ketika, Reza, Ken,
dan Anggun saling dipertemukan. Reza ngejar Ken, Ken ngejar Anggun, dan Anggun
ngejar tupai terbangnya LOL. Ken beneran mau tobat, dia rela ikhlas belajar
mencintai Anggun asal Anggun bersedia melupakan masa lalu Ken. Tapi, si Anggun
ini emang enggak tahu diri atau kegedean PD-nya, dia menolak. Anggun tidak
mampu menerima masa lalu Ken yang gay, gaya
bener ini si Anggun, sok cantik gitu deh. Si Ken juga bodo banget, ditolak
Anggun bukannya move on malah sakit trus metong. Aduh, masak seperti ini terus
sih ending kisah-kisah LGBT, pasti salah satu cowoknya ada yang mati
*pengalaman baca banget sih kamu, Yon?* Si Reza juga geblek, di ending
digambarkan dia manut saja diajak konsultasi ke psikiater oleh orang tuanya
agar jadi cowok normal lagi.
4. Dan,
endingnya … endingnya … ENDINGNYA ampun dah ini novel atau kisah Cinderella
gendut ya? Semua berakhir bahagia seperti dunia tak ada noda. Anggun ternyata
disukai oleh seseorang yang selama ini selalu ada di sampingnya (kalau kalian
sering nonton FTV pasti bisa langsung menebak ini ntar Anggun jadiannya sama
siapa). Trus, Anggun lulus kuliah trus menikah sama si Aa. Trus sahabat
terdekatnya, Mila, juga jadian sama temennya si Aa. Dan, coba tebak, mereka
berempat MENIKAH BARENG DI HARI YANG SAMA DAN DI GEDUNG YANG SAMA. Sungguh indahnya,
saking banyak hal-hal indah di ending buku ini sampai saya ingin menangis.
Bukan menangis iri kepada kebahagiaan mereka, tapi kepada endingnya yang begitu
tidak realistis bak negeri dongeng. Masih belum puas, si Anggun dikisahkan
menjadi seorang penulis yang karyanya disukai pembaca! Ini ujug-ujug jadi
penulis (meskipun di tengah digambarkan si Anggun ini sering nge-galau dengan
menulis) padahal di awal sampai tengah sama sekali nggak ada nyinggung ke arah situ.
Trus satu lagi, kenal nggak sama Nia? Itu loh cewek musuh bebuyutan Anggun yang
paling demen nge-bully Anggun. Di akhir buku ini, Nia ini ujug-ujug mendukung
Anggun dan memberikan tepuk tangan paling meriah. Yeay, semuanya hidup bahagia,
kecuali si Ken *pukpuk Ken.
Sungguh,
saya benar-benar iri sama Anggun.
The End
Masih ada
juga yang ingin saya tanyakan, mengapa angka-angka judul babnya memakai bahasa
Banten (atau Sunda?). Korelasinya dengan cerita apa ya? Tapi ya sudah lah, cabe
saya kayaknya sudah banyak banget.
Sebenarnya
kisah ini cukup menjanjikan, dengan alur dan twist yang unik tapi sayang sekali
endingnya sedemikian memaksa. Penulis seperti memaksa si cerita untuk berhenti
cukup di situ, dalam kondisi semuanya bahagia. Bahwa novel adalah replikasi
kisah kehidupan yang tidak semestinya semuanya harus sempurna dan berakhir
bahagia. Pemaksaan agar endingnya kudu bahagia semua ini, alih-alih
menyelesaikan, malah terlihat seperti pemaksaan terhadap cerita. Seorang
pembaca yang kritis pasti bakal ngomel-ngomel dengan ending seperti ini. Sebaiknya,
penulis sekadar memandu dan “mengizinkan” cerita menarik ini menemukan akhirnya
sendiri, yang bukan dongengiyah
seperti ini. Ending sebuah kisah tidak melulu harus bahagia semuanya, karena
sebagaimana kehidupan, adanya ketidaksempurnaan itulah yang membuat pembaca
lekat dan dekat dengan kisahnya.
Semoga, di karya-karya selanjutnya, penulis
bisa lebih banyak riset dan baca agar ceritanya lebih realistis. Tetap semangat
buat Ade.
Banyak juga catatannya. Hemm, penasaran.
ReplyDeleteIya hehehe gemes soalnya, semoga bisa jadi bahan perbaikan.
Deleteterus jadi penasaran, hubungan kisah si Anggun dan kafe serabinya di mana? hehehe
ReplyDeleteJadi Ken ini ketemu sama Anggun di kafe Serabi. Gitu.
Deletecatatan ini sangat berarti bang. Makasih sudah mau mereview-nya sedetail ini. Aku terharu :'( *hiks :D
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete