Search This Blog

Monday, April 20, 2015

Half Bad

Judul : Half Bad
Pengarang : Sally Green

Penerjemah : Reni Indardini
Penyunting : Rina Wulandari
Cetakan  : 1, Maret 2015
Tebal  : 430 hlm
Penerbit : Mizan Fantasy

 25082027


Jika ingin bertemu Harry Potter versi badass alias badung ngak ketulungan, kau bisa menemukannya di novel ini. Terlahir dari seorang penyihir putih dan penyihir hitam, Nathan berbeda dengan kakak-kakaknya yang berasal dari galur murni penyihir putih. Dia berbeda, dia tidak diinginkan, kakak pertamanya bahkan bertekad memburunya. Nathan adalah seorang bastar, setengah penyihir hitam dan setengah peyihir putih yang hidup dalam masyarakat yang didominasi oleh kaum penyihir putih di Inggris.

“Itu tubuhmu, bukan dirimu. Dirimu yang sejati tidak tersangkut paut dengan penyihir hitam. …. Aspek ragawi itu, gen yang kau warisi, Anugrahmu, bukan itu yang menjadikanmu penyihir hitam.” (hlm. 121)


Sebagaimana dalam Harry Potter, dunia sihir dalam Half Bad juga menyembunyikan diri dari muggles atau manusia biasa, atau dalam buku ini disebut fain. Para penyihir putih juga memiliki Dewan yang mengatur keselamatan komunitas penyihir putih, mengawasi gerak-gerik penyihir hitam (dalam seri ini, penyihir hitam adalah pihak yang diburu oleh tim pemburu dari golongan penyihir putih), serta mengawasi interaksi penyihir dengan fain.

Sebagai bastar, nasib Nathan baru bisa ditentukan setelah usianya 17 tahun, yakni waktu ketika setiap anak penyihir mendapatkan 3 anugerah dengan meminum darah orang tua atau kakek-neneknya (tenang saja, pemberian darahnya tidak sadis kok). Setelah upacara itu, si anak akan mengetahui apa bakat sihir atau anugerahnya. Kedua orang tua Nathan telah meninggal sehingga bersama neneknya lah dia dan ketiga saudaranya harus tinggal. Neneknya adalah penyihir putih dengan anugerah membuat ramuan. Ketiga kakaknya adalah penyihir putih murni, hanya dia yang setengah hitam. Masalah semakin pelik ketika Nathan tahu bahwa ayah kandungnya adalah seorang penyihir hitam yang sangat kejam dan diburu oleh komunitas penyihir putih. Dalam hal ini, Dewan kemudian mengawasi Nathan, membatasi gerak-geriknya, hingga akhirnya mengurung Nathan dalam kerangkeng.

“Caramu berpikir dan bertindak-tanduklah yang menunjukkan siapa dirimu.” (hlm 124)

Novel Half Bad sudah terasa beda sejak di halaman pertama. Dengan gaya penceritaan orang pertama, kita diajak untuk melihat apa yang dilihat Nathan, merasakan apa yang dirasakannya. Membuka halaman pertama, pembaca disambut oleh upaya Nathan melarikan diri dari kerangkeng milik penyihir putih yang mengurungnya. Dari cerita-cerita di buku lain, kita tahu kalau penyihir putih ala Inggris digambarkan sebagai pembuat ramuan penyembuh, berambut putih dengan wajah bercahaya dan bersahaja. Dalam Half Bad, penyihir putih itu bernama Celia, seorang perempuan berbadan besar dan kekar, sangat tangkas, kejam, jago berkelahi, tidak kompromi, dan disiplin setengah mati. Membaca halaman-halaman awal, kita tidak tahu siapa sebenarnya yang akan menjadi karakter baiknya. Semua aspek tentang dunia sihir yang kita tahu telah dijungkirbalikkan, hingga akhirnya Nathan bercerita tentang siapa dirinya.

Kesan awal sering kali menipu. Sekadar menuduh tanpa mau melihat latar belakang hanya akan menghasilkan dugaan yang berat sebelah. Demikian juga tentang Nathan. Kalau bisa dibilang, Nathan ini seperti bocah bandel yang selalu mencari masalah. Bikin geregetan tiap kali baca si Nathan yang dengan ringannya menghajar atau menempeleng orang hanya karena masalah sepele. Dia benar-benar terlihat seperti anak nakal yang tidak tahu aturan. Tapi, bagaimanapun dia adalah setengah penyihir hitam yang dibesarkan di keluarga penyihir putih. Darah tidak pernah keliru. Bagaikan hewan buas yang tidak akan mengigit kalau tidak diganggu, seperti itulah Nathan. Sayangnya, di mana-mana, yang namanya Dewan memang kurang kerjaan, Nathan dianggap sebagai ancaman sehingga dia semakin tidak diinginkan. Ditambah lagi Dewan seolah selalu membatasi dan mengawasi Nathan. Kita cenderung menjadi seperti apa yang kita bayangkan. Demikian juga Nathan, Dewan telah merebutnya dari keluarganya, kemudian memasukannya dalam kerangkeng. Dia bukan penyihir putih, bukan pula penyihir hitam. Nathan berjuang sendirian.

“Menyerang adalah bentuk pertahanan terbaik.” (hlm. 70)

Untuk pembaca yang terbiasa dengan karakter utama = karakter sempurna, Half Bad akan membuat Anda terkejut. Nathan ini benar-benar bad boy dalam arti yang badung. Tapi, dia badung karena keadaan memaksanya demikian. Perlu diingatkan juga, sebagaimana kata Severus Snape, tidak ada lambaian tongkat sihir atau lontaran mantra konyol dalam buku ini. Yang ada adalah tendangan, sikutan, sepakan, lari, push up, tinju, dan pukul. Benar-benar badass! Tentunya, karakter Nathan ini akan memberikan nuansa segar, sesuatu yang baru dalam dunia sihir yang biasanya dikuasai oleh pertempuran jarak jauh. Entah bagaimana, saya bisa belajar banyak tentang pola asuh dan pembentukan karakter remaja dari buku ini. Half Bad Masih buku pertama dari trilogy Halflife rupanya, dan saya tidak sabar lagi menunggu petualangan Nathan, si penyihir badass dalam buku kedua. Akankah judulnya Half Good? Anugerah apa yang bakal dimiliki Nathan? Baca sendiri di buku yang bertempo cepat ini.

“Kau akan memiliki Anugerah nan perkasa—kita semua bisa melihatnya—tapi yang akan menunjukkan dirimu baik atau jahat adalah caramu menggunakan Anugerah itu.” (hlm 124)

3 comments:

  1. Huaaaaaa... jadi pengen baca...
    Tapi itu... serius minum darah???
    *lirik Edward Cullen*

    ReplyDelete
  2. Hooh, tapi nggak serem kok. Minumnya ya ....glek glek glek gitu

    ReplyDelete
  3. Ceritanya tentang sihir namun isi berbeda jadi tertarik baca

    ReplyDelete