Search This Blog

Friday, June 6, 2014

Dead Poet Society



Judul : Dead Poet Society
Pengarang : NH  Kleinbaum
Penerjemah : Septina Ferniati
Penyunting : Kurniasih
Sampul : Antonio Bergasdito
Cetakan : Cetakan 3, 2006
Penerbit : Jalasutra


                Carpe diem! Seize the Day! Raihlah kesempatan.

                Semangat inilah yang mungkin menggerakan penulisan buku ini, sekaligus menjadi inti dari Dead Poet Society. Diangkat dari film laris berjudul sama, buku ini mengangkat tema tentang perjalanan mencari jati diri sekelompok remaja pria yang berusaha membebaskan diri dari segala kungkungan keseragaman dan upaya meraih impian. Carpe diem! Ungkapan khas Pak Keating ini langsung menyulut bara pada diri anak-anak muda itu. Melalui puisi, mereka belajar dan berjuang untuk mengejar mimpi. Melalui puisi, mereka mencari jati diri. Dan, melalui puisi, mereka belajar untuk memaknai hidup serta menggunakan setiap kesempatan yang ada untuk menuju cita-citanya.

                “Karena kita hanya akan mengalami serangkaian musim semi, musim panas, dan musim gugur yang terbatas. Suatu hari, meskipun sulit untuk dipercaya, kita semua akan berhenti bernapasm jadi dingin dan mati. Maka, carpe diem, raihlah kesempatan!” (51)

                Akademi Welton, sebuah sekolah asrama putra yang terkurung gunung-gunung sepi di Vermont, sudah lama menjadi sekolah menengah yang sukses mengantarkan lulusannya ke perguruan-perguruan tinggi favorit di Amerika Utara (Ivy League). Setiap hari, siswa digembleng dengan beragam ilmu dan latihan, melakukan hal-hal yang (menurut guru dan orang tua) penting bagi kesuksesan mereka di masa depannya. Semua harus memakai seragam yang sama, berpikir dengan pola yang sama, serta (diharapkan) untuk berperilaku yang sama. Wajah-wajah muda penuh semangat  yang mendominasi tahun pertama akan berubah menjadi sosok-sosok kaku dan serius di tahun terakhir. Mereka menjadi mahasiswa yang sukses secara keilmuan, tapi kehidupan seolah menghilang dari sorot mata anak-anak muda ini.

                Sampai akhirnya datanglah Pak Keating. Lulusan Welton beberapa tahun sebelumnya ini akan mengampu pelajaran bahasa Inggris. Setelah matematika yang hanya latihan dan latihan, serta bahasa Latin yang hanya hafalan dan hafalan, para siswa dengan gontai melangkah ke kelas Pak Keating—hanya untuk dikejutkan dengan sikap aneh si guru baru yang tiba-tiba naik ke atas kursi membacakan puisi. Carpe diem! Raihlah kesempatan selagi muda, anak-anak. Begitu kata Pak Keating. Diperkenalkan olehnya akan keindahan puisi, serangkaian kata-kata yang sebelumnya terasa kuno dan kosong itu tiba-tiba menjadi hidup. Pak Keating dengan pandainya mengajak siswa-siswa mencintai puisi, dan lalu membebaskan diri mereka melalui puisi.  

                “Dan jangan batasi puisi pada kata. Puisi dapat ditemukan dalam music, selembar foto, dalam suatu makanan… Ia bisa ada di dalam hal-hal yang paling sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, tetapi tidak harus—takkan pernah—menjadi biasa.” (hlm 111)

                Carpe diem! Ungkapan Latin ini soelah menjadi pemantik semangat bagi sekelompok anak muda dari Welton. Terinspirasi oleh Pak Keating, mereka menggunakan puisi untuk mengungkapkan segala keinginan terpendamnya. Lalu, secara diam-diam, mereka menghidupkan kembali sebuah kelompok kuno yang dulu juga pernah diikuti oleh Pak Keating di masa mudanya. Sebuah kelompok pembaca puisi bernama Dead Poet Society.

                “Mereka telah meraih gua itu, dan di dalamnya telah mereka temukan tempat yang jauh dari Welton, dari orang tua, guru-guru, dan teman-teman—sebuah tempat di mana mereka mungkin menjadi orang yang tak pernah mereka impikan. Dead Poert Society hidup dan tumbuh kemudian siap untuk meraih kesempatan.” (hlm 105)

                Melalui puisi, anak-anak muda itu didorong untuk berani menjadi berbeda, berani meraih mimpi, dan berani untuk mendobrak batasan-batasan negatif yang dipaksakan orang tua dan guru kepada mereka. Dead Poet Society telah menyemangati Knoxx untuk mencintai Chriss (dia betul-betul mencintai gadis itu), mendukung Neil untuk ikut dalam pementasan drama (ia berbakat dalam drama tapi ayahnya tidak menyetujui hal itu), dan anak-anak lain untuk bergerak serta berteriak carpe diem! 

                “Aku merasa seperti tidak pernah hidup … bertahun-tahun lamanya, aku tak mau menggambil risiko apapun. Aku tak tahu diriku dan apa yang ingin aku lakukan.” (hlm 104)

                Sebuah buku yang luar biasa! Mmebaca buku ini serasa menonton sebuah film dengan ending yang pasti tak akan pernah terlupakan dan membekas di hati serta pikiran. Frasa carpe diem! Atau “raihlah kesempatan” mungkin yang bakal selalu diingat para pembaca ataupun mereka yang pernah menonton film ini. Secara simple, tidak berlebihan, Dead Poet Society berhasil menguggah kesadaran pembaca (dan penonton) untuk bergerak meraih mimpi, untuk mencoba mewujudkan impian mereka, bahwa tidak apa-apa untuk menjadi berbeda karena memang tidak ada manusia yang serupa. Langgarlah batas-batas yang mengungkungmu dari menjelajahi keluasan dunia. Berpikirlah di luar kotak. Jangan takut menjadi berbeda dari kebanyakan. Selama hal-hal itu positif dan tidak melanggar hak orang lain, maka raihlah kesempatan itu. Carpe diem!

2 comments:

  1. Membaca reviewnya saja sudah bikin aku jatuh cinta sama buku ini. Mungkin karena sama sama guru Bahasa Inggris kayak pak Keating ya. Hehe. Jadi pingin tahu lebih detail seperti apa apak Keating mengobarkan carpe diem anak anak didiknya.
    Keren mas Dion walo ada salah ejaan dikit hehe peace!

    ReplyDelete
  2. Br tau ternyata udah ada terjemahannya. Mauuuuu....
    Jatuh cinta sm cerita ini krn ntn film nya dulu. Filmnya bagus bgt dan akting Robin Williams di film ini juga keren sangat. Pertama "ngeh" Ethan Hawke jg di film ini.
    Jd pengen membandingkan buku dan film nya. Review Bang Dion juga asik nih, bikin pengen baca bukunya. Msk dlm daftar buku buruan next month :)

    ReplyDelete