Search This Blog

Sunday, June 29, 2014

Beyonders 3, Chasing the Prophecy



Judul : Beyonders 3, Chasing the Prophecy
Pengarang : Brandon Mull
Penerjemah : Gusti Nyoman Ayu S
Penyunting : Tendy Yulianes
Cetakan : 1, 2014
Sampul : Vinsen
Tebal : 694 hlm
Penerbit : Mizan Fantasy




                Terima kasih tak terhingga kepada Mizan Fantasy yang telah menghadirkan, menerjemahkan, dan menerbitkan seri Beyonders ke pembaca Indonesia. Terima kasih, karena petualangan hebat di Lyrian ini kini bisa kami baca secara utuh dalam bahasa ibu kami, bahasa Indonesia. Sungguh, petualangan Jason dan Rachel di Lyrian tak terbantahkan lagiadalah petualangan yang luar biasa seru, dengan alur yang tak tertebak, tokoh yang luar biasa banyaknya (tapi herannya, pembaca masih bisa hafal siapa Ferrin dan siapa Aram), serta dunia Lyrian yang—tidak heran banyak yang jatuh cinta kepada benua ini—sangat eksotis. Fablehaven telah mendapat penerusnya yang sah! Bagi pembaca yang sudah telanjur berkenalan dan mengikuti petualangan Jason dan Rachel, sungguh kurang sempurna jika belum membaca buku terakhir dari tiga seri Beyonders ini. Di buku inilah, ramalan tergenapi, perang besar telah menanti, dan berbagai pertanyaan terjawab pasti. Jika ada yang penasaran mengapa penduduk Lyrian juga menggunakan bahasa Inggris—bahasa ibu dari Jason dan Rachel—jawabannya ada di buku ketiga ini. Dan, di buku ini pula, Jason dan Rachel menemukan takdir mereka di Lyrian.

“Sulit atau tidak, menakutkan atau tidak, itu adalah pilihan yang benar. Teman-teman kita memerlukan kita. Lyrian memerlukan kita.”(hlm 39)

Mengikuti Beyonders 2 yang mulai panas, buku ini ibarat puncak dari sebuah epic fantasi yang memuaskan pembaca. Sebagaimana ramalan di akhir buku 2, Jason dan Rachel sekali lagi harus berpisah jalan karena ada dua misi besar yang harus mereka lakukan. Bersama Galloran dan para pasukan, Rachel harus bergerak ke Felrook—kastil dan pusat kediktaktoran Maldor—dan melakukan pengepungan. Sementara, Jason beserta beberapa teman (manusia benih, Aram, dan juga drinling) harus mencari petunjuk akan keberadaan peramal Darian yang lokasi keberadaannya tersimpan di Perpustakaan Kahyangan di Laut Pedalaman. Tidak satupun dari kedua misi tersebut yang mudah. Walau sudah merebut kembali Trensicourt dan mendapat dukungan dari Kaum Drinling, Amar Kabal, dan manusia hutan; pasukan Maldor masih jauh lebih banyak ketimbang gabungan pendukung Galloran. Sementara itu, Perpustakaan Kahyangan juga dijaga dengan ketat oleh sesosok mahkluk mengerikan yang sampai saat ini belum ada yang berhasil lolos hidup-hidup darinya. Kesulitan membentang di depan, tetapi mereka harus tetap menempuhnya.

“Bahkan, ketika semuanya terlihat buruk, temukanlah jalan keluar.” (hlm 69)

Mengikuti kelompok Jason, pembaca akan diajak kembali merasakan eksotisme menjelajahi pelosok Lyrian. Kali ini, perjalanan bergerak ke Laut Pedalaman, menuju pulau Windbreak di mana Perpustakaan Kahyangan berdiri di tengah-tengahnya. Peta mana peta! Sayang sekali tidak disertakan peta dalam buku ketiga ini padahal buku ketiga ini masih tentang menjelajahi Lyrian. Entah apa di versi Inggrisnya tidak menyertakan peta atau hanya versi terjemahannya. Kalau ada yang kurang dari buku hebat ini, mungkin kurang peta Lyrian saja. Tapi, abaikan sejenak petanya, karena khasnya om Brandon Mull ini kalau sudah bercerita susah banget berhentinya. Tidak peduli karakternya yang banyak banget, dan serumit apa masalah yang dihadapi karakter-karakter itu, selalu aja ada kejutan dan solusi tak terduga. Susah banget menebak cerita bergulirnya mau kemana. Sedang santai-santai membaca, eh tiba-tiba langsung muncul serangan. Kali lain, ketika keadaan begitu gawat seolah tiada celah, muncul solusi yang masuk akal, tidak ujug-ujug¸ tapi tetap ada unsur perjuangan. Bisa dibilang, Beyonders adalah novel fantasi yang realitis, yang kita belajar banyak tentang arti perjuangan dan pengorbanan kepadanya.

“Satu-satunya cara untuk mengetahui adalah dengan terus mencoba. Kita bisa menebak apa yang mungkin merusak peluang kita untuk menang, tapi kita tidak pernah tahu apakah kemenangan masih mungkin terjadi kecuali jika kita melihatnya hingga titik akhir.” (hlm 235)

Di Pulau Windbreak, Jason dan kawan-kawan harus menghadapi mahkluk Maumet, si pengubah bentuk yang bisa menjadi seperti benda apapun yang disentuhnya. Belum ada yang berhasil mengalahkannya. Selain itu, mereka juga harus menghadapi kejaran para pengintai yang tak pernah gagal dalam menghabisi korbannya. Belum lagi, Perpustakaan Kahyangan adalah tempat yang teramat luas dan menimpan ribuan koleksi naskah dan kitab kuno, dan mereka harus bergegas menemukan manuskrip yang tepat untuk menunjukkan letak peramal Darian. Sungguh kompleks dan berat rintangan di depan Jason, seolah semua jalan serba tertutup. Brandon Mull benar-benar memaksa si tokoh utama hingga mencapai batas sampai akhirnya muncul jalan keluar. Teknik bercerita seperti ini sering bikin geregetan pembaca, tapi hasilnya akan sangat memuaskan. Terlihat realistis dan tidak seperti dipaksakan. Ini, plus bertebarannya kalimat-kalimat motivatif di buku ini.

“Aku bisa bersembunyi di hutan belantara selama sisa hidupku, tapi itu bertentangan dengan sifat asliku. Misi ini mewakili harapan terakhirku supaya aku bisa hidup dengan lebih baik. Peluang kita sangat kecil, tapi setidaknya kita punya satu kesempatan.” (hlm 238)

Karakter paling berkembang di buku ketiga ini adalah Rachel. Di buku kedua, Rachel sudah belajar sihir lewat bahasa Edomic dan dia kini menjadi salah satu calon penyihir paling kuat di Lyrian. Dengan potensinya ini, tentu saja godaan mental terus-menerus datang menghampiri dengan kekuatan besar yang tergengam di tangannya. Antek-antek Maldor mendatanginya dalam mimpi, menawarkan kekuasaan dan kekuatan sihir yang tak terkalahkan dari Maldor sebagai penyihir terakhir. Sepajang kisah ini, kita diajak untuk menelusup ke pikiran Rachel, tentang pilihan-pilihan yang dia miliki serta konsekuensi yang mengikutinya. Dia memiliki peran besar, peran yang sangat menentukan bagi keberhasilan atau kekalahan pasukan Galloran saat menyerang Felrook. Pada akhirnya, Rachel harus memutuskan di pihak mana dia akan bertahan di pertempuran besar Lyrian.

“Harapan kita berwarna putih, seputih ledakan orantium.” (hlm 576)

Bersiaplah mengalami cerita fantasi yang belum pernah Anda baca yang seperti ini sebelumnya. Begitu banyak aksi, begitu banyak pahlawan, ragam petualangan maut, pengetahuan rahasia, dan tempat-tempat eksotis untuk dijelajahi. Banyak yang akan berkorban, banyak juga yang akan dikalahkan. Fakta-fakta rahasia yang akhirnya terkuat, serta kisah-kisah masa lalu Lyrian yang dirajut secara apik membentuk jalinan kisah fantasi yang menakjubkan. Kreativitas Brandon Mull dalam menulis cerita mencapai penghargaan tertinggi di seri ini setelah di seri Fablehaven. Siapa sebenarnya Torivor, bagaimana nasib para pemindah, juga kaum raksasa yang menjadi ***** di saat fajar? Perang besar telah menanti di depan, siapkan pedang dan busur kalian, pakai tameng cangkang kepiting Titan kalian, bawalah satu atau doa bola orantium, lalu berderaplah maju bersama barisan manusia benih yang tinggi-anggun, drinling yang tak kenal lelah, manusia hutan dengan duri-duri dan sulur anggur mematikan di badannya menuju Felrook. Pertahankan Lyrian, wahai Orang Luar, karena ramalan akhirnya akan tergenapi. Dan, kau keluar dari buku ini dengan perasaan puas dan—sebagaimana Jason dan Rachel—bertumbuh lebih dewasa dari sebelumnya.

Pujian khusus selayaknya dihaturkan untuk sampul novel ini yang sangat menakjubkan. Komposisi warna dan pemandangan sebuah perpustakaan beratap lengkung adalah pemandangan paling tak bisa ditolak bagi para pecinta buku. Salut juga untuk terjemahan yang mengalir, yang minim kata-kata serapan, tetapi tetap mempertahankan aroma Lyrian. Ada beberapa salah edit seperti di halaman 491 (baris ke-7 dari bawah) yang sepertinya ada kata "bukan" yang kelupaan ditaruh di depan kata "berarti". Tetapi, secara keseluruhan buku ini minim typo dan benar-benar tidak rugi membacanya.

2 comments:

  1. nyebelin, deh. selama ini jadi silent reader review serial ini, tau-tau harus komentar gegara mau ikutan giveaway. bahahaha.
    sebenernya kenapa jadi silent reader itu biar ga terlalu ketauan kalo pengen ngikutin serial Beyonders ini. Nah, biar ga kecewa semisal bukunya ga seru apa gimana, aku memutuskan diem-diem bacain review mas Dion dulu sebagai referensi. tapi ternyata jadi harus buka-bukaan gegara disuruh komentar. huh! jadi kan buka aib ini... argh!

    ReplyDelete
  2. waks,mas Dion....aku belum punya buku yang ini :'( duuuh,keduluan mas Dion nge review deh....untung nggak ada spoiler :v
    Reviewnya keren mas! aku jadi pengen cepet2 beli seri terakhir ini...huwaaa....thanks udah bikin rewienya :D

    ReplyDelete