Search This Blog

Thursday, August 23, 2012

Dead Girl Dancing


Judul    : Dead Girl Dancing
Pengarang        : Linda Joy Singleton
Penerjemah      : Maria Susanto
Penyunting        : Diksi Dik
Korektor           : Adi Toha
Cetakan           : 1, Juli 2012 (347 halaman)
Penerbit            : Atria



            Konon, jika ada orang yang sedang koma karena suatu sebab, jiwanya akan melayang sejenak untuk beristirahat sebagai “jeda” untuk memperbaiki jalan nasibnya. Saat jiwa si pemilik tubuh ini beristirahat, maka tubuh kosongnya akan diisi oleh seorang Penghuni Sementara yang akan menjaga agar tubuh itu tetap “bernyawa” dan tetap beraktivitas seperti biasa. Sang Penghuni Sementara adalah orang-orang baik yang telah terpilih, yang memiliki kapasitas dan kualitas diri yang baik untuk beradaptasi dengan benak/tubuh orang lain yang ia huni (dan kalau bisa ikut mengubah jalan hidup si pemilik tubuh ini  tersebut). Nah, Amber adalah contoh Penghuni Sementara ini.

            Semua dimulai dari buku pertama Dead Girl Walking (percayalah walaupun judulnya lumayan menyeramkan namun buku ini jauh dari kesan horor ala zombie, ini lebih mirip novel tentang remaja SMA). Amber tanpa sengajata tertabrak truk pos dan ia mengalami koma. Jiwanya dipindahkan selama sementara ke dalam tubuh Leah, salah seorang teman sekelasnya yang juga koma karena OD. Ternyata, Amber ditugaskan untuk menjadi “Leah” selama beberapa hari, menjalani hidup sebagai Leah untuk memberi kesempatan pada Leah yang asli untuk beristirahat sejenak dari hidupnya (Hah? Err frasa ini agak aneh sih ya?). Setelah beberapa hari menjadi Leah, jiwa Amber berpindah ke  tubuh Sharayah—kakak dari pacar Amber sendiri, Eli.

            Maka, dimulailah petualangan Amber yang masih anak SMA itu untuk menjalani hari-hari sebagai mahasiswi urakan dan liar. Rupanya, Amber ditugaskan untuk mencari tahu mengapa Sharayah yang dulu pintar dan mahasiswi baik-baik tiba-tiba berubah menjadi wanita penggoda yang jarang memberi kabar ke rumah. Sesampainya di tubuh Sharayah, Amber menyadari bahwa gadis ini menyimpan sebuah rahasia kelam dalam hidupnya, tentang pacar rahasianya dan juga tentang seorang penguntit yang diam-diam terus menguntit dan mengiriminya sms dan pesan ancaman.

            Dengan waswas karena ancaman misterius tersebut dan juga ancaman dari Penghuni Kegelapan (semacam versi jahat dari Penghuni Sementara), Amber yang SMA harus mendewasakan diri untuk menjadi Sharayah selama beberapa hari. Bersama teman-teman Sharayah yang urakan habis, Saddie dan Mauve, ketiganya berangkat bersenang-senang ke pantai Venice untuk “bersenang-senang” layaknya mahasiswa. Biasalah, musim panas di pantai berarti berjemur, menggoda cowok-cowok pantai, dan berpesta pora. Selama menjadi Sharayah ini, Amber sedikit demi sedikit mulai memahami mengapa kakaknya Eli yang dulu keren itu bisa berubah menjadi urakan dan tidak bertanggung jawab. Melalui Sharayah, ia juga mengamati bahwa setiap manusia—betapapun tampak tidak acuh dan cueknya mereka dari luar—masing-masing adalah jiwa yang sesekali rapuh, pernah terluka, dan memiliki banyak kekurangan. Ada sebab di setiap sesuatu.

            Sampai akhirnya, Amber menyadari bahwa Sharayah membutuhkan semacam katalis untuk memulihkan diri. Ternyata, suara Sharayah sangat bagus sehingga ia berencana mendaftarkan tubuh pinjaman ini ke kontes semacam American Idol. Dan, apakah Amber akan berhasil menyadarkan kembali Sharayah akan potensi dirinya? Bagaimana dengan si penguntit misterius? Siapakah sebenarnya orang ini? Lalu, masih ada pula si Penghuni Kegelapan yang diam-diam mengincar cahaya kehidupan milik Amber? (seorang Penghuni Kegelapan bisa menyedot habis cahaya kehidupan milik seorang Penghuni Sementara). Bisakah Amber tetap menjalankan misinya sementara ancaman terbesar itu tengah berada di dekatnya? Bersiap menerkam dan menjebaknya saat ia terlena?

            Membaca seri Dead Girl ini memang memberikan makna baru tentang kata “dead”. Alih-alih novel horor ala zombie, seri ini lebih mirip seri motivasi diri untuk remaja. Penulis ibaratnya seperti hendak mengajak pembaca mencoba memandang sesuatu dari sisi orang lain, bukan dari sisi kita semata. Bahwa setiap orang punya masalah, itu pasti. Bahwa setiap manusia memiliki masa lalu, mengalami hal-hal tertentu yang menjadikan mereka seperti mereka yang saat ini. Dengan menyadari bahwa ada alasan dibalik setiap kejadian, ada masa lalu yang membentuk setiap karakter, maka kita akan menyadari bahwa setiap orang memang berbeda dan kita tidak bisa memaksa mereka untuk sama dengan kita.

            Amber yang bisa menghuni tapi tidak selalu bisa 100% mengubah hidup tubuh yang dihuninya juga mengajarkan kepada kita untuk tidak “memaksakan diri” dalam mengubah seseorang. Kita memang wajib menasihati atau mengarahkan seseorang ke jalan yang lebih baik, namun kita tidak bisa memaksakan bahwa mereka harus berubah 100%.  Keputusan terakhir selalu ada pada diri orang yang bersangkutan. Masing-masing kita memiliki pilihan untuk menentukan jalan mana yang akan kita ambil, beserta konsekuensi yang menyertainya. Begitulah caranya kehidupan (atau dalam buku ini, kematian sementara) memberi pengajaran.

            Untuk novelnya sendiri, buku ini ditulis dengan lincah khas anak muda. Sarat dengan nasihat-nasihat inspiratif namun disampaikan dengan tidak memaksa, luwes, dan “anak muda sekali”. Sampai-sampai, kita bisa mengetahui karakter Amber yang memang tidak sempurna tetapi ia tetap memiliki kualitasnya sendiri. Benar-benar mencerminkan sosok remaja SMA yang umum di AS. Gaya bercerita penulis juga asik, ada bumbu-bumbu cinta yang disampaikan dari sudut pandang orang pertama, pokoknya penuh dengan pandangan mata yang melelehkan dan aksi heroic seorang pacar yang memabukkan (hasyah). Ada satu kutipan kalimat motivasi menarik yang diambil Amber dari salah satu buku yang pernah dibacanya, bahwa “Tidak ada yang lebih seksi daripada rasa percaya diri”. (halaman 18).


 ·  · 

1 comment: