Judul : La Galigo, Napak Tilas Manusia Pertama di Kerajaan Bumi
Penulis : Dul Abdul Rahman
Editor : Rinastone Lubis
Tata sampul : Ferdika
Cetakan : Januari 2012
Tebal : 374 halaman
Penerbit : DIVA Press
La Galigo, sebuah harta karun literatur dari Bugis kini mendunia bersama-sama dengan Serat Centhini sebagai sastra kanon asli dari Kepulauan Nusantara. Berbeda dengan Serat Centhini yang telah terlebih dulu populer karena sentuhan seorang Perancis Elizabeth D. Inandiak, La Galigotampaknya agak tertinggal meski perjalanan babad asli dari nusa Celebes ini juga tidak kalah panjangnya. Meski lahir di Bugis, La Galigo besar di Belanda. Salinan naskah asli tertuanya kini disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Tersusun atas lebih dari 300.000 baris, La Galigo jauh melampaui epos Mahabarata (sekitar 160.000 – 200.000 baris) dan sajak-sajak Homer. Kitab ini menawarkan sumber riset yang sangat menggoda bagi mahasiswa, peneliti, dan kaum akademisi untuk menelitinya.
Novel karya Dul Abdul Rahman ini, La Galigo, Napak Tilas Manusia Pertama di Kerajaan Bumimerupakan pemfiksian bagian pertama dari 12 jilid La Galigo. Bagian ini ditulis dengan berdasarkan ingatan si penulis yang tumbuh bersama cerita-cerita La Galigo yang dikisahkan secara verbal, dari mulut ke mulut. Ibarat bab pertama, La Galigo bercerita tentang awal mula terbentuknya dunia. Konon, di Langit terdapat sebuah Kerajaan Raya yang dipimpin oleh Sang Patotoqe (Dewa Penentu Nasib) bersama Istrinya, Datu Palingeq, bersama anak-anak mereka.
Dikisahkan, Bumi saat itu masih kosong. Ibarat anugerah yang tersia-sia, tak terurus dan tak terawat. Para Dewa di Langit dan Samudra juga merasa resah karena tidak ada yang menyembah dan menghormati keberadaan mereka—yang sekaligus membuktikan stempel kedewaan mereka. Sang Patotoge kemudian memerintahkan putra sulung-nya untuk menjadi manusia pertama yang diturunkan ke bumi. Dialah Sang Batara Guru, manusia pertama yang bertugas memakmurkan bumi serta menurunkan anak-anak manusia di penjuru bumi.
Secara umum, novel ini ditulis dengan nuansa lokal Bugis yang kental, namun tema yang diangkat sangat universal. Hampir mendekati kisah penciptaan dunia yang banyak memiliki kemiripan di berbagai tradisi dan budaya. Penulisan novel ini, diharapkan menjadi langkah pertama dari upaya menjadikan karya sastra yang konon terpanjang di dunia ini (lebih dari 300.000 baris) sebagai bacaan yang tidak asing di negerinya sendiri. bagi pembaca yang merindukan bacaan dengan latar budaya etnik nan kuat, sekaligus memberikan tambahan pengetahuan mengenai khazanah budaya Nusantara, maka novel La Galigo ini bisa menjadi semacam referensi yang luar biasa mewakili.
3/5 star
Makasih Mas atas tulisan tentang novel LA GALIGO di blog ini. semoga La Galigo dikenal di negerinya sendiri, Indonesia.
ReplyDeletesalam,
dul abdul rahman
Ya mas, semoga semakin banyak orang yang membaca karya epic ini. Novelnya keren mas
DeleteI LA GALIGO
ReplyDeletela galigo 2 dong
ReplyDelete