Search This Blog

Monday, May 2, 2011

Centhini 3 ; Malam Ketika Hujan

Judul buku: Centhini 3 ; Malam Ketika Hujan
Penulis: Gangsar R. Hayuaji
Editor : Abdul Azis Sukarno
Tata Sampul: Gobag Sodor
Tata Isi: S. Lestari
Pracetak: Antini, Dwi, Yanto
Cetakan: Pertama, April 2011
Penerbit: DIVA Press

18995085

Sejak diterjemahkan ke bahas Prancis oleh Elizabeth Inandiak, kitab kraton klasik Centhini mulai dilirik kembali oleh dunia pustaka Indonesia. Bukan hanya karena kedudukannya sebagai salah satu buku babon kebudayaan Jawa paling lengkap, tapi juga karena kekayaan kandungan ilmu pengetahuan, sejarah, aspek-aspek filsafati, dan pernak-pernik seksualitas yang terserak di dalamnya, yang menjadikan karya agung dari Jawa ini dituliskan kembali dalam beragam versi. Adalah Gangsar R.Hayuaji, seorang sastrawan berbakat yang kemudian berupaya untuk menuliskan kembali kitab klasik ini dalam bentuk novel yang lebih peka zaman dan lebih mudah diterima, dengan wajah baru. Bukan wajah lama yang sukar dikenali oleh pewarisnya sendiri. (hlm. 10).

Centhini 3; Malam Ketika Hujan merupakan lanjutan dari dua versi Centhini versi sebelumnya, yang masing-masing dapat terbaca sebagai satu buku utuh, walaupun akan lebih nikmat jika pembacaannya bisa lengkap dan berurut. Novel ini menyoroti tentang perjalanan panjang Cebolang dalam upaya mencari makna dan kesejatian kehidupan, mulai dari Desa Sokayasa dan berujung di Goa Sigala. Dari lembar-lembar pertama, pembaca akan membuktikan sendiri bahwa Centhini 3 memaparkan seksualitas orang Jawa hampir secara blak-blakan. Perhatikan kutipan memprovokasi yang menghiasi sampul depan buku ini:

            “Daratan sudah tampak  di depan mata, Sayang. Bukakan lebar-lebar lubang bumimu! Akan aku tuang air Cupu Manik Astagina dari pusar langit. Sebagaimana hujan yang tumpah tiba-tiba di luar.(dikutip dari hlm. 18)

Dari sepintas membaca saja, pembaca dewasa akan langsung paham dengan ihwal perlambang yang menggambarkan proses saresmi (hubungan seksual) itu. Tidak hanya satu, namun sepanjang buku ini aspek-aspek pelampiasan syahwati dua orang anak manusia yang berbeda jenis kelamin di atas ranjang berahi dipaparkan dengan begitu bersemangat. Dalam serat Centhini yang asli, Cebolang sendiri merupakan pemuda bengal berparas Raden Samba yang menjalani gaya hidup ala Don Juan. Dengan parasnya yang tampan dan nafsu berahi yang sebesar “senjatanya”, mudah saja baginya untuk merayu para gadis belia hingga janda-janda sintal sepanjang perjalanan. Beragam kegiatan umbar seksualitas ini dipamerkan secara blak-blakan, bersebaran dan berselipan dalam halaman demi halaman buku ini.

            “Tanpa berpikir panjang, Cebolang mendaratkan bibirnya ke bibir sinden itu. Menjelajahkan jari-jemarinya yang bagaikan pengembara-pengembara kecil. Mendaki bukit, menyusuri lembah, dan keluar-masuk pintu gua yang di kiri-kanannya dipenuhi rerumput hitam.” (hlm 116).

Masih banyak lagi kutipan dan adegan saresmi antara Cebolang dengan para wanita yang ditemui dan jatuh ke pelukannya. Namun, hal ini tidak menjadikan Centhini 3 sebagai buku cerita porno rendahan, karena di sela-sela cerita juga dilampirkan beragam pengetahuan dan nasihat agama yang didapatkan oleh Cebolang dari para kyai dan kaum pinisepuh (orang yang dituakan dan dihormati) di sepanjang perjalanannya. Ada sedikit ironi saat membaca buku ini, di mana Cebolang ibarat seorang ksatria rupawan yang gemar berguru dan mencari hakikat kehidupan para orang-orang suci serta ulama, namun di lembar-lembar selanjutnya ia tiba-tiba berubah menjadi tidak lebih dari pria buaya darat yang suka melampiaskan hasrat hewaninya pada setiap wanita yang ditemuinya—walaupun pada akhirnya, Cebolang bertobat dan menikah. Ibarat secarik kertas putih suci bersanding dengan selampir kain penuh jelaga menghitam nan kotor. Begitulah manusia, karena pada akhirnya masing-masing harus menentukan pilihannya.

Membawa nama besar kitab Centhini, buku ini tidak sekadar menghadirkan “jojohan alu ke lesung”, pembaca juga akan mendapatkan bonus lain yang lebih luar biasa. Sebagai babon/ensiklopedia kebudayaan Jawa, buku ini juga menjelaskan ihkwal-ikhwal lain terkait pengetahuan kuno yang telah dimiliki orang Jawa. Melalui pembelajaran Cebolang, pembaca akan diajak belajar membatik (hlm. 124 ), macam dan jenis keris (hlm. 121), membuat jamu beras kencur (hlm. 37), macam-macam rumah orang Jawa dan bagian-bagiannya, serta belajar menilai ciri bagian tubuh wanita  dan kenikmatannya. Sepanjang buku ini juga diselipkan beragam cerita adi luhung yang akan membawa pembaca kembali ke Jawa di masa Mataram, di antaranya “Kisah Kembang Wijayakusuma dan Terjadinya Pulau Nusakambangan”, “Kisah Ramayana”, “Kisah  Pangeran Siddharta Menjadi Budhha”, “Kisah Pertemuan Sultan Agung dengan Ratu Roro Kidul”, “Kisah Joko Tingkir”, “Kisah Ki Ageng Manggir”, dan beragam kisah-kisah lain turut dituturkan.

Dari sini, bisa dimaknai kalau Centhini 3 bukanlah buku yang menonjolkan unsur sensualitas semata. Di dalamnya terangkum aneka kisah, pepatah, rangkaian tembang berisikan nasihat, penggambarkan panorama dan diorama sejarah, pengajaran keterampilan, kumpulan pengetahuan lama, wayang, ragam upacara orang Jawa, dan tentu saja, persoalan seksualitas. Semua unsur penyusun ensiklopedia ini terpampang secara gamblang dalam bentuknya yang lebih akrab zaman, walaupun unsur paling akhir—a.k.a seksualitas—memang tampak lebih mendominasi. Ceritanya bukannya saru, tapi memang seru!

No comments:

Post a Comment