Judul :
Petualangan di Sirkus Asing
Pengarang
: Enyd Blyton
Penerjemah
: Agus Setiadi
Cetakan :
Ketiga, 2011
Penerbit
: Gramedia Pustaka Utama
Enid Blyton adalah seorang pengarang buku petualangan anak-anak yang
memahami indahnya petualangan dan serunya kehidupan di masa kanak-kanak.
Melalui kepiawaiannya dalam menulis cerita, pengarang Inggris satu ini mampu
menangkap dengan sangat cekatan kisah-kisah seperti apa yang ingin dibaca (dan
diimpikan) oleh banyak anak-anak. Tidak heran kalau kemudian karya-karyanya
begitu dicintai para pembaca yang pernah membacanya saat masih kecil atau
remaja dulu, bahkan banyak orang dewasa yang membacanya ulang (maupun baru
membacanya saat dewasa) hanya untuk sekadar bernostagia kembali mengenang masa
kecilnya yang indah. Saya sangat berharap, akan lebih banyak anak-anak yang
membaca seri petualangan Lima Sekawan atau seri Petualangan karangan Enyd
Blyton ini sehingga masa kecilnya sempat tersentuh oleh serunya petualangan
yang sangat menyenangkan.
Petualangan di Sirkus Asing adalah buku ketujuh dari seri Petualangan
karya Enyd Blyton. Saya dulu membaca versi Inggrisnya (terbitan tahun 1960-an)
dengan kertas yang sudah lapuk dan menguning. Tapi, kala itu, petualangan Jack,
Lucy Ann, Phillip, Dinah, dan Kiki begitu menariknya sehingga saya sama sekali
tidak keberatan dengan kondisi kertas yang jadul, yang penting bahasa
Inggrisnya enak dibaca. Saya ingat membaca seri ini melompat-lompat karena sangat
susah mencari buku-buku tua ini di perpustakaan kampus UNY. Ketika akhirnya
saya berkesempatan menemukan buku ini dalam bahasa Indonesia dalam sebuah event
pameran buku, maka tanpa pikir panjang langsung saya sambar. Kelebatan memori
saat dulu saya membaca novel ini langsung membanjiri pikiran. Betapa dulu, saya
sempat begitu terpesona pada sebuah buku, dan buku ini adalah salah satunya.
Petualangan di Sirkus Asing bisa dibilang sebuah judul yang membohongi
pembaca. Kenapa begitu, karena peran sirkus di sini hanya seperti “numpangg
lewat” saja. Sejatinya, petualangan Jack dan kawan-kawan jauh lebih seru
ketimbang hanya di sirkus. Petualangan kali ini melibatkan seorang pengeran
yang diculik, persekongkolan politik di sebuah negeri asing, serta petualangan menjelajahi
lorong-lorong rahasia di sebuah puri kuno yang jauh dari Inggris. Bill (dari
buku sebelumnya pembaca tahu bahwa dia lalu menikah dengan Ibu Cunningham)
mendapat tugas untuk mengawasi Guss, seorang anak laki-laki gondrong yang
sangat menyebalkan, cenggeng, sekaligus suka menyuruh-nyuruh. Tidak ada yang
tahu siapa sebenarnya anak itu, yang jelas anak-anak tidak suka dengan
keberadaannya yang dirasa telah mengganggu liburan mereka.
Tapi, siapa sangka keberadaan Guss malah menyeret anak-anak dalam sebuah
petualangan baru yang benar-benar berbeda. Malam ketika mereka menginap di
Pondok Batu, segerombolan orang asing diam-diam datang dan menyekap Bill dan
Ibu Cunningham, lalu meringkus dan menculik anak-anak. Hanya Jack yang selamat
karena waktu itu dia tengah menyelinap ke luar untuk mengamati satwa liar.
Melihat kawan-kawannya ditangkap, Jack bersama Kiki pun mengikuti komplotan
penculik itu hingga akhirnya mereka tiba di sebuah negeri asing bernama Tauri
Hessia. Tanpa sadar, anak-anak telah terlibat dalam suatu konflik politis di
negara lain yang sangat berbahaya.
Sendirian dan hanya bersama Kiki di negara asing, Jack harus memutar
otak demi menyelamatkan teman-temannya. Untunglah ada Kiki, burung kakatua yang
pandai menirukan suara apapun. Kiki ibarat tiket emas yang bisa digunakan Jack
untuk menyelamatkan kawan-kawannya. Dengan kepandaian Kiki, Jack berhasil
bergabung dengan sebuah sirkus keliling yang hendak menuju Borden, lokasi
tempat Phillip dan kawan-kawan ditangkap. Petualangan Jack dan Kiki di buku ini
adalah yang paling seru. Tidak seperti di buku-buku sebelumnya, Jack ibarat
pahlawan di buku ini karena dia harus bergerak sendirian, meskipun kemudian
takdir dan juga Kiki membuatnya memiliki teman-teman baru di sirkus yang kelak
akan banyak memberikan bantuan kepadanya. Berhasilkan Jack menyelamatkan
teman-temannya dan Guss? Mari bernostalgia membaca lagi kisah-kisah petualangan
karangan Enyd Blyton ini.
Membaca buku ini, pembaca akan diajak bernostalgia ke tahun 1990-an,
masa-masa ketika petualangan anak-anak benar-benar bersifat fisik. Main ke
sawah, berkemah di depan rumah sambil berpura-pura tengah berpetualangan ala
Lima Sekawan, bermain petak umpet, memasuki rumah yang baru dibangun sambil
menganggapnya sebuah puri kosong, hingga jalan-jalan ke kebun (yah anggap saja
hutan). Kala itu, belum ada media sosial yang mengambil alih sebagain besar
porsi kehidupan anak-anak sehingga rata-rata kita bisa tumbuh sebagai
orang-orang imajinatis seperi sekarang #eaaa. Untuk terjemahannya, kerasa banget
kalau buku ini diterjemahkan oleh Pak Agus Setiadi yang fenomenal itu. Beliau
menggunakan teknik pemadanan budaya sehingga banyak muncul kata-kata jadul di
buku ini, seperti pondok tetirah dan juga selada (untuk mengartikan salads).
Tapi, hal itu malah menjadikan novel ini semakin terasa aroma 90-annya.
No comments:
Post a Comment