Judul : Dead Poet Society
Pengarang : NH Kleinbaum
Penerjemah : Septina Ferniati
Penyunting : Kurniasih
Sampul : Antonio Bergasdito
Cetakan : Cetakan 3, 2006
Carpe diem! Seize the Day! Raihlah
kesempatan.
Semangat inilah yang mungkin
menggerakan penulisan buku ini, sekaligus menjadi inti dari Dead Poet Society. Diangkat dari film
laris berjudul sama, buku ini mengangkat tema tentang perjalanan mencari jati
diri sekelompok remaja pria yang berusaha membebaskan diri dari segala kungkungan
keseragaman dan upaya meraih impian. Carpe
diem! Ungkapan khas Pak Keating ini langsung menyulut bara pada diri
anak-anak muda itu. Melalui puisi, mereka belajar dan berjuang untuk mengejar
mimpi. Melalui puisi, mereka mencari jati diri. Dan, melalui puisi, mereka
belajar untuk memaknai hidup serta menggunakan setiap kesempatan yang ada untuk
menuju cita-citanya.
“Karena kita hanya akan mengalami
serangkaian musim semi, musim panas, dan musim gugur yang terbatas. Suatu hari,
meskipun sulit untuk dipercaya, kita semua akan berhenti bernapasm jadi dingin
dan mati. Maka, carpe diem, raihlah
kesempatan!” (51)
Akademi
Welton, sebuah sekolah asrama putra yang terkurung gunung-gunung sepi di
Vermont, sudah lama menjadi sekolah menengah yang sukses mengantarkan
lulusannya ke perguruan-perguruan tinggi favorit di Amerika Utara (Ivy League). Setiap hari, siswa
digembleng dengan beragam ilmu dan latihan, melakukan hal-hal yang (menurut
guru dan orang tua) penting bagi kesuksesan mereka di masa depannya. Semua
harus memakai seragam yang sama, berpikir dengan pola yang sama, serta
(diharapkan) untuk berperilaku yang sama. Wajah-wajah muda penuh semangat yang
mendominasi tahun pertama akan berubah menjadi sosok-sosok kaku dan serius di
tahun terakhir. Mereka menjadi mahasiswa yang sukses secara keilmuan, tapi
kehidupan seolah menghilang dari sorot mata anak-anak muda ini.
Sampai
akhirnya datanglah Pak Keating. Lulusan Welton beberapa tahun sebelumnya ini
akan mengampu pelajaran bahasa Inggris. Setelah matematika yang hanya latihan
dan latihan, serta bahasa Latin yang hanya hafalan dan hafalan, para siswa
dengan gontai melangkah ke kelas Pak Keating—hanya untuk dikejutkan dengan
sikap aneh si guru baru yang tiba-tiba naik ke atas kursi membacakan puisi. Carpe diem! Raihlah kesempatan selagi muda, anak-anak.
Begitu kata Pak Keating. Diperkenalkan olehnya akan keindahan puisi,
serangkaian kata-kata yang sebelumnya terasa kuno dan kosong itu tiba-tiba
menjadi hidup. Pak Keating dengan pandainya mengajak siswa-siswa mencintai
puisi, dan lalu membebaskan diri mereka melalui puisi.
“Dan jangan batasi puisi pada kata. Puisi
dapat ditemukan dalam music, selembar foto, dalam suatu makanan… Ia bisa ada di
dalam hal-hal yang paling sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, tetapi
tidak harus—takkan pernah—menjadi biasa.” (hlm 111)
Carpe diem! Ungkapan Latin ini soelah
menjadi pemantik semangat bagi sekelompok anak muda dari Welton. Terinspirasi oleh
Pak Keating, mereka menggunakan puisi untuk mengungkapkan segala keinginan
terpendamnya. Lalu, secara diam-diam, mereka menghidupkan kembali sebuah
kelompok kuno yang dulu juga pernah diikuti oleh Pak Keating di masa mudanya.
Sebuah kelompok pembaca puisi bernama Dead
Poet Society.
“Mereka telah meraih gua itu,
dan di dalamnya telah mereka temukan tempat yang jauh dari Welton, dari orang
tua, guru-guru, dan teman-teman—sebuah tempat di mana mereka mungkin menjadi
orang yang tak pernah mereka impikan. Dead Poert Society hidup dan tumbuh kemudian siap untuk meraih
kesempatan.” (hlm 105)
Melalui
puisi, anak-anak muda itu didorong untuk berani menjadi berbeda, berani meraih
mimpi, dan berani untuk mendobrak batasan-batasan negatif yang dipaksakan orang
tua dan guru kepada mereka. Dead Poet
Society telah menyemangati Knoxx untuk mencintai Chriss (dia betul-betul
mencintai gadis itu), mendukung Neil untuk ikut dalam pementasan drama (ia
berbakat dalam drama tapi ayahnya tidak menyetujui hal itu), dan anak-anak lain
untuk bergerak serta berteriak carpe
diem!
“Aku merasa seperti tidak pernah hidup …
bertahun-tahun lamanya, aku tak mau menggambil risiko apapun. Aku tak tahu
diriku dan apa yang ingin aku lakukan.” (hlm 104)
Sebuah
buku yang luar biasa! Mmebaca buku ini serasa menonton sebuah film dengan ending yang pasti tak akan pernah
terlupakan dan membekas di hati serta pikiran. Frasa carpe diem! Atau “raihlah kesempatan” mungkin yang bakal selalu
diingat para pembaca ataupun mereka yang pernah menonton film ini. Secara simple,
tidak berlebihan, Dead Poet Society berhasil
menguggah kesadaran pembaca (dan penonton) untuk bergerak meraih mimpi, untuk
mencoba mewujudkan impian mereka, bahwa tidak apa-apa untuk menjadi berbeda
karena memang tidak ada manusia yang serupa. Langgarlah batas-batas yang
mengungkungmu dari menjelajahi keluasan dunia. Berpikirlah di luar kotak. Jangan
takut menjadi berbeda dari kebanyakan. Selama hal-hal itu positif dan tidak
melanggar hak orang lain, maka raihlah kesempatan itu. Carpe diem!
Membaca reviewnya saja sudah bikin aku jatuh cinta sama buku ini. Mungkin karena sama sama guru Bahasa Inggris kayak pak Keating ya. Hehe. Jadi pingin tahu lebih detail seperti apa apak Keating mengobarkan carpe diem anak anak didiknya.
ReplyDeleteKeren mas Dion walo ada salah ejaan dikit hehe peace!
Br tau ternyata udah ada terjemahannya. Mauuuuu....
ReplyDeleteJatuh cinta sm cerita ini krn ntn film nya dulu. Filmnya bagus bgt dan akting Robin Williams di film ini juga keren sangat. Pertama "ngeh" Ethan Hawke jg di film ini.
Jd pengen membandingkan buku dan film nya. Review Bang Dion juga asik nih, bikin pengen baca bukunya. Msk dlm daftar buku buruan next month :)