Search This Blog

Monday, March 17, 2014

The Age of Miracle (Yang Pernah Ada)

Judul : The Age of Miracle (Yang Pernah Ada)
Pengarang : karen Thompson Walker
Penerjemah : Cindy Kristianto
Editor : Primadona Angela
Tebal : 337 hlm
Cetakan: 1, 2013
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama





                Selama ini kita begitu terpaku (bahkan sampai tahap bosan) pada rutinitas. Matahari terbit dan tenggelam, hari-hari berjalan dengan begitu normal dan membosankan. Terkadang, hari-hari berjalan dengan sibuknya, sampai waktu 24 jam pun terasa tak cukup. Manusia selalu menginginkan lebih, selalu cepat bosan dan mengeluh. Itu memang sudah menjadi tabiat kita. Hal yang sama juga dialami oleh Julia, seorang remaja abg yang tengah tumbuh menyambut masa remajanya yang penuh warna. Sebagaimana remaja lainnya, ia juga diserang oleh kegalauan, dibikin dag dig dug oleh cinta, dan warna-warni persahabatan. Tetapi, masa remaja Julia adalah masa remaja yang jauh dari normal. Masa remaja yang dialami Julia begitu luar biasa, begitu pre-apocalyptic, masa remaja yang “penuh keajaiban” karena begitu tidak normal: zaman ketika rotasi Bumi melambat.

                Tidak ada yang tahu sebabnya, tiba-tiba rotasi Bumi mendadak melambat. Perlambatan perputaran Bumi ini awalnya tidak terlalu dirasakan, hanya waktu siang dan malam yang terasa lebih panjang. Tetapi, ketika perlambatan berlangsung terus menerus, dan semakin hari semakin lambat, warga Bumi baru merasakan dampaknya. Siang dan malam semakin panjang. 24 jam berubah menjadi 25 jam, kemudian 26 jam, kemudian 32 jam, dan semakin lama semakin panjang sampai siang hari menjadi 24 jam dan malam pun menjadi 24 jam. Total, sehari semalam menjadi 48 jam. Gravitasi berubah, menimbulkan pergeseran pada kutub magnetis Bumi yang langsung mempengaruhi perilaku binatang (dan akhirnya manusia). Manusia kehilangan ritme sirkadiannya (ritme biologis 24 jam), lingkungan hidup kacau balau, iklim berubah, bahkan aurora dan salju muncul di wilayah khatulistiwa.

                Di saat hari-hari semakin lambat dan dunia berubah, Julia berusaha menjalani masa remajanya dengan normal. Merasakan sendiri hari-hari melambat, gejolak remajanya mulai merindukan normalitas. Jam sekolah seperti biasa, pacaran, pergi ke pesta. Tetapi, semua itu tidak mungkin lagi dia lakukan. Dunia menjelang kiamat secara pelan-pelan, begitu pemerintah memberitahukan. Namun Julia dengan semangat mudanya seolah tidak peduli. Ia menjalani hari-hari yang semakin panjang yang ternyata turut mengubah hubungan persahabatan dan juga hubungan keluarganya. Dari sudut pandang Julia yg masih remaja, pembaca akan diajak memandang dunia  menjelang hari-hari terakhirnya. Begitu polos, begitu penuh harapan, begitu fresh layaknya cara orang-orang muda memandang dunia, bahkan ketika Bumi mulai berhenti berputar.

                Kita jarang menghargai rutinitas dan sering menyalahkannya sebagai biang penyebab stres. Tapi, bayangkan ketika rutinitas itu tiba-tiba direnggut dari kita. Bayangkan hari-hari yang semakin panjang (banyak yang berkata waktu 24 jam dalam sehari kurang kan?) Jika kita renungkan, umat manusia begitu rapuh di alamm semesta ini. Bahkan perubahan sekecil apapun pada Bumi, planet yang menopang kita, sudah cukup untuk menaklukkan ego manusia yang sering kali menyombong bisa menaklukan alam. Betapa selama ini keteraturan semestalah yang membuat manusia bertahan. Kita jarang membayangkan bagaimana seandainya bulan melenceng sedikit saja dari orbitnya, atau Bumi yang semakin melambat mengelilingi matahari. Dalam The Age of Miracles, perubahan itu sangat kecil bila dibandingkan dengan keluasan jagad raya. Tapi itupun sudah membuat peradaban manusia porak-poranda.


                Melalui The Age of Miracles, kita akan diajak untuk mensyukuri rutinitas dan diingatkan betapa beruntungnya kita yang masih bisa menikmati Bumi yang normal. Dari sudut pandang Julia, kita diingatkan betapa indahnya pepohonan yang menghijau, matahari yang terbit dan tenggelam secara teratur, salju yang turun di tempat semestinya. Keindahan yang kita rasakan saat ini bukan berarti akan berlangsung selamanya. Ulah manusia yang merusak dan mengotori Bumi suatu saat akan berimbah juga kepada kita. Dan, lewat Julia, kita tahu betapa ajaibnya masa-masa normal yang masih bisa kita nikmati saat ini. Mari lebih mensyukuri saat ini, cintailah Bumi sebelum planet biru ini ngembek dan tidak mau berputar lagi. 

No comments:

Post a Comment