Judul : The Age of
Miracle (Yang Pernah Ada)
Pengarang : karen
Thompson Walker
Penerjemah : Cindy
Kristianto
Editor : Primadona
Angela
Tebal : 337 hlm
Cetakan: 1, 2013
Penerbit : Gramedia
Pustaka Utama
Selama ini kita begitu terpaku (bahkan sampai tahap
bosan) pada rutinitas. Matahari terbit dan tenggelam, hari-hari berjalan dengan
begitu normal dan membosankan. Terkadang, hari-hari berjalan dengan sibuknya,
sampai waktu 24 jam pun terasa tak cukup. Manusia selalu menginginkan lebih,
selalu cepat bosan dan mengeluh. Itu memang sudah menjadi tabiat kita. Hal yang
sama juga dialami oleh Julia, seorang remaja abg yang tengah tumbuh menyambut
masa remajanya yang penuh warna. Sebagaimana remaja lainnya, ia juga diserang
oleh kegalauan, dibikin dag dig dug oleh cinta, dan warna-warni persahabatan.
Tetapi, masa remaja Julia adalah masa remaja yang jauh dari normal. Masa remaja
yang dialami Julia begitu luar biasa, begitu pre-apocalyptic, masa remaja yang “penuh keajaiban” karena begitu
tidak normal: zaman ketika rotasi Bumi melambat.
Tidak ada yang
tahu sebabnya, tiba-tiba rotasi Bumi mendadak melambat. Perlambatan perputaran
Bumi ini awalnya tidak terlalu dirasakan, hanya waktu siang dan malam yang
terasa lebih panjang. Tetapi, ketika perlambatan berlangsung terus menerus, dan
semakin hari semakin lambat, warga Bumi baru merasakan dampaknya. Siang dan
malam semakin panjang. 24 jam berubah menjadi 25 jam, kemudian 26 jam, kemudian
32 jam, dan semakin lama semakin panjang sampai siang hari menjadi 24 jam dan
malam pun menjadi 24 jam. Total, sehari semalam menjadi 48 jam. Gravitasi
berubah, menimbulkan pergeseran pada kutub magnetis Bumi yang langsung
mempengaruhi perilaku binatang (dan akhirnya manusia). Manusia kehilangan ritme
sirkadiannya (ritme biologis 24 jam), lingkungan hidup kacau balau, iklim
berubah, bahkan aurora dan salju muncul di wilayah khatulistiwa.
Di saat hari-hari semakin lambat dan dunia berubah,
Julia berusaha menjalani masa remajanya dengan normal. Merasakan sendiri
hari-hari melambat, gejolak remajanya mulai merindukan normalitas. Jam sekolah
seperti biasa, pacaran, pergi ke pesta. Tetapi, semua itu tidak mungkin lagi
dia lakukan. Dunia menjelang kiamat secara pelan-pelan, begitu pemerintah
memberitahukan. Namun Julia dengan semangat mudanya seolah tidak peduli. Ia
menjalani hari-hari yang semakin panjang yang ternyata turut mengubah hubungan
persahabatan dan juga hubungan keluarganya. Dari sudut pandang Julia yg masih
remaja, pembaca akan diajak memandang dunia
menjelang hari-hari terakhirnya. Begitu polos, begitu penuh harapan,
begitu fresh layaknya cara orang-orang muda memandang dunia, bahkan ketika Bumi
mulai berhenti berputar.
Kita jarang menghargai rutinitas dan sering
menyalahkannya sebagai biang penyebab stres. Tapi, bayangkan ketika rutinitas
itu tiba-tiba direnggut dari kita. Bayangkan hari-hari yang semakin panjang
(banyak yang berkata waktu 24 jam dalam sehari kurang kan?) Jika kita
renungkan, umat manusia begitu rapuh di alamm semesta ini. Bahkan perubahan
sekecil apapun pada Bumi, planet yang menopang kita, sudah cukup untuk
menaklukkan ego manusia yang sering kali menyombong bisa menaklukan alam.
Betapa selama ini keteraturan semestalah yang membuat manusia bertahan. Kita
jarang membayangkan bagaimana seandainya bulan melenceng sedikit saja dari
orbitnya, atau Bumi yang semakin melambat mengelilingi matahari. Dalam The Age of Miracles, perubahan itu
sangat kecil bila dibandingkan dengan keluasan jagad raya. Tapi itupun sudah
membuat peradaban manusia porak-poranda.
Melalui The Age
of Miracles, kita akan diajak untuk mensyukuri rutinitas dan diingatkan
betapa beruntungnya kita yang masih bisa menikmati Bumi yang normal. Dari sudut
pandang Julia, kita diingatkan betapa indahnya pepohonan yang menghijau,
matahari yang terbit dan tenggelam secara teratur, salju yang turun di tempat
semestinya. Keindahan yang kita rasakan saat ini bukan berarti akan berlangsung
selamanya. Ulah manusia yang merusak dan mengotori Bumi suatu saat akan
berimbah juga kepada kita. Dan, lewat Julia, kita tahu betapa ajaibnya
masa-masa normal yang masih bisa kita nikmati saat ini. Mari lebih mensyukuri
saat ini, cintailah Bumi sebelum planet biru ini ngembek dan tidak mau berputar lagi.
No comments:
Post a Comment