Judul: Inheritance
Pengarang: Christopher Paolini
Penerjemah: Poppy D Chusfani
Tebal: 918 halaman
Cetakan: kedua, 2012
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Akhirnya selesai juga saya
mengikuti perjalanan-petualangan Eragon dan naga birunya, Saphira. Membaca
empat seri Warisan karya Christopher
Paolini yang masing-masing setebal bantal serasa tidak ada bedanya dengan turut
melakukan perjalanan panjang bersama karakter utamanya. Inheritance, atau Warisan yang
merupakan penutup dari epic di dunia Algaesia ditulis dengan megah, akbar,
penuh pertempuran, cipratan darah, daging yang terkoyak, benteng yang hancur,
permainan pedang yang seru, kelebatan-kelebatan sihir nan mematikan, perjalanan
panjang menempuh badai, petualangan menjelajahi pulau-pulau terpencil, dan juga
ditulis dengan sangat panjang. Kecenderungan
Paolini untuk menulis dengan narasi dan cerita yang berpanjang-panjang ini
mulai tampak di buku kedua, Eldest, dan
mencapai puncaknya pada Brisigr
sebelum akhirnya berujung di Inheritance yang,
untungnya, terbantu oleh ending seri yang pastinya megah dan kolosal, sehingga
membaca berpanjang-panjang di buku keempat ini terasa tidak menjemukan. Memang
melelahkan, tapi lelah yang nyaman, seperti ketika kita melakukan perjalanan
panjang yang walau melelahkan namun sangat menyenangkan.
Dalam
seri terakhir ini, bisa ditebak, Eragon harus menghadapi sang Kaisar tiran
Galbatorix. Saking tebalnya buku ini dan buku-buku sebelumnya, saya sampai agak
lupa dengan sampai di mana kisahnya terpotong di buku tiga. Untunglah, Paolini
ini baik benget dan “sadar diri” sehingga memberikan contekan synopsis dari
keseluruhan cerita buku satu sampai tiga
di awal buku empat. Penempatan peta Algaesia di halaman paling awal juga
terbukti sangat membantu. Dalam buku empat ini, Paolini seolah-olah tidak ingin
menyia-nyiakan alam Algaesia yang telah ia ciptakan. Hampir seluruh tempat,
pulau, kota yang tidak tersentuh di buku-buku sebelumnya, dimunculkan di sini. Semua
dijelajahi, dan dengan rapinya penulis menuturkan beragam kejadian yang terjadi
di tempat-tempat tersebut. Peta di buku ini benar-benar sangat membantu pembaca
membayangkan seperti apa dan bagaimana jalannya cerita atau pertempuran.
Peta Alagaesia (sindragosa.comxa.com)
Dalam cerita sebelumnya, Eragon bersama pasukan Varden yang dipimpin oleh Nasuada bergerak mendekati pusat kekuasaan Galbatorix. Satu demi satu kota dan benteng berhasil mereka rebut, mulai dari Arough sampai akhirnya mereka mengepung ibukota Kekaisaran, Uru'baen. Gabungan pasukan Vanden, Sudra, pasukan kurcaci dan Urgal, ditambah Eragon dan Saphira, terbukti menjadi kekuatan yang terlalu besar bagi kota-kota kekaisaran. Pembaca yang menyukai aksi pertempuran dan strategi perang akan dimanjakan dengan berbagai scene tentang pertempuran memperebutkan kota. Sekali lagi, saya terkagum-kagum pada Roran, sepupu Eragon. Ia yang hanya manusia biasa sejatinya adalah sang pahlawan dalam buku ini. Tidak bisa sihir, Roran lebih mengandalkan akal dan kekuatan fisik. Kota-kota jatuh ke tangannya bukan karena sihir, tapi karena kecemerlangannya dalam menyusun strategi perang. Tapi, Roran sendiri mengakui bahwa ia tidak akan pernah bisa menaklukan Ibu kota kekaisaran dengan stratreginya sendiri. Kota-kota lain miliknya, tapi pusat kekuasaan Galbatorix adalah milik Eragon. Kota yang dibangun oleh kaum elf itu harus ditaklukan dengan kekuatan, strategi, dan sihir. Roran mengatakan bahwa sihir adalah sesuatu yang tidak adil di dunia ini. Antara manusia dan para pengguna sihir, terdapat jurang lebar yang disebut sihir.
Dalam cerita sebelumnya, Eragon bersama pasukan Varden yang dipimpin oleh Nasuada bergerak mendekati pusat kekuasaan Galbatorix. Satu demi satu kota dan benteng berhasil mereka rebut, mulai dari Arough sampai akhirnya mereka mengepung ibukota Kekaisaran, Uru'baen. Gabungan pasukan Vanden, Sudra, pasukan kurcaci dan Urgal, ditambah Eragon dan Saphira, terbukti menjadi kekuatan yang terlalu besar bagi kota-kota kekaisaran. Pembaca yang menyukai aksi pertempuran dan strategi perang akan dimanjakan dengan berbagai scene tentang pertempuran memperebutkan kota. Sekali lagi, saya terkagum-kagum pada Roran, sepupu Eragon. Ia yang hanya manusia biasa sejatinya adalah sang pahlawan dalam buku ini. Tidak bisa sihir, Roran lebih mengandalkan akal dan kekuatan fisik. Kota-kota jatuh ke tangannya bukan karena sihir, tapi karena kecemerlangannya dalam menyusun strategi perang. Tapi, Roran sendiri mengakui bahwa ia tidak akan pernah bisa menaklukan Ibu kota kekaisaran dengan stratreginya sendiri. Kota-kota lain miliknya, tapi pusat kekuasaan Galbatorix adalah milik Eragon. Kota yang dibangun oleh kaum elf itu harus ditaklukan dengan kekuatan, strategi, dan sihir. Roran mengatakan bahwa sihir adalah sesuatu yang tidak adil di dunia ini. Antara manusia dan para pengguna sihir, terdapat jurang lebar yang disebut sihir.
Maka, giliran
Eragonlah yang harus menemukan jalan untuk mengalahkan Galbatorix. Tantangannya
semakin berat karena kaisar lalim itu kini dilindungi oleh Murtagh (kakak tiri
Eragon, ceritanya panjang) dan naganya. Galbatorix juga didukung oleh jantung
dari jantung naga, eldunari, yang
merupakan sumber kekuatan tak terbatas baginya. Gabungan kekuatan manusia,
kurcaci, werecat, dan penunggang tidak akan mampu mengalahkannya. Sebuah ilham
yang muncul dari salah sati werecat kemudian menuntun Eragon untuk pergi ke
pulau terpencil bekas istana para penunggang. Sebuah rahasia kuno dan mistis
ditanam di pulau yang dipenuhi racun serta mahkluk mengerikan itu. Mau tak mau,
Eragon harus kesana untuk mencari “senjata” pamungkas kuno untuk mengalahkan
Galbatorix.
Sementara
itu, gabungan pasukan Varden, kurcaci, werecat, dan urgal telah sampai di
ibukota kekaisaran. Bala bantuan datang dari bangsa elf yang dipimpin oleh Ratu
Islandil, ibunda Arya. Maka, untuk pertama kalinya, seluruh bangsa dan ras yang
tinggal di Algaesia dipersatukan oleh satu tujuan yang sama: mengalahkan
Galbatorix. Pertempuran besar pun pecah. Buku keempat ini begitu sarat dengan
berbagai adegan perang di dalam kota, penuh kontak fisik dan juga permainan
pedang. Kelihaian pertarungan antar naga di buku terakhir ini, sayangnya, tidak
seepik di buku-buku sebelumnya. Ini kisah tentang naga, tapi seiring ke
belakang, peran naga malah semakin berkurang. Paolini sepertinya membagi rata
antara Eragon dan Roran mulai di buku ketiga. Jadi sihir-sihir memang menjadi
berkurang, digantikan oleh pertempuran fisik dan upaya-upaya diplomasi.
Sepertinya, Roran adalah karakter yang berkembang dalam buku ini karena kemauan
pribadinya. Sementara Eragon, dia berkembang karena memang itu sudah menjadi
takdirnya. Tapi, ketika akhirnya ERagon berhadapan langsung dengan Galbatorix,
pertempuran sihirlah yang berlaku. Pembaca yang kangen dengan sihir dan naga akan
sedang membaca bagian terakhir ini.
Sebagaimana
bisa ditebak, Galbatorix akhirnya bisa dikalahkan. Nggak perlu spoiler, secara logika pun para pembaca
sudah bisa tahu kalau Eragon akhirnya berhasil mengalahkan sang kaisar lalim.
Bagaimana caranya? Nah itu rahasia, silakan dibaca sendiri karena membaca kisah
yang sangat panjang ini akan menimbulkan sensasi kelegaan tersendiri. Lega
karena akhirnya bisa menyelesaikan perjalanan. Lega karena buku ini masih
ditutup dengan bab-bab panjang paska tergulingnya Galbatorik. Dengan konsep seperti
ini, Paolini berhasil menjerat imaji pembaca yang pasti tidak akan pernah
melupakan petualangan Eragon dan Saphira, meskipun mereka hanya membacanya satu
kali. Panjangnya serial ini juga menunjukkan bahwa kehebatan sebuah kisah
kadang tidak terletak pada endingnya, tapi pada perjalanannya, pada prosesnya.
Sudah jelas bahwa Galbatorix akan kalah, tapi bagaimana ia dikalahkan, itulah
yang menarik dan layak diikuti dari seri ini.
kereeen, saya baru mau baca buku ini hehehe. telat nih tapi gapapa lah ya :D makasi reviewnya
ReplyDelete