Search This Blog

Wednesday, August 21, 2024

Mutiara karya John Steinbeck

Judul: Mutiara 

Pengarang: John Steinbeck

Penerjemah: Ary Kristanti

Penerbit: Penerbit Liris

Tahun terbit: 2013

Tebal: 142 halaman





"Karena kekayaan selalu bisa mengubah setiap orang." (hlm. 51)

Kilauan harta bisa membuat manusia terlena, bahkan melupakan kemanusiaannya. Ini yang rupanya hendak ditunjukkan Steinbeck dalam novel tipis namun meninggalkan kesan mendalam ini. Seorang nelayan miskin, berasal dari ras yang dipinggirkan, mendadak menemukan harta terbesar di dunia. Orang-orang yang dulunya berlari menjauhinya kini seakan berlomba mendekatinya. Mereka yang dahulu cuek dan abai, kini berusaha mendekat dan mencari perhatiannya. Sebutir Mutiara ternyata lebih berharga nilainya ketimbang keberadaan manusia itu sendiri. Harta benar-benar bisa mengubah manusia.
 
Kino tidak pernah lupa, bagaimana dia ditolak oleh seorang dokter ketika hendak memeriksakan bayinya yang disengat kalajengking. Dokter menolak memeriksa karena Kino pasti tidak mampu membayar jasanya. Lebih dari itu, si dokter merasa dirinya berasal dari ras yang berbeda. Dokter yang jebolan universitas Eropa, sementara Kino hanya melayan miskin belaka—dari suku Indian yang terpinggirkan pula. Di sini kita menyaksikan, bukan hanya kemiskinan yang membentuk tembok tebal, tetapi juga prasangka dari dua suku yang berbeda.
Tetapi temuan Mutiara terbesar di dunia itu mengubah semuanya. Ketika kebingungan melanda Kino dan istrinya, Juana, sebuah Mutiara teramat indah muncul dalam kehidupan mereka. Awalnya, Mutiara itu bisa mneyembuhkan si bayi. Kemudian, Mutiara itu juga menyembuhkan hubungannya dengan orang-orang. Semua berbondong mendekatinya. Tidak hanya warga sesama Indian yang miskin dan senasib, tetapi juga pejabat setempat, pendeta, para orang kaya yang tamak, dan tentu saja, si dokter. Mereka mungkin bilang hanya mengagumi keindahan Mutiara temuan Kino, tetapi jauh di dalam hati selalu ada tamak yang diam-diam membayangi.
 
Benar kata sebuah ungkapan di buku ini, “Kemujuran  biasanya mengajak serta pasangannya, yaitu tragedi.” Inilah yang harus dialami Kino. Mutiara itu tidak hanya membuatnya populer, tetapi juga kebingungan. Kino yang awalnya nelayan bersahaja, kini senantiasa waswas menyembunyikan mutiaranya. Dia bahkan beberapa kali diserang orang yang ingin merebut Mutiara itu. Ketiban durian runtuh tidak hanya membawa enaknya, tapi ada juga sakitnya. Orang dapat durian gratis, tetapi dia mungkin terluka karena kejatuhan pohon atau tertusuk kulit duriannya.
 
Hal paling disesalkan, ketamakan turut merasuk dan mengubah Kino. Sosok pria sederhana yang biasanya cukup dan menjalani hari apa adanya, kini jadi semakin perhitungan dan banyak berprasangka. Bukannya hidup tenang dan tak kekurangan, Mutiara ini malah membuat kehidupan keduanya resah dan gelisah. Terlalu banyak harta tidak melulu menenangkan.  Banyak orang asing mulai memaksa masuk, terlebih ketika Kino menolak menjual mutiaranya dengan harga yang menurutnya terlalu murah.

Begitulah ketamakan dan harta yang didapat tidak semestinya hanya akan membawa pada kecemasan. Kino dan Joana akhirnya harus melarikan diri dari kejaran para pendamba Mutiara. Benda indah tapi sejatinya terlaknat itu tidak hanya membuat mereka kehilangan rumahnya, tetapi juga kehilangan tempat bernaung di tengah-tengah masyarakat komunitasnya. Bahkan saat keluarganya berusaha kabur ke pegunungan, mereka masih diikuti ketamakan. Pada akhirnya, Kino memilih untuk membuang Mutiara itu, yang ternyata lebih banyak mudharat ketimbang manfaatnya. 

Novel tipis tapi terasa begitu sarat isi. Dalam Mutiara, Steinbeck tidak hanya mengangkat tentang bahaya harta, tetapi ia juga menusuk  dalam pada identitas kemanusiaan kita. Dengan rapi, dia menyindir pejabat dan penguasa, bahkan tokoh-tokoh agama. Juga tentang diskriminasi sosial yang ternyata juga terjadi di dunia barat yang katanya beradab. Bahkan mereka yang beradab pun ternyata belum tentu sebaik mereka yang hidupnya bersahaja tetapi terpinggirkan karena dianggap liyan. Satu hal yang sama selain adanya rasa tamak pada harta, bahwa manusia juga akan berjuang demi hidupnya, yang ini dirangkum dengan indah sekali di kutipan berikut:

“Karena seperti kata pepatah bahwa manusia memang tak pernah puas, jika sudah diberi sesuatu pasti akan meminta yang lebih, dan sayangnya hal tersebut merupakan satu-satunya bakat terbesar manusia yang membuatnya menjadi makhluk yang lebih mulia daripada binatang, padahal binatang selalu merasa puas dengan yang mereka miliki.” (hlm. 39)

No comments:

Post a Comment