Search This Blog

Wednesday, July 31, 2024

Toko Buku Abadi

Judul: Toko Buku Abadi
Pengarang: Yudhi Herwibowo
Cetakan: pertama, 2024
Tebal: 271
Penerbit: Baca


Terbukti lagi, buku bisa menyatukan banyak orang—atau dalam kasus Toko Buku Abadi, toko buku bisa mengumpulkan banyak orang dengan latar berbeda. Tiga puluh tiga kisah dalam Toko Buku Abadi mengumpulkan orang-orang yang bersaling-silang takdirnya dalam sebuah toko buku kecil tapi dikurasi dengan baik di pinggiran sebuah kota kecil. Dibangun Bersama oleh sepasang kekasih yang baru saling menemukan cintanya (pada buku, toko buku, dan juga masing-masing) di usia senja. Kisah mereka membuktikan bahwa tidak ada pernah telat untuk menemukan jiwa (atau buku) yang tepat untuk setiap orang.

"Konon, di dalam jiwa seorang pembaca buku, selalu pernah berharap memiliki toko buku kecil tempat ia bisa bersantai dan membaca buku apa pun yang ia inginkan." (hlm. 15)

Dari sebuah toko buku, terjalin kisah 33 orang yang dekat maupun tidak dekat dengan dunia buku. Jika selama ini pasar Indonesia sudah lebih dulu diramaikan dengan “buku tentang buku” atau “buku tentang toko buku”, kedatangan Toko Buku Abadi bisa jadi awalnya dianggap hanya sekadar mengekor atau meramaikan. Kita masih takjib dengan Perpustakaan Tengah Malam, atau Perpustakaan Ajaib Bibbi Boken, atau The Door to Door Bookstore, atau The Cat who Saved Books dengan segala keajaiban bukunya. Bagaimana dengan Toko Buku Abadi?

Toko Buku Abadi ternyata masih punya keajaibannya sendiri. Keajaiban lokalitas yang dekat dengan pembaca, yang menjadi ciri khasnya ketika digabungkan atau dibandingkan dengan buku tentang buku lain (yang kebanyakan adalah buku terjemahan). Buku ini terasa dekat dengan pembaca, ia mengingatkan kita pada kebahagiaan membaca cerpen di surat kabar pada Minggu pagi setelah jalan sehat, bersepeda, atau lari sambil mampir ke lapak koran. Ia membawa tema-tema yang Indonesia banget, termasuk tentang sejarah kelam di negeri ini.

Tragedi 1965 sepertinya menjadi benang merah “sejarah” di novel ini. Meskipun kisah toko ini sudah merentang jauh semasa era Tanam Paksa di masa kolonial Belanda. Tidak hanya menulis buku tentang toko buku, mas Yudhi menulis tentang sejarah lewat buku ini (latar belakang beliau yang cerpenis produktif dan pengarang novel-novel sejarah menjadi pendukung). Dan, tulisannya terasa nyaman dibaca, tidak melelahkan. Isinya begitu variatif dengan cerita-cerita dengan banyak tema dan genre—seperti buku.

“Jangan khawatir. Kau harus tahu, pencuri tak suka buku dan penyuka buku tak suka mencuri.”

Jangan kaget jika di awal kita mendapat kisah roman, lalu dilanjutkan dengan kisah keluarga toxic, lalu kisah remaja, lalu kriminal, dan mendadak ada kisah horornya. Benar-benar berbeda dengan buku-buku tentang buku (atau toko buku yang lain). Ada khas mas Yudhi di buku ini lewat alurnya yang enak sekali diikuti, tidak berat dan fokus banget alurnya meskipun yang diceritakan adalah 33 orang dengan kisah berbeda. Dan, bab-babnya pendek, seolah tidak terkait, tapi ada benang merah luar biasa cerdik yang membuat pembaca tetap penasaran. Bagaimana nasib si ini, gimana dengan hantu itu, ini akhirnya bagaimana.

“Toko buku selalu sepi, kita bisa menghabiskan waktu dengan membaca.”

Tapi, mas Yudhi tetap konsisten dengan tema besarnya: buku. Meski menyisipkan sejarah, tetap ada banyak porsi tema buku di novel ini. Dan, yang paling saya sukai, kisah buku itu dekat sekali dengan pembaca Indonesia. Misalnya, tentang Komunitas Penimbun Buku Nasional (hlm. 264), atau serba serbi buku bajakan, tentang para blogger buku (hlm. 81), kisah pemberangusan buku oleh salah satu ormas (hlm. 152), para kolektor buku yang rela membeli dan berburu buku lawas hingga ke berbagai kota (hlm. 201), juga sedikit cuplikan suasana pasar buku bekas tapi legendaris di Jogja. Lebih ngakak lagi, ada bab khusus tentang pengarang buku bestseller negeri ini, dan dua ini memang rame banget di medsos. Tidak lain tidak bukan adalah Dharma Darwis dan Ika na (nggk bahaya ta, Mas wkwkw?)

“Semua buku punya materi, keunikan, dan kelangkaan sendiri-sendiri.”

Selain itu, ada khas lain: keajaiban. Membaca Toko Buku Abadi bukan hanya kisah tentang hal-hal nyata. Ada beberapa kisah ajaib juga di dalamnya, yang menjadikan buku ini lebih indah karena bukan melulu gabungan dari banyak kesaksian nyata. Ada pohon yang berbuah buku—sungguh indah sekali imajinasi pengarangnya, pohon yang berbuah buku. Untuk para pembaca yang sudah lama baca karya beliau, pasti sudah hapal dengan gaya berceritanya yang khas mas Yudhi banget ini. Pengarang benar-benar membuktikan kalau beliau tidak hanya seorang penulis, tetapi juga pembaca buku yang akut.

Toko Buku Abadi juga menyembuhkan saya. Saya seperti mendapatkan kembali fokus saya yang akhir-akhir ini terdistraksi oleh gawai. Saya berhasil duduk 2 jam anteng hanya untuk membaca novel ini. Satu kenikmatan lama yang kini jarang saya temui akibat godaan media sosial dan aplikasi di gawai yang semakin riuh. Buku ini dengan segala kisah ramai di dalamnya akan membawa ketenangan dan fokus yang sangat disukai oleh para pembaca buku. Salah satu buku terbaik yang saya baca di tahun ini. Buku yang akan mengajak pembaca untuk kembali bersemangat mengunjungi toko buku fisik lagi. Menyala, toko buku fisik!

“Kadang, ada buku bagus yang baru kita temukan saat melihat-lihat di rak."


No comments:

Post a Comment