Search This Blog

Tuesday, May 14, 2024

Cina Muslim dan Runtuhnya Republik Bisnis

Judul: Cina Muslim dan Runtuhnya Republik Bisnis
Penyusun: Teguh Setiawan
Tebal: 261 hlm
Cetakan: 1, 2012
Penerbit: Republika


"Sejarah adalah milik mereka yang menulis." (hlm. 239)

Sekitar tahun 2000an ke atas, saya sempat mendengar kata "cina" dilafalkan /chaina/ seperti pelafalan versi Inggris di sebuah saluran. Alasannya, saya tidak tahu karena di saluran lain tetap dibaca /Cina/. Lalu beberapa tahun kemudian, ramai  digalakkan penggantian istilah China atau Cina menjadi Tiongkok. Beberapa media cetak dan media elektronik pun ikut sigap mengganti RRC menjadi RRT. Alasan yang saya tangkap waktu itu karena istilah ‘Cina’ berkonotasi negatif atau mengejek, sesuatu tentang Geger 1965 atau apa. Kemudian saya kebetulan membaca buku ini, dan ketemulah jawabannya. Penyebabnya ternyata jauh sebelum itu.

Tahun 1808, penulis Jepang bernama Sato Nobuhiro menggunakan kata “zhina”dan ‘shina’ untuk melayangkan pujian kepada Tiongkok, dan tidak ada satu pun warga Tiongkok yang marah. Kata ini menjadi berkonotasi negatif (terutama bagi public RRT) ketika lima belas tahun setelahnya Jepang menggunakan kata yang sama untuk merujuk pada objek yang harus dianeksasi. Tahun 1885, Tiongkok kalah dengan Prancis dalam perebutan Sungai Merah. Puncaknya, Tiongkok kalah dari Jepang dalam perebutan kekuasaan atas Semenanjung Korea dan lewat Perjanjian Shimonoseki, Tiongkok harus kehilangan Semenanjung Korea sekaligus harus membayar 30 milliar tael kepada Jepang.

Salah satu yang membuat sakit hati, beredar ejekan bahwa jepang yang hanya berpeduduk 40 juta mampu mengalahkan Tiongkok yang penduduknya waktu itu 400 juta. Bahkan ketika Jepang menjadi salah satu kekuatan dominan di Asia Timur pada paruh awal abad ke-20, kata “shina” mendapat tambahan arti “sick man from the far east.” Peristiwa kekalahan demi kekalahan ketika Tiongkok menyandang nama “Shina” inilah rupanya yang mengoreskan bekas luka pada rakyat Tiongkok saat kata “Cina” digunakan.  Sejarahnya panjang dan memang menyakitkan untuk negeri sebesar Tiongkok yang berperadaban ribuan tahun.

Penggunaan istilah “Cina” ini salah satu yang dibahas singkat di buku ini. Selain itu, ada juga pembahasan tentang cergam silat, asal muasal Cina peranakan, Po An Tui atau tentara sipil Cina nan legendaris, juga beberapa bab menarik tentang Cina Udik dan Cina Benteng di wilayah Tangerang. Bab paling menarik buat saya adalah pembahasan tentang Sastrawan Melayu Tionghoa yang jumlahnya ternyata sangat banyak. Claudine Salmon mencatat ada 3.005 karya penulis Tionghoa, dengan penulis mencapai 800-an. Sangat perlu dipertanyakan mengapa sedemikian banyak penulis dan karya ini tidak atau jarang disinggung dalam sejarah perjalanan sastra negeri ini.

Sastrawan Tionghoa paling produktif adalah Kwee Tek Hoay (1870 – 1960) dengan total 115 karya pada tahun 1940. Penulis ini unik karena dia sastrawan sekaligus pedagang. Beliau seperti sudah mengetahui alasan klasik yang membuat sastrawan dari segala zaman tidak bisa hidup selayaknya, terlepas dari karya-karya legendaris mereka yang laris manis. KTH mencetak sendiri karya-karyanya, sehingga dia turut menikmati kejayaan dari karya-karyanya sendiri yang laris—hal yang sering dilupakan para penulis kita. Lalu kenapa kesusastraan Tionghoa ini seperti tidak terdeteksi dan kalah dari bayang-bayang Balai Pustaka?

Penggunaan bahasa Melayu rendah dan Melayu pasar adalah penyebabnya. Awal abad 20, roman dan novel karya penulis Tionghoa ada begitu banyak, tetapi mereka dianggap leih rendah dari karya-karya yang menggunakan bahasa Melayu Tinggi (misalnya angkatan Pujangga Lama, Balai Pustaka, dan Pujangga Baru). Posisinya bisa disamakan dengan roman picisan yang beredar di kalangan bawah, dijual di terminal, dan harganya murah. Padahal secara cerita dan muatan, karya-karya ini tidak kalah bagusnya.

Novel Nona Olanda sebagai Istri Tionghoa karya Vjoo  Cheong Seng ternyata mirip dengan Salah Asuhan karya Abdul Muis. Juga Nona Iam Im yang ternyata mirip dengan Salah Pilih karya Nur Sutan Iskandar. John B Kwee dalam disertasinya Chinese Malay Literature of The Peranakan Chinese in Indonesia 1880 – 1942 menunjukkan dengan valid betapa banyak novel-novel karya sastrawan Indonesia sangat dipengaruhi oleh karya-karya penulis Tionghoa peranakan. Hal yang membedakan, karya-karya yang lebih akhir (dan lebih kita kenal) ditulis dalam bahasa melayu rendahan.

 Ada banyak hal tentang Tionghoa Indonesia di buku ini. Begitu banyak kesalahpahaman yang sebaiknya diluruskan dan ketidaktahuan yang harus dipahami. Kisah miris tentang akhir kehidupan Liem Koen Hian adalah salah satu. Tidak banyak yang tahu bahwa beliau ini adalah aktivis pergerakan, pejuang diplomasi kemerdekaan. Beliau akrab dengan Soekarno, Cipto Mangunkusumo, Dr. Soetomo. Beliau juga salah satu anggota BPUPKI yang aktif. Hanya karena dia berseberangan dengan penguasa yang waktu itu cari aman, sosok nasionalis ini dipenjara dan "dikhianati." Begitu besar rasa sakit hatinya pada bangsa yang telah diperjuangkannya, Liem Koen Hian memutuskan berpindah kewarganegaraan dan wafat di Medan dalam status warga asing. 

Sungguh, sejarah memang milik para pemenang dan begitu banyak orang besar dan jasa besar yang disembunyikan. Buku ini memang ringkas, terlalu ringkas untuk bisa membahas topik sebesar jasa Tiongkok dalam sejarah bangsa ini. Editannya juga masih kurang rapi, dengan sejumlah penulisan yang kadang kurang runtut. Dimaklumi karena tulisan-tulisan ini adalah artikel dari harian Republika yang dikumpulkan menjadi buku sehingga seperti kurang urut atau terlalu acak dan singkat. Tapi, sebagai sebuah buku sejarah, buku ini banyak memberi wawasan baru. 


No comments:

Post a Comment