Search This Blog

Thursday, March 18, 2021

Feminisme Islam yang Ramah dalam Mataraisa

 Judul: Mataraisa

Pengarang: Abidah El Khalieqy

Tebal: 390 hlm

Penerbit: Buku Bijak (Ar Ruzz Media Group)




"Perempuan dan laki-laki sama diciptakan dari tanah lempung, lantas Tuhan menganugerahi keduanya kelebihan satu di antara lainnya. Perempuan dianugerahi kelebihan yang laki-laki tak memilikinya, demikian sebaliknya. Namun dari kelebihan dan kekurangan masing-masing, Tuhan bermaksud agar kedua jenis ciptaanNya itu saling membutuhkan dan melengkapi." (hlm. 254).

Raisa Fairuza, seorang muslimah jebolan pesantren yang kemudian menapaki jalur popularitas lewat karya-karya intelektualnya. Dari pikiran dan tangannya, telah lahir sejumlah buku dan novel, juga esai dan berbagai tulisan yang hendak mengangkat status perempuan yang terpinggirkan, terutama dalam ranah religi. Tafsir-tasfir yang cenderung prolelaki dari teks-teks suci selama ini telah membuat kedudukan perempuan berada di bawah lelaki. Bahwa lelaki adalah pemimpin bagi perempuan, dan bahwa perempuan terbentuk dari tulang rusuk laki-laki. Dua ini yang sering menjadi pembenaran bagi banyak laki-laki untuk merasa lebih tinggi derajatnya ketimbang perempuan. Inilah yang hendak digugat Raisa lewat karya fiksi.

"...novel itu karya fiksi, tentu saja berisi dunia rekaan yang bohong-bohongan. Tapi maksud dan misinya kan mulia, untuk pencerahan. Makanya pakar-pakar itu bilang kalau fiksi adalah dusta yang karim." (hlm. 17).

Bersama manajer yang sekaligus menjadi bucinnya, Fozan Ibadi, Raisa berkeliling ke penjuru Indonesia bahkan ke luar negeri untuk mempromosikan novelnya 'Perempuan Batu Nilam' yang sekaligus menjadi jihadnya dalam rangka menyadarkan kaum perempuan dan juga para lelaki tentang kesetaraan di antara keduanya. Dalam sesi-sesi bedah buku inilah, Raisa menunjukkan kecemerlangan pemikirannya. Semua anggapan miring tentang dirinya yang dianggap perempuan liberal dan pemberontak dibabat tuntas dengan argumennya yang mulus dan berbobot. Tidak jarang, lawan debat hanya bisa mati kutu karena kehabisan sanggahan. Modal kecerdasan dan keluwesan dalam berbicara, serta ucapan doanya yang tak henti pada Sang Khalik menjadi senjata yang menopang gagasan-gagasannya yang revolusioner. 

"Apakah jika perempuan membicarakan ketimpangan dan ketidakadilan yang menimpa kaumnya, serta merta disebut feminis? Liberal lagi?" (hlm. 104)


Lewat novel-novelnya yang meskipun memantik kontroversi tapi ternyata menarik banyak pembaca, Raisa tidak lelah mengobarkan semangat kebangkitan perempuan. Banyak pembaca perempuan yang tersentuh oleh karyanya, merasa apa yang digambarkan Raisa adalah diri mereka. Itulah kehebatan sastra, yang memang bermula dari hidup dan kemudian diberi nilai oleh sastrawan sehingga layak dibaca dan diambil hikmahnya oleh siapa saja. Lewat karya sastra, Raisa menyadarkan bahwa kadang kenyataan hidup tidak selalu seindah yang dibayangkan atau senyaman yang diinginkan. Tetapi disitulah keindahan hidup. 

"Sastra sendiri yang pertama dinilai adalah bagaimana menyampaikan. Yang kedua baru apa yang disampaikan." (hlm. 106).

Petualangan Raisa ini sepertinya merupakan gambaran perjalanan si penulis saat mengawal novel "Perempuan Berkalung Sorban" yang memang memicu kontroversi tetapi sekaligus meledak di pasaran sekitar awal tahun 2000-an lalu. Film yang juga sukses difilmkan dan mendapat antusiasme luar biasa dari masyarakat karena nilai-nilai berani yang diusungnya. Raisa hendak menerabas tafsir-tafsir religius yang selama ratusan tahun telah "disalahgunakan" untuk menekan kaum perempuan. Argumentasi yang dibawanya menggambarkan betapa dahsyatnya kekuatan serta potensi perempuan jika diasah dengan baik. 

"Ketika Cut Nyak Shin berkeputusan memimpin gerilya apakah lantas kita menyebutnya sang feminis radikal? Ketika jendral Malahayati mendesak Porto di Melaka, feminiskah dia? Liberalkah dia? Adakah tolak ukur yang dipakai untuk menghukumi seseorang itu sebagai feminis atau bukan?" (104).

Satu hal yang bikin novel ini menjadi terasa terlalu tebal mungkin kisah cinta antara Raisa dan manajernya. Penulis mungkin menggunakan teknik kisah cinta ini agar pembaca tidak keberatan menyerap poin-poin yang lumayan serius tentang nilai-nilai feminisme dalam Islam. Raisa yang disatu sisi tampak begitu mandiri dan berapi-api dalam memperjuangkan kebangkitan perempuan, di sisi lain dia adalah seorang gadis biasa yang diam-diam begitu tergila-gila pada Fozan Ibadi. Hampir di sekujur buku kita disuguhi percakapan dan gerak-gerik keduanya yang seperti sepasang kekasih tetapi masih enggan saling mengakui. Kalau bahasa anak zaman now, bucin alias budak cinta. Porsi bucin ini yang menurut saya terlampau banyak sehingga membuat novel ini tebal dan agak kurang berwarna karena konfliknya terasa kurang. Untungnya, setting tempat yang beganti-ganti dari Jogja, Aceh, Jakarta, Bogor, Surabaya, Hong Kong, hingga Kampung Mim yang bikin penasaran membuat proses membaca Mataraisa kembali berwarna. Menjadikan ada begitu banyak suguhan tempat dan fakta menarik yang ditawarkan dalam perjalanan Raisa dalam mencari cinta sekaligus memperjuangkan nasib kaumnya. 

"Karena orang besar pun adalah mereka yang jatuh bangun dalam hidup, namun tak pernah kehilangan antusiame untuk bangkit kembali." (Hlm. 178)

No comments:

Post a Comment