Search This Blog

Thursday, September 10, 2020

Goodbye Things, Hidup Minimalis ala Orang Jepang

 42851467. sx318

                Agak berbeda dengan buku Marie Kondo, buku ini banyak menggunakan pengalaman pribadi penulis yang menurutnya berhasil menata hidupnya lewat berbenah dan beres-beres. Ada banyak poin yang dibahas terkait pengaruh beres beres dengan perasaan positif yg muncul dalam diri. Membuang barang konon bisa membantu membuang stres. Sedikit barang berarti semakin sedikit yang dipikirkan sehingga kita bisa fokus pada hal yang lebih penting. Sedikit barang juga berarti sedikit ancaman bahaya ketika misalnya terjadi bencana alam.

Dengan membuang barang, kita punya lebih banyak waktu dan tenaga dan pikiran untuk difokuskan pada diri sendiri dan ornag terkasih. Mengurangi barang juga membuat kita lebih menghargai nilai ketimbang materi. Dengan semakin sedikit barang, semakin banyak yg bisa kita kerjakan untuk diri sendiri dan orang lain. Alih alih berfokus semata pada barang yg kita miliki, kita kini bisa meluangkan lebih banyak hal untuk hal hal lain yg kita sukai: hobi. Semakin sedikit barnag juga berarti semakin sedikit tenaga dan waktu untuk membersihkannya.

Menurut pendapat saya, jurus jurus minimalis di buku ini cenderung masih aman, tidak sefrontal Kondo yang membuang semua bukunya dan bahkan merobek halaman favorit. Penulis menjual semua bukunya, hanya membaca satu buku yg benar benar jd favoritnya. Dengan dmeikian, dia lebih fokus dan ternyata membaca lebih banyak. Mungkin karena penulis laki laki sih ya, yg memang malah cenderung lebih efektif menyelesaikan satu hal baru pindah ke hal lain ketimbang melakukan banyak hal secara bersamaan.

Menarik menyimak penjelasan penulis tentang menganggap toko, supermarket, pasar, dan swalayan sebagai gudang. Gudang adalah tempat menyimpan barang barang yang kita butuhkan, tapi tidak setiap hari kita butuhkan. Kita hanya mengambil gergaji misalnya ketika hendak memotong dahan, atau mengambil cangkul ketika hendak kerja bakti. Barang di toko harusnya juga gitu. Hanya diambil/dibeli saat butuh saja. 

Langkah penulis yang menyingkirkan 95% barangnya mungkin memang frontal. Tapi di depan, sebelumnya penulis sudah mengingatkan bahwa seni minimalis berlaku berbeda beda untuk tiap orang. Minimalis kadarnya beda beda, tidak bisa disamaratakan untuk semuanya. Penulis yg maish lajang dan tinggal di Jepang dengan biaya hidup yg tinggi mungkin cocok dengan minimalis ekstrem. Namun untuk mereka yg sudah berkeluarga dan tinggal di negara berkembang tentu minimalisnya berbeda.

Yang saya tangkap di buku ini, penulis kurang menunjukkan tips praktis untuk membuang, memilah, atau berbenah barang sebagaimana teknik Konmari. Kebanyakan materinya adalah tentang dampak positif membuang atau mengurangi barang, jadi tidak ada bagaimana memilih barang yg mau disimpan atau dibuang kecuali beberapa tips kecil yang mungkin sudah kita temukan di buku buku dengan tema sejenis. Penulis sepertinya lebih berfokus mengajak pembaca untuk mulai mengurangi kepemilikan barang dan memperbanyak hal hal yg sifatnya pengalaman atau kebahagiaan. Jadi yang bisa kita pelajari dari buku ini lebih pada aspek psikologis dari hidup minimalis. Bahwa manusia tidak seharusnya dinilai dari apa yang kita dapatkan atau apa yang kita miliki, melainkan apa yang kita berikan.

Dengan semakin sedikit barang, kita semakin orisinal.

No comments:

Post a Comment