Search This Blog

Sunday, May 22, 2016

Jawa di Mata Bangsa Eropa



 
Judul: Jawa Tempo Doeloe
Penyusun: James R. Rush
Tebal: 504 hlm
Cetakan; 1. 2012
Penerbit: Komunitas Bambu

Ada dualisme dan juga bias yang begitu kental ketika kita membaca literature-literatur sejarah Indonesia yang ditulis oleh para penulis asing, terutama penulis-penulis di era kolonial. Kepentingan menulis untuk pihak kolonial yang tengah berkuasa tentunya tidak bisa diabaikan begitu saja. Baik atau buruk, sedikit atau banyak, selalu ada bias yang muncul dalam proses pendokumentasian aneka kisah atau peristiwa dan juga alam dari tanah Jawa di masa Hindia Belanda. Seperti yang bisa kita jumpai dalam penulisan artikel-artikel di buku ini, terasa sekali betapa kepentingan kaum kolonial terlampau dijunjung tinggi sementara bagian tentang Jawa di era kemendekaan seolah-olah adalah bentuk nostalgia dari kejayaan para penguasa Belanda di masa penjajahan.

Secara garis besar, buku ini bisa dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, era sebelum kolonialisme Belanda, yakni ketika bangsa-bangsa Barat untuk pertama kalinya bersentuhan dengan Jawa kuno, antara tahun  1330 hingga akhir 1600-an. Kedua, adalah masa-masa kolonialisme Belanda yang mengambil porsi paling banyak dari buku ini. Kurun masa ini merentang sepanjang hampir tiga setengah abad, dari awal 1700-an hingga perang kemerdekaan di tahun 1945. Bagian terakhir, bagian yang menurut saya paling membosankan adalah Jawa di era setelah kemerdekaan, yakni tahun 1950 hingga akhir 1970-an. Entah kenapa, penulis-penulis Barat seperti menyesali Jawa di era kemerdekaan Indonesia yang menurut mereka telah berubah menjadi sebuah pulau yang padat, kotor, dan dikuasai komunis.

 Bagian pertama buku ini adalah lembar-lembar yang paling saya sukai karena menggambarkan Jawa di era awal kontaknya dengan orang-orang Eropa. Catatan tertua tentang Jawa di buku ini berasal dari sebuah catatan perjalanan seorang biarawan Oderic yang berlayar ke Tiongkok dan mampir ke Jawa tahun 1330-an. Digambarkan dalam catatan ini, Jawa adalah pulau yang luas namun ramai oleh kerajaan-kerajaan. Seluruh datarannya penuh cengkih dan hasil hutan, kecuali anggur. Istana-istana kerajaannya berlapiskan emas dan sangat makmur.  Perjalanan Nicolo Conti tahun 1444 juga menjadi dokumentasi awal tentang Jawa di buku ini. Pengelana ini menyebut Jawa sebagai tanahnya bangsa barbar karena penduduknya suka berperang dan sabung ayam. Namun, para pengelana kuno sepakat bahwa Jawa adalah sebuah pulau yang sangat indah dan subur. 

Sangat minim sekali dokumentasi tentang Jawa pada era sebelum kolonialisme ini. Catatan para pengelana hanya didapat dari potongan fragmen dokumen-dokumen tua yang juga tidak utuh. Para penulisnya pun masih memandang Jawa dengan segala ketakjubannya. Jawa bagi mereka adalah terra incognita alias wilayah yang tak terjamah, sebuah wilayah tak terpetakan nan eksotis—indah namun juga penuh bahaya. Tidak heran jika tulisan-tulisan mereka masih bercampur dengan fakta-fakta yang berbau fantasi.  Namun, karena bangsa kita belum terbiasa mendokumentasikan (atau mungkin sudah dicatat hanya saja dokumentasi-dokumentasi itu hilang) catatan-catatan tentang pengetahuannya, sehingga begitu sedikit yang kita ketahui tentang Jawa di era sebelum kolonialisme. Masih untung ada karya-karya dari pujangga Kraton Jawa yang cukup banyak merekam Jawa kuno dalam sejumlah babad dan serat sehingga kita masih bisa mengaksesnya. 


Era kedua, alias era kolonialisme Belanda adalah bagian yang paling banyak menyusun buku ini. Bermula dari awal 1700-an dan kemudian memanjang hingga pertengahan abad ke-20, pulau Jawa perlahan dikuasai oleh pihak Belanda. Dari pulau inilah, Belanda mengatur seluruh wilayah jajahannya yang luas di seluruh Nusantara. Di Jawa pula, Belanda pertama kali membangun serta mengelola negeri jajahannya untuk menjadikannya sebagai koloni paling indah di dunia. Banyak penulis Belanda di bagian ini yang memuji-muji Jawa sebagai pulau tropis paling nyaman untuk ditinggali.  Tanah yang subur, dipenuhi beragam perkebunan yang luas, serta orang-orang Jawa yang ramah (lebih tepatnya, penurut) dan selalu bersikap merendah ketika bertemu kulit putih. Sebagai pribumi, ada semacam rasa sesak di dada menyaksikan leluhur kita yang dipandang rendah oleh orang Barat, padahal masih sama-sama umat manusia. 

Sedikit mengabaikan rasa miris di atas, saya memaksa diri untuk mengikuti perjalanan eksotis para petualang Barat ini dalam penjelahanya di Jawa. Tulisan-tulisan dari era ini memang lebih panjang dan detail bila dibandingkan dari era sebelumnya. Para penulis juga menyediakan deskripsi detail tentang berbagai hal unik yang mereka jumpai, misalnya tentang gardu pos serta emban atau biyung yang ditugaskan mengasuh anak-anak Belanda. Panorama kota Batavia yang dikenal sebagai mutiara dari timur juga ditampilkan di bagian ini. Raflles dengan karya monumentalnya The History of Java tentu tidak bisa tidak dikutip di buku tentang Jawa ini. Karyanya, meskipun belum sepenuhnya ditulis dengan metode ilmiah, tetap menjadi salah satu rujukan penting tentang jawa di masa kolonialisme.  

Kota-kota Hindia Timur di Jawa yang paling diulas di buku ini di antaranya Batavia, Buitenzong (Bogor), dan Bandung. Ketiga kota di Jawa Barat ini ibarat pintu gerbang masuk ke Jawa sebelum para pengelana dari Barat melanjutkan ke kota-kota lain yang menjadi pusat peradaban jawa, yakni Solo dan Yogya, biasanya dilanjutkan ke Surabaya atau ke Bali dan kota-kota di Indonesia Timur. Kebanyakan pelancong Eropa pada era ini menyebut Jawa pada masa Hindia Belanda adalah puncak dari keunggulan bangsa Belanda dalam mengelola jajahannya. Sejumlah pelancong Amerika Serikat juga menyebut Jawa sedemikian tertata sehingga koloni As di Filipina seharusnya belajar dari Hindia Belanda. 


Tetapi, bias kolonialisme itu akan langsung terasa ketika pembaca sampai pada bagian ketiga buku ini, yakni Pulau Jawa di era paskakemerdekaan. Jawa di masa ini adalah nostalgia bagi para penulis Barat di buku ini. Hampir semuanya menggambarkan pulau Jawa sebagai surga yang hancur, pulau yang berantakan, dan penduduknya kasar. Sedikit sekali pandangan positif tentang Jawa di bagian menjelang akhir ini sehingga saya jadi agak malas membaca bagian ini. Mungkin karena Jawa di era Soekarno cenderung ke arah komunisme, sehingga penulis-penulis Barat (AS dan Eropa) rata-rata memberikan ulasan yang buruk. Akan lebih adil jika penyunting turut menyertakan tulisan dari penulis Asia tentang Jawa di bagian ini sehingga ada beragam nada tentang Jawa. Terlepas dari kekurangan ini, buku ini sangat layak dibaca dan dikoleksi. Di samping sampulnya yang pajang-able, buku tebal ini juga dilengkapi ilustrasi-ilustrasi antik dengan nuansa jadoel yang memancing nostalgia. Membaca buku ini, saya semakin bangga dan mencintai pulau indah ini, juga pulau-pulau lain di seluruh Nusantara.


Sumber gambar:
britishempire.co.uk
ianmarr.co.uk
thesaleroom.com
wikimedia.org

3 comments:

  1. Ada tidak ya buku yang mambahas Pulau Jawa jaman dulu hanya dari segi alamnya saja. Buku yang melepaskan segala bentuk politik, sejarah, dsb. Lebih membahas alamnya saja. Pasti sangat memancing untuk berimajinasi

    ReplyDelete
  2. Yang paling cocok untuk deskripsi tadi mungkin History of Java karya Raffles karena banyak mengulas flora fauna di Jawa. Ada juga buku Kepulauan Nusantara karya Sir Alfred Russel Walacea. Saya pengen punya buku itu, tapi mahal hiks.

    ReplyDelete