Search This Blog

Monday, April 7, 2014

Never Let Me Go (Jangan Lepaskan Aku)

       Judul: Never Let Me Go (Jangan Lepaskan Aku)
Pengarang: Kazuo Ishiguro
Penerjemah: Gita Yuliani K.       
Tebal : 360 hlm
Cetakan: pertama, 2011
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama




Di balik tembok Hailsham, sebuah sekolah asrama yang terletak di sudut terlupakan Inggris, anak-anak usia SD sampai SMP menjalani hari-hari mereka sebagaimana anak-anak seusia mereka. Para siswa itu membuat prakarya, melakukan olahraga, belajar matematika dan ilmu eksakta, menulis puisi, dan juga mulai mengenal cinta pertama. Sekilas, anak-anak di Hailsham tidak jauh berbeda dengan anak-anak lain di sekolah-sekolah asrama Inggris. Kecuali satu hal, anak-anak Hailsham adalah anak-anak hasil teknik kloning yang organ-organ tubuhnya dipersiapkan sebagai donor bagi manusia-manusia di luar. Dengan kata lain, mereka adalah anak-anak yang dibesarkan untuk kemudian organ-organ tubuhnya diambil sebagai organ donor bagi manusia yang tengah sakit. Istilahnya, mereka dibesarkan untuk mendonasikan organ-organ tubuhnya.

Anak-anak ini hanya bisa tinggal di Hailsham hingga usia 13 tahun sebelum mereka dipindahkan ke sebuah rumah pertanian sebagai bentuk persiapan mereka sebelum membaur ke dunia luar. Pada usia tertentu, para donor yang sudah dewasa harus menjalani kewajiban mereka sebagai perawat untuk merawat donor-donor lain yang baru saja mengalami donasi pertama atau keduanya. Setelah itu, para perawat itulah yang harus menjalankan kewajibannya sebagai donor selanjutnya. Begitu seterusnya sampai anak-anak ini akhirnya meninggal setelah donasi ketiga atau keempatnya.

Never Let Me Go mengambil setting akhir tahun 1990-an, tetapi penggambaran suasananya yang futuristic membuat kita seolah membaca novel genre dystopian. Padahal, novel ini jauh lebih dalam dari itu. Sebuah dunia dimana orang-orangnya sudah sakit tapi mereka berhasil mengembangkan teknik pengkloningan manusia, dimana manusia-manusia hasil kloningan ini lalu dibesarkan untuk kemudian “dipanen” organnya.  Melalui Never Let Me Go, penulis berupaya mempertanyakan kembali, apakah manusia-manusia kloningan itu benar-benar “manusia” atau bukan. Atau dalam bahasa Kath, apakah anak-anak kloningan ini memiliki jiwa?

Ketika teknologi sudah mencapai paripurna, dan jawaban dari berbagai masalah kesehatan telah muncul di depan mata lewat teknik kloning manusia, muncullah masalah baru. Bagaimana posisi manusia-manusia kloningan tersebut?  Apakah mereka sepenuhnya manusia? Dan jikapun demikian, tidak terpikirkanlah oleh kita yang manusia biasa bagaimana perasaan manusia-manusia hasil kloningan tersebut? Yang sejak kecil sudah mengetahui bahwa kelak mereka harus mendonasikan organ-organ tubuh mereka, yang sudah harus bersiap-siap seandainya mereka gagal dalam donasi pertamanya (yang berarti mati), serta yang tidak memiliki pilihan apapun tentang masa depan mereka.

Kelihaian penulis benar-benar mengena telak karena dia menulis novel ini dari sudut pandang Kath, salah satu manusia kloningan tersebut. Dikisahkan bagaimana masa-masa kecilnya di Hailsham yang benar-benar tidak jauh berbeda dengan sekolah-sekolah lain. Bahwa dia juga jatuh cinta, bisa merasa iba atau gembira, dan kadang memiliki impian tentang masa depannya. Meskipun ia tahu bahwa tak ada pilihan masa depan bagi para manusia klonning. Kita diajak melihat lebih mendalam perasaan Kath, bisikan-bisikan di hati terdalamnya yang benar-benar tidak jauh berbeda dengan anak-anak remaja normal seusianya. Lantas, masihkan kita bersikukuh bahwa manusia kloning itu tidak memiliki jiwa?

Alur novel ini sangat lambat, kadang mengisahkan hal-hal simpel yang ternyata entah bagaimana malah  terus terbayang di benak para pembaca. Ini tentu berkat kepiawaian sang penulis yang mampu menghadirkan gejolak batin yang dialami oleh anak-anak hasil kloning ini. Bagaimana mereka berusaha menjadi normal sebagaimana anak-anak manusia lainnya, dan di waktu yang sama mereka menyadari bahwa mereka tidak bisa memiliki masa depannya sendiri. Masa depan mereka telah ditentukan, yakni untuk menyerahkan tubuh dalam proses donasi. Perang batin inilah yang digelar habis-habisan oleh penulis, luar dan dalam sehingga pembaca bisa merasakan bagaim,ana tepatnya yang dirasakan anak-anak kloning itu. Di satu sisi, model penceritaan seperti ini sangat membosankan dan lambat banget, dengan fokus yang tidak beralih dari subjek yang itu-itu saja. Tapi di sisi lain, teknik ini menghadirkan sosok utuh dari anak-anak kloningan, luar-dalam, sampai-sampai pembaca bisa dibilang “bosan” saking detailnya deskripsi.

Novel ini konon juga masuk dalam 1001 buku yang harus dibaca sebelum mati. Entah apa yang membuat buku ini masuk dalam daftar tersebut tetapi memang temanya yang sangat menyentuh sisi kemanusiaan kita sebagai pembaca. Sebuah bacaan yang menurut saya layak dibaca sekali seumur hidup, tapi cukup satu kali saja, bukan untuk diulang soalnya gregetnya sudah hilang. Selamat membaca, dan semoga berhasil. 


2 comments:

  1. AKu belum baca bukunya, tapi filmnya bagus.
    Buku2nya Om Kazuo ini emang udah jaminan mutu. :-D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iyup betul, meskipun tema2nya berat tapi dia mengemasnya dalam cerita2 yang tdk memberatkan. Membaca novel ini terasa berat, tetapi bekasnya tertinggal lama di pikiran. Novel yg hebat.

      Delete