Search This Blog

Monday, September 10, 2012

I Love Monday


Judul               : I Love Monday
Penulis            : Arvan Pradiansyah
Penyunting     : Budhyastuti R.H
Sampul           : ILM Creative
Cetakan         : 1, Maret 2012 (299 hlm)
Penerbit         : Kaifa (Mizan Pustaka)      



            “Bekerja adalah alasan Tuhan menurunkan kita ke dunia ini” (halaman xxviii)

Setiap buku hebat memiliki caranya sendiri dalam mempengaruhi mindset atau pola pikir pembacanya. Beberapa di antaranya menawarkan pandangan/pendapat baru, yang lainnya mengusung model yang sama dengan pendekatan berbeda, sementara yang terakhir—dan ini yang paling jarang—dengan menjungkirbalikkan konsep yang selama ini kita yakini. Dalam hal ini, I Love Monday bisa dibilang mendekati jenis buku yang ketiga, yakni buku yang menjungkirbalikkan secara anggun konsep atau pandangan kita tentang pekerjaan (yang kemudian dilambangkan dengan hari Senin). 

Sudah sejak lama, hari Senin dianggap sebagai hari yang panjang, melelahkan, dan tidak menyenangkan. Senin identik dengan berangkat pagi, dengan tugas yang menumpuk di pekan sebelumnya, dan dengan aneka problema serta tantangan baru di kantor/tempat kerja. Pola pikir seperti ini terbentuk selama bertahun-tahun sejak kita sekolah, di mana Sabtu adalah malam liburan, Minggu adalah hari berlibur, dan Senin “terpaksa” harus bersekolah/bekerja lagi setelah sebelumnya kita dimanjakan dengan liburan. Konsep keliru tentang hari Senin (pekerjaan) inilah yang rupanya hendak ditawarkan oleh sang penulis.


Penulis buku ini, yang juga penulis buku hebat 7 Laws of Happiness,  menawarkan sebuah perubahan paradigma tentang cara kita memandang pekerjaan kita selama ini. Jika selama ini kita memandang bekerja sebagai suatu “kewajiban” (yang mana kewajiban ini biasanya dikaitkan dengan sesuatu yang terpaksa, yang kurang disukai, yang melelahkan), maka selamanya kita akan memandang negatif pekerjaan kita (dan akhirnya membenci atau cepat bosan dalam bekerja). 

Padahal, bekerja itu jika disikapi dengan benar adalah ibadah. Bukankah Tuhan mencintai hamba-hamba-Nya yang bertebaran di muka Bumi untuk mencari nafkah? Bukankah mencari penghidupan untuk diri sendiri dan keluarga itu ibadah? jadi, dengan bekerja sama saja kita telah beribadah (dan mendapatkan pahala). Namun demikian, masih ada saja orang yang mengeluhkan pekerjaan mereka, meskipun mereka sudah tahu bahwa bekerja itu penting dan memang harus dilakukan.

“Tidak adanya semangat kerja sesungguhnya adalah masalah paradigma, bukan masalah perilaku.” (hlm 5)

Mereka yang masih merasa malas bekerja di hari Senin, biasanya adalah orang-orang yang bekerja untuk sekadar mencari uang, yang melihat pekerjaan hanya sebagai sebuah job. Pokoknya, pagi datang, tengah hari makan siang, sore/petang absen pulang, dan awal/akhir bulan gajian. Setiap hari rutinitasnya sama, begitu-begitu saja, berbulan-bulan dan bertahun-tahun. Padahal, semangat yang  tercipta karena uang tidak akan bertahan lama (hlm 36). Pantas saja jika orang-orang seperti ini lekas merasa bosan di kantor dan selalu mengeluh dengan kehidupannya. 

Beda halnya dengan mereka yang melihat pekerjaannya sebagai sebuah karier, atau bahkan sebuah panggilan (yang merupakan tingkat paling tinggi dalam bekerja). Mereka inilah yang akan terus bekerja sepanjang kehidupannya, tidak peduli beratnya tantangan yang menghadang karena mereka telah menemukan posisi/tempat di mana mereka berada. Mereka meyakini bahwa pekerjaan itu memang telah ditakdirkan untuknya, yang terbaik di mana ia bisa mengoptimalisasikan segenap bakat dan kelebihannya.

“Kita jauh lebih bersemangat karena kita sadar bahwa kita bekerja untuk sesuatu yang lebih besar daripada diri kita sendiri.” (hlm 50).

Setelah itu, seseorang bisa naik ke tingkat yang lebih tinggi lagi, yakni menganggap pekerjaannya sebagai bentuk pelayanan terhadap orang lain. Dengan ungkapan-ungkapan bernas dan kata-kata penyemangat nan memikat, Bapak Arvan menunjukkan bahwa bekerja sejatinya adalah melayani dalam arti luas, Bukankah kita diciptakan untuk saling bantu membantu dengan yang lainnya? Bahwa mereka yang bekerja untuk “melayani” akan jauh lebih sukses dari mereka yang hanya bekerja untuk “mencari uang”. Ada unsur spiritual dan kehangatan jiwa dalam “melayani” sehingga paradigma ini akan menjadikan orang lebih bersemangat untuk berkerja.

“Orang-orang berdedikasi padaku karena aku juga mendedikasikan diri kepada mereka”—Toyotomi Hideyoshi. (halaman 110).



Masih ada banyak lagi saran dan pandangan berharga yang patut untuk kita renungkan setelah membaca buku ini. Misalnya saja, penulis menyarankan agar kita mencari pekerjaan dan bukan mencari uang karena kepuasan yang ditimbulkan oleh uang sifatnya hanya sementara. Juga, tentang spiritualitas di tempat kerja, yang dipaparkan dengan begitu lugas dan jauh dari kesan “mengkhotbahi” atau mengurui. Tata letak (lay out)nya juga sangat khas Penerbit Kaifa, yakni nyaman untuk dibaca, dengan font yang pas dan kutipan-kutipan kalimat penting yang dicetak dengan huruf yang lebih besar sebagai penekanan. Begitu enaknya buku ini dibaca hingga tahu-tahu saya sudah sampai ke halaman terakhir, padahal diri ini masih ingin belajar lagi tentang esensi positif dari bekerja.

Dan, ketika akhirnya kita merasakan bahwa kita telah berada di pekerjaan yang  tepat, yang merupakan panggilan jiwa kita, maka hari Senin tidak akan menjadi momok menakutkan lagi. Setiap Minggu malam, pikiran akan dipenuhi dengan semangat setelah seharian disegarkan melalui liburan, Kita akan siap menyongsong hari Senin yang penuh tantangan (juga peluang dan kesempatan emas) dengan pikiran positif.

“Keuntungan terbesar dari bekerja justru dari munculnya perasaan berharga, bermakna, dan berguna bagi orang lain.” (hlm 260).  

6 comments: