Search This Blog

Monday, July 16, 2012

Pengantin Surga


Judul   : Pengantin Surga
Pengubah     : Nizami Ganjavi
Penerjemah  : Ali Nur Rahman
Editor              : Salahuddien Gz
Cetakan        : Juli, 2012 (250 halaman)
Penerbit         : Dolphin


          Jika ditanyakan, apa kisah cinta yang paling legendaris yang pernah ditulis, kebanyakan orang rata-rata akan menjawab kisah Romeo dan Juliet. Tidak salah memang, karya gubahan pujangga masyhur dari Inggris, William Shakespeare, ini memang telah selama ratusan tahun mempesona publik dunia dengan tragedi cinta pasangan kekasih muda yang memang jalinannya begitu rumit. Namun, sedikit (orang Barat) yang mengetahui bahwa ratusan tahun sebelum kisah Romeo dan Julietitu ditulis, sebuah kisah cinta yang jauh lebih luar biasa telah terlebih dulu dikisahkan, dipopulerkan, dan dicintai di seluruh wilayah Arabia sejak masa dinasti Umayyah (661 M – 750 M). Dari yang semula disebarkan secara lisan, kisah ini kemudian dikumpulkan, ditata ulang, dan dituliskan kembali secara lebih indah oleh  seorang penyair Persia bernama Nizami Ganjavi. Inilah kisah indah tentang cinta tak berbalas. Inilah kisah galau yang dilukiskan dengan begitu puitis dan begitu mencerap indera para pebaca akan kekuatan cinta. Inilah kisah tentang sepasang Pengantin Surga yang bernama Layla dan Majnun.

            Kisah tentang Layla dan Majnun mungkin sama populernya di Timur sebagaimana kisah Romeo dan Juliet di Barat. Keduanya sama-sama mengusung tema cinta yang tak sampai: dua insan saling mencinta, pihak keluarga tidak merestui, kedua insan terpaksa berpisah, dan setelahnya adalah haru biru, kegalauan berkepanjangan, kesedihan tak berujung, dan hati yang tak henti berpuisi.

            “Kedamaian jiwaku, di manakah dirimu? Kenapa kau rampok diriku dari hidupku? Selain cinta, dosa apa lagi di hatiku? Hati yang memohon pengampunanmu ini? Dari seribu malam, berikan kepadaku satu saja untuk bertemu denganmu. Lihatlah, segalanya telah kupertaruhkan, dan aku kalah.” (hlm 39).

             Kisah utamanya mungkin Anda semua sudah mengetahuinya: Ada seorang pemuda bernama Qays jatuh cinta pada putri cantik sekaligus kembang mawarnya sebuah kabilah yang bernama Layla. Tapi, apa daya orang tua Layla tidak menyetujui hubungan dari kedua insan yang saling mencinta.  Keduanya pun dipisahkan secara paksa, menciptakan sebuah lubang menyakitkan di dalam dada. Layla hanya bisa memendam kegetirannya di balik senyum dan cadar cantiknya, tapi Qays begitu tergila-gila akan Layla sehingga ia pun menjadi “gila” (majnun) karena cinta. Setiap hari, kerjanya hanya berpuisi, meratap nasib, memohon belas kasihan, dan melantunkan ungkapan-ungkapan besar atas nama cinta. Begitu rupa kegalauan yang melanda Qays, sehingga pembaca paling sabar pun akan muak dengan sikap Qays yang dimabuk cinta begitu rupa. Semua orang berupaya menyadarkannya, tapi apa dikata, cinta sering kali memang keras kepala. Bagi Anda yang belum bisa move on karena cinta, kutipan berikut mungkin bisa sedikit membantu memulihkan jiwa Anda:

“Belajarlah menerima dunia seperti apa adanya. … Berusahalah untuk bersabar, pikirkanlah sesuatu yang lain, meskipun itu terlihat tidak berarti bagimu. Rangsanglah dirimu sendiri, bergembiralah dan berbahagialah, bercandalah dan bermain-mainlah! Tirulah tingkah angin yang lincah bergerak ke sana-kemari. Kenapa tidak? Inilah kehidupan—apakah janjinya benar atau salah, nikmatilah apa saja yang muncul di setiap kesempatan.” (hlm 134)

          Sayangnya, Qays tetap keras kepala. Terbutilah melalui dirinya bahwa cinta itu buta dan (kadang) bikin gila. Bahkan, kematian kedua orang tuanya tidak sanggup mengalahkan kesedihan kisah cintanya. Dan, ketika akhirnya nasib meraih jiwa dan kehidupan Layla, ikut padam pula cahaya hidup sang pemuda. Keduanya berakhir sebagai dua pecinta yang saling berpeluk di atas pusara. Menanti bersama, panggilan agung di  penghujung masa dunia, ketika kelak keduanya akhirnya bisa dipersatukan di surga. Merekalah sang pengantin surga.

            Bagi pembaca Indonesia, mungkin sudah tidak begitu asing dengan kisah ini. SebagaimanaKisah 1001 Malam, ada begitu banyak versi dari kisah Layla Majnun ini. Namun, ada satu hal yang membuat kisah Layla dan Majnun versi Nizami ini begitu istimewa, begitu membekas dalam benak para pembaca dan pendengarnya (termasuk Goethe dan Eric Clapton).  Selain mempertahankan cerita utama, Nizami juga menambahkan detail-detail cerita yang semakin memperindah keelokan kisah aslinya. Bahkan, penulisannya dibuat begitu rupa sehingga menghilangkan kekakuandan kegersangan kisah versi awal, disisipi dengan pengetahuan tentang rahasia-rahasia terdalam dalam jiwa manusia. Bahkan, tidak sedikit di dalamnya kita temukan petikan-petikan indah tentang dunia pada sufi, para pecinta Tuhan.

            “Dengan berbekal cinta kepada Sang Kekasih, apa yang harus ditakutkan dari minuman yang pahit dan beracun? Pengalaman-pengalaman yang menyiksa, bila bersalut cinta, akan terasa seperti surga terindah.” (243)

            Yang paling menakjubkan lagi, Laula Majnun versi Nizami ini dituliskan dalam bahasa yang luar biasa kaya, penuh dengan citraan nan mempesona. Saya terutama juga sangat salut sama penerjemah dan editornya. Terlihat benar bahwa mereka telah bekerja begitu keras untuk menghadirkan kembali kisah ini ke dalam Bahasa Indonesia, dengan semaksimal mungkin mempertahankan  keindahan lirik, kekuatan metaforanya yang mengagumkan, serta tatanan rimanya nan mempesona. Di dalamnya, akan Anda temukan kalimat-kalimat yang tidak melulu mengalaukan, namun juga menyadarkan—yang begitu rupa menghunjam kesadaran kita sebagai manusia sekaligus hamba-Nya. Dengan segala kelebihan dan keindahannya itu, sungguh, buku ini pantas untuk dibaca dan kemudian menjadi salah satu penghias dalam rak buku Anda.  

1 comment: