Judul : Cinta Sang Penjaga Telaga
Pengarang : Azzura Dayana
Penyunting : Yusuf Maulana
Pemeriksa aks : Deden A. Herdiyansyah
Sampul dan isi : Tim Semesta
Tebal : 355 halaman
Cetakan : pertama, 2009
Penerbit : Semesta (Kelompok Pro-U Media)
Hidup terkadang sejatinya begitu sederhana, hanya manusia saja yang memperumitnya dengan aneka pernak-pernik asesoris kehidupan yang sesungguhnya tidak terlalu bermaslahat ke ranah abadi yang transedental. Makna kehidupan yang sebenarnya sering kali baru bisa ditemukan dalam upaya memperjuangkan kehidupan itu sendiri. Ketika masalah menghimpit, halangan terus menghadang langkah, dan musuh bertebaran tak sabar membuka aib; ketika itulah manusia baru menyadari betapa tidak berharganya kesombongan diri. Sungguhpun ketika jalan kehidupan itu begitu pekatnya, masih ada matahari yang bersembunyi di balik awan, seolah tengah menguji sang pecinta untuk menerima sinarnya yang melimpah ruah di balik mendung kelam. Perjuangan hidup seperti inilah yang dialami oleh seorang gadis desa bernama Ita Anissa.
Perjalanan nasib telah mengarahkan gadis lugu ini untuk menjadi sosok yang lebih baik dalam menyongsong masa depan. Takdir yang berkelindan memaksanya menelan pil pahit kekecewaan ketika pria yang ia nantikan sebagai sang terpilih ternyata telah terpaut dengan bidadari yang lain. Kurangnya pendidikan serta pengalaman, kemudian menjadikan Ita sosok yang labil, menjauhi orang lain, dan terlalu pasrah. Untung pertolongan Allah datang melalui sosok-sosok penuh kebaikan, dari tangan para tetangga Ita sendiri. Malaikat itu mewujud dalam diri Pak Lutfi dan keluarganya, yang memutuskan untuk membantu biaya kuliah Ita. Keluarga baik itu ingin Ita mengubah masa depannya dengan terlebih dulu mengubah pola pikirnya. Ita sempat ragu jika dirinya masih bisa berubah menjadi lebih baik, tapi para malaikat itu menguatkan batinnya:
“ Kau bahkan bisa mengubah dunia, kalau kau mau. Tetapi yang pertama yang harus kau lakukan adalah mengubah dirimu sendiri terlebih dahulu. Setelah itu rencanakanlah apa yang harus kau raih. Orang kadang tidak sadar bahwa ia memiliki sesuatu.” (halaman 50).
Namun, manisnya pencapaian tidak akan terasa tanpa pahitnya perjuangan. Segera, Ita harus menghadapi tempaan berat untuk menjalani perubahan besarnya. Sebuah tempaan yang tidak hanya memukul keras, tapi juga mencabik nurani bahkan dapat mematahkan ketegaran jiwa. Kedua malaikat penolong itu pergi terlalu cepat, mungkin Tuhan merindukan jiwa-jiwa baik itu. Praktis, Ita harus membiayai sendiri kuliahnya yang baru berjalan satu semester hingga ia lulus kelak. Tidak sampai di situ, kerabat Pak Lutfi yang culas tidak rela dengan uang kuliah yang telah dibayarkan untuk pendaftaran Ita, ia menagihnya sebagai utang walaupun Ita tahu bahwa Pak Lutfi dulu memberikannya sebagai hibah. Tak mau menyusahkan keluarga yang sudah begitu baik itu, Ita bertekad untuk membiayai kuliahnya sendirian.
Yup, tempaan masa-masa awal kuliah dan buku-buku motivasi yang dibacanya, teman-teman kampus yang sikapnya positif, semuanya itu memberikan Ita sebuah pandangan baru tentang kehidupan. Segala kesusahan dan perjuangan yang ditempuh Ita, cobaan yang mendera dari mulai tetangga hingga kerabat Pak Lutfi yang culas, hingga rasa sakit yang timbul pada kakinya akibat proses perjuangan yang begitu berat; semua itu mengajarkan kepada Ita Annisa tentang arti penting dari sebuah proses.
“Kita harus menyukai semangat dan kerja keras. Karena nanti, di masa depan, kalau kita sudah terbiasa bekerja keras, maka kita akan menjadi orang yang berhasil, dan semua mahkluk yang ada di Bumi ini akan bangga kepada kalian.” (halaman 219).
Luar biasa ketegaran seorang Ita Anissa. Di saat mahasiswa-mahasiswi lain sibuk menghabiskan sela-sela waktu kuliah untuk berorganisasi atau bergaul dari satu mal ke mal yang lain, Ita harus bekerja serabutan demi membayar uang kuliah, membayar utang, dan menghidupi dirinya sendiri. Seolah itu belum cukup berat, Ita mengambil seorang anak asuh yang ia rawat dan ia ajak tinggal di kosnya nan sempit. Segala tempaan dan cobaan datang silih berganti, namun Ita tetap teguh memegang prinsipnya untuk mandiri dan tidak merepotkan orang lain. Tanpa dinyana, segala kesulitan itu telah mengikis benih-benih kemalasan dalam dirinya, membuatnya menjadi sosok gadis yang mandiri, membuat dirinya memantapkan hati untuk mengenakan hijab suci pemancar cahaya hati.
Terbukti, Allah takkan pernah membiarkan hamba-Nya berjuang sendirian. Malaikat itu datang dalam rupa dan wujud silih berganti: Adha, Fadli, Pak Wildan, dan bahkan Alfian—sosok pujaannya dulu. Namun, cobaan menuju keindahan mimpi yang mewujud nyata memang berat. Ita harus mengalami sakit, pelecehan, kerja keras, kepiluan, hingga kegetiran hati. Begitu berat ujian itu hingga kadang pembacapun merasakan kepedihan yang mendera Ita. Perjalanan kehidupan dan teman-teman baru telah menguatkan Ita menjadi sosok gadis berkulit legam (karena terpaan sinar mentari yang setia menemani kerja kerasnya), namun berjiwa perak yang berkilauan. Pada akhirnya, semua mimpi menyatu dan saling bertaut, menghasilkan keindahan yang seolah hanya pantas dijumpai di alam mimpi. Tapi, engkau memang berhak mendapatkannya Ita.
Secara umum, Cinta Sang Penjaga Telaga mengajarkan pembaca tentang pentingnya kerja keras dan ketekunan. Novel ini juga hendak mendobrak belenggu pada diri-diri yang menolak perubahan, seperti Ita versi lama. Dikisahkan dengan gaya bahasa yang mengalir dan diksi pilihan, novel ini cocok sebagai novel pengembangan diri bagi para remaja agar bisa menjadi lebih baik lagi. Sedikit catatan perlu diberikan pada alur dan struktur ceritanya yang, terus terang, agak kurang fokus. Beberapa bab agak melenceng terlalu jauh, terlalu berbeda, hingga kadang mengingatkan pembaca pada sebuah novel-diari. Pengalaman Ita dituliskan lebih mirip sebagai curahan hati yang kemudian dipoles dalam bentuk novel dan diberikan unsur dramatisasi.
Sayangnya, cetakannya yang kurang jelas cukup mengganggu kenikmatan membaca novel bagus ini. entah kenapa, tinta cetaknya kurang hitam sehingga agak membuat pedih di mata. Ganjalan lain adalah kurang adilnya penulis dalam memperlakukan tokoh utamanya, terutama di bagian akhir cerita: porsi kemalangan Ita tampaknya jauh lebih banyak daripada porsi kemudahannya. Dari awal hingga akhir, Ita didera oleh aneka ujian dan cobaan yang bertubi-tubi, yang menjadikan novel perjuangan ini agak terasa kelam. novel perjuangan dan motivasi memang mensyaratkan adanya perjuangan keras dalam kehidupan sang tokoh, namun penyampaiannya sebaiknya dituturkan sedemikian rupa agar pembaca bisa “terhibur” (maksudnya menikmati perjuangan sang tokoh) sekaligus mendapatkan hikmah.
Maksud saya begini, setelah cobaan yang mendera Ita, hasil yang didapatkan Ita di penghujung kisah terasa kurang imbang dengan porsi perjuangan banting tulang yang ia lakukan. Seolah ada sesuatu yang hilang. Seolah-olah penulis dipaksa untuk segera menyelesaikan novel yang sebenarnya sudah dibangun dengan baik secara perlahan-lahan dari depan. Dengan kata lain, novel ini seharusnya bisa lebih tebal lagi.
Namun, kekurangan di atas berhasil tertutupi oleh kepiawaian sang penulis dalam menguraikan perjuangan Ita yang entah bagaimana terasa sangat realistis. Lebih dari itu, pembaca juga akan terpesona mengikuti untaian kisah perjuangan Ita yang begitu menyentuh hati, menjadikannya pengingat akan potensi diri dan besarnya cinta Ilahi.
“Allah begitu mencintaiku. Dan aku yakin cinta-Nya jauh lebih besar daripada usahaku untuk mencintai-Nya.” (halaman 276).
No comments:
Post a Comment