Search This Blog

Monday, May 30, 2016

Indonesia (itu) Buku

"Sejarah mencatat, republik ini lahir karena anak-anak muda pecinta buku yang peduli pada bangsanya. Para founding fathers kita--Tan malaka, Sukarno, Tirto Adi Suryo, Marco Kartodikromo, Sutan Sjahrir, Mohammad Hatta, Agus Salim--adalah para pecinta buku yang mau belajar dari buku dan berani berbuat." (Anton Kurnia)




Tanggal 17 Mei lalu, kita baru saja memperingati Hari Buku Nasional. Dalam waktu yang hampir bersamaan, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan laporan sebuah penelitian dari sebuah lembaga luar yang menyebut hanya 1 dari 1.000 orang Indonesia yang suka membaca buku. Dengan kata lain, indeks minat membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001. Sebuah prosentase yang sangat rendah tentunya karena angka itu membuat negara kita hanya lebih tinggi dari negara Botswana yang letak tepatnya penulisnya juga belum tahu ada di mana. Tanpa mengenyampingkan beragam variabel yang menelurkan hasil penelitian Internasional tersebut, tetap saja kita layak merasa miris seraya mencoba tabah mengakui betapa minat baca di sekitar kita memang masih sangat rendah. Jamak kita jumpai, di tempat-tempat umum, lebih banyak orang yang sibuk dengan gawainya ketimbang orang yang asyik dengan buku di tangannya.

            Membaca buku secara umum memang masih dianggap sebagai sesuatu yang mewah di negeri ini. Banyak kita, yang dengan entengnya, mengeluarkan uang Rp50.000 untuk membeli paket data namun butuh berpikir lebih dari lima kali saat hendak membeli buku dengan harga yang sama. Buku dan membaca buku memang masih sesuatu yang asing bagi kebanyakan kita. Ini sebuah fakta yang miris sebenarnya karena jika kita mau membuka lembar-lembar sejarah, bangsa ini dibangun oleh orang-orang besar yang gemar membaca buku. Dalam tulisannya yang sangat inspiratif untuk memperingati hari Buku Sedunia, Zen RS, menyebut Indonesia sebagai sebuah nation yang dibangun salah satunya oleh para pecinta buku, pemamah buku, dan para penulis buku. 



www.goodreads.com
Tentang orang-orang besar Indonesia yang sangat mencintai buku, mungkin belum ada yang mengalahkan Muhammad Hatta dan Pramoedya Ananta Toer.  Keduanya adalah pembaca buku yang tekun, yang tidak bisa melepaskan buku sebagai salah satu elemen penting dalam kehidupannya. Masih segar dalam ingatan kita, salah satu ungkapan masyhur Moh. Hatta tentang buku: “Selama aku bersama buku kalian boleh memenjarakanku di mana saja; sebab dengan buku pikiranku tetap bebas.” Buku-buku memang menjadi teman beliau menghabiskan masa-masa pembuangan di Digul dan Ende pada tahun 1930-an oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Konon, kepada kawan-kawannya beliau minta dikirimkan berpeti-peti buku sebagai kawannya melawan sepi.

            Sikap yang serupa juga ditunjukkan oleh Soekarno, Tan Malaka, dan juga Pramoedya Ananta Toer. Khusus untuk kasus Pram, sudah tidak perlu lagi dibuktikan betapa besar kecintaannya peada buku. Penulis kaliber dunia ini menggunakan tulisan dan buku sebagai media untuk melawan. Bahkan, dia membangun kembali perpustakaan pribadinya mulai dari nol setelah perpustakaannya yang lama dibakar oleh sekelompok anarkhis militer. Dari pengakuan anaknya, Pram tidak pernah memberikan hadiah mainan kepada buah hatinya. Selalu buku dan buku, aku salah satu putri beliau setiap kali meminta dibelikan mainan. Bagi Pram, buku memang ibarat makanan yang ketiadaannya akan membuat hidup jadi tak jalan. Luar biasa seorang Pram yang seorang pembaca, penulis, sekaligus pecinta buku sejati.  Dalam dokumentasinya tentang Pram, Muhidin M Dahlan menulis Pram yang meminjam buku dari Perpustakaan Universitas Gadjah Mada satu becak penuh saat hendak menggarap naskah Panggil Aku Kartini Saja. 

   
toko-bukubekas.blogspot.com
Baik Soekarno, Mohammad Hatta, Tan Malaka, M. Syahrir, dan Pram sama sadar bahwa bukulah yang membuat mereka tiba pada titik keberadaan mereka saat itu. Buku telah mempertemukan Soekarno dan Hatta dengan tokoh-tokoh besar dunia, memunculkan inspirasi sekaligus dorongan tentang gerakan kemerdekaan. Begitu juga, Tan Malaka, M. Syariffudin, Moh. Yamin, bahkan hingga Musso yang kiri itu. Ada sebuah kisah menarik disampaikan oleh Zen RS dalam tulisannya "Sejarah Indonesia Sebagai Permusyawaratan Buku" tentang pertemuan antara Musso dan Soekarno yang diakhiri dengan saling bertukar buku. Soekarno memberikan kepada Musso yang baru kembali dari pembuangannya di Uni Soviet buku Sarinah karyanya, sementara Musso berjanji akan memberikan buku karyanya segera kepada Soekarno. Terlepas dari buku Musso yang malah membuat keduanya saling bersebrangan, patut kita rayakan perjumpaan mereka yang diwarnai dengan saling bertukar karya intelektual berupa buku, bukan tukar proyek atau grativikasi.

            Ketika perjuangan fisik belum cukup, maka diperlukan pergerakan dalam jalur lain, jalur yang kemudian ditempuh juga oleh para tokoh pergerakan nasional, yakni jalur literasi. Ditulislah kemudian buku-buku yang kelak akan dibaca dan turut mendorong serta mengobarkan keinginan untuk berdiri di atas kaki sendiri. Buku-buku yang membuat tokoh-tokoh muda itu mantap kukuh mempertahankan kemerdekaan yang baru diraih. Soekarno menulis Menuju Indonesia Merdeka (1933), Moh. Hatta merampungkan Alam Pikiran Yunani, Sutan Sjahrir menghasilkan Perjuangan Kita, dan Tan Malaka menyusun Madilog-nya nan masyhur itu. Dalam situasi nyawa terancam karena perang, atau tubuh dan pikiran terasingkan dalam masa pembuangan, mereka masih produktif menghasilkan karya pikiran nan spektakuler. Tentunya, selain menulis, orang-orang besar ini juga tidak melupakan membaca karena tidak mungkin buku-buku besar itu keluar dengan sendirinya dari pikiran tanpa adanya asupan bacaan yang bagus.

             Masih terkait Hari Buku dan Hak Cipta Sedunia yang juga dekat-dekat dengan Hari Kartini, patut kita renungkan pula polemik yang sempat muncul pada perayaan itu. Mengapa hanya Kartini saja yang dirayakan harinya padahal banyak pahlawan wanita di negeri ini? Mengapa tidak (mungkin belum?) ada Hari Dewi Sartika atau Hari Cut Nyak Dien, misalnya. Dengan tidak meremehkan perjuangan para wanita hebat tersebut, ada satu kualitas dari Kartini yang menonjol. Kartini menulis. Dia meninggalkan kepada kita jejak-jejak pemikiran dalam surat-suratnya kepada para sahabatnya dalam Habis Gelap Terbitlah Terang. Maka benar sekali yang pernah dikatakan oleh Pram bahwa mereka yang menulis maka suaranya akan abadi, tidak lenyap ditelan zaman. Pahlawan-pahlawan wanita lain mungkin juga menulis dan tentu saja membaca, semoga kelak akan bisa kita temukan sumber-sumber sejarah tentang aksi literasi mereka dalam bentuk khas masing-masing, sebagaimana kita temukan dalam diri Kartini.

            Begitu banyaknya buku-buku dan orang-orang yang mencintai buku dalam sejarah berdirinya republik tercinta ini, semestinya kita malu ketika sebagai generasi penerus kita malah jauh-jauh dari buku. Terlebih, ketika pendidikan dan akses terhadap buku saat ini tidak sesulit seperti zaman penjajahan dulu, selayaknya kita lebih banyak berkarya dan juga membaca. Masih mengutip tulisan Zen RS yang sangat menyadarkan di Hari Buku Sedunia kemarin, tentang Mantan Perdana Mentri kita, Amir Sjarifuddin yang bahkan tidak bisa lepas dari buku hingga menjelang akhir kehidupannya. Setelah  kegagalannya dalam Perundingan Renville yang membuatnya turun dari kursi kekuasaan, beliau semakin tertarik pada paham kiri yang akhirnya membuatnya dituding terlibat langsung dalam Pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948. Hukumannya adalah eksekusi mati.

            Beberapa jam sebelum ditembak mati di Solo, rombongan yang menjaga Amir Sjarifuddin sempat mampir ke Jogja. Dengan pengawlaan ketat, tokoh nasional ini dibiarkan duduk sendirian di Stasiun Tugu untuk menunggu kedatangan kereta menuju Solo. Ketika itu, perwira yang bertugas mengawalnya bertanya apakah Amir membutuhkan sesuatu. Kepada petugas, dia tidak meminta makanan atau minuman enak, atau apa pun. Dia hanya meminta buku. Maka, oleh si perwira, disodorkanlah buku Romeo dan Juliet karangan William Shakespeare yang kebetulan sedang dibawanya (Seberapa banyak sih perwira zaman sekarang yang membawa-bawa buku dalam sakunya?). Dan, Amir Sjarifuddin pun khusyuk membaca buku itu di Stasiun Tugu sambil menunggu detik-detik kedatangan kereta maut yang hendak menggiringnya kepada kematian.

          
Mencintai dan beserta buku sampai akhir hayat, para bapak bangsa kita benar-benar para pecinta dan pembaca buku  Malulah kita sebagai generasi penerus bangsa kepada para mereka jika membaca pun kita masih malas. Padahal, para pendiri bangsa ini mencintai dan beserta buku sampai akhir hayatnya. Mari kita membaca buku. Jika pun kau belum sempat membacanya, maka timbunlah dulu karena sebaik-baik menimbun adalah menimbun amal kebaikan dan menimbun buku *maksa*.

7 comments:

  1. tetep yaaa kalimat penutupnyaaaaa...

    Tapi bener, menulislah, maka kau akan abadi :)

    ReplyDelete
  2. Kesimpulannya: langkah awal membaca buku adalah 'nimbun dulu'. Ya kan, Mas? hahaha.

    Nice artikel :D

    ReplyDelete
  3. Yon, paket data 50ribu itu bisa aja buat:
    - Download e-book (maklum kere, andalinnya akhirnya gratisan :P)
    - Baca cerita di Wattpad atau situs cerita online gratis. Kan lagi ngehits tuh, hehehe

    Orang jaman dulu mungkin apa karena penjajahan ya, jadi terasa sekali mereka kalau mereka banyak baca buku. Apa karena di masa kini kita sudah damai? Sehingga lebih memilih kenyamanan semu dan kemewahan ketimbang mengasah otak dan empati via buku? Who's knows

    ReplyDelete
  4. Membaca artikel Mas Dion seperti melihat buku dari sudut pandang orang-orang penggerak literasi (baca: penulis dan pegiat buku). Dan aku setuju apa kata Pram tentang "mereka yang menulis maka suaranya akan abadi, tidak lenyap ditelan zaman".

    ReplyDelete
  5. di masa kini makin banyak distraksi siiih, TV lah, gadget, medsos.. hihih kalo jaman dulu kan lebih terbatas pilihannya :D tapi bukan jadi alasan juga anak sekarang jadi nggak cinta buku yaaa :)

    ReplyDelete
  6. Masdi....aku jadi trenyuh baca tulisan Masdi. Tapi endingnya.... #ngek

    ReplyDelete
  7. tulisannya beda, orang-orang jaman dulu yang suka baca, jadi nambah pengetahuan :)

    ReplyDelete