Tuesday, February 26, 2019

Belajar Berjiwa Besar dari Profesi Wong Cilik


Judul: Profesi Wong Cilik
Penyusun: Iman Budhi Santosa
Penyunting: Gunawan Tri Atmodjo
Sampul: Ferdika
Cetakan: Pertama, November 2017
Penerbit: Basabasi




Dunia semakin modern dan pekerjaan baru pun bermunculan. Kini, kita seolah sudah terbiasa dengan aneka jenis pekerjaan yang mungkin nggak terpikirkan keberadaannya sepuluh atau lima belas tahun lalu. Begitu pula sebaliknya. Banyak pekerjaan kekunoan yang dulu kita terbiasa dengannya mulai menghilang dengan begitu perlahan. Zaman berubah dan membawa perubahan bersamanya, termasuk jenis-jenis pekerjaan. Perubahan adalah sebuah keniscayaan. Mereka yang beradaptasi dan ikut memperbarui diri akan terus bertahan. Tetapi, mereka yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan kemajuan dan perubahan akan jauh tertinggal. Beberapa jenis profesi memang turut mengalami pergeseran, seperti tukang cukur rambut dan penggali sumur. Beberapa yang lain mulai jarang dijumpai seperti para pemikat perkutut dan dukun bayi. Tetapi, ada juga yang sepertinya tak tergantikan walau zaman terus berputar. Para abdi dalem adalah contohnya. 

Buku ini memuat sekitar dua puluhan jenis profesi yang akrab dengan wong cilik. Jenis-jenis pekerjaan yang mungkin nggak terbayangkan lagi keberadaannya dalam benak kaum milenial. Kenyataannya, pekerjaan-pekerjaan ini masih eksis. Beberapa memang semakin jarang dijumpai, tetapi banyak yang masih bisa bertahan di tengah gerusan zaman. Walau ada embel-embel “profesi wong cilik” dalam judulnya, banyak hal yang bisa kita pelajari dari pekerjaan-pekerjaan ini. Bahkan pekerjaan sekelas penggali sumur dan pemikat perkutut pun memiliki aturan khususnya sendiri. Menakjubkannya lagi, aturan khusus ini biasanya lebih didasarkan pada kemanfaatan bersama alih-alih  keuntungan pribadi. Seorang tukang becak misalnya, konon lebih sering menjawab dengan “Sumonggo kerso (Jw: Silakan mau kasih berapa pun)” saat ditanya berapa ongkos mengantar penumpang. Sesuatu yang tentunya sudah jarang kita jumpai ke kehidupan modern seperti saat ini. 


Lebih keren lagi pekerjaan menangkap perkutut. Saya mungkin nggak bakal tahu kalau ada profesi memikat perkutut (untuk ditangkap) setelah membaca buku ini. Para pemikat ini juga bekerja dengan tidak asal tangkap. Mereka sebisa mungkin tidak menggunakan alat yang bisa melukai burung tangkapan. Biasanya dengan mengoleskan getah tanaman bendo ke dahan yang hendak dihinggapi perkutut incaran. Dalam sistem kerja mereka, sebisa mungkin menghindari menangkap perkutut alfa (pejantan yang memimpin) agar kawanannya tidak hilang arah. Jika kawanan tanpa pemimpin, populasi burung perkutut di wilayah itu biasanya akan langsung hilang. Sungguh sebuah kearifan lokal yang mendukung fungsi ekologis lingkungan. Tekat hebat lain ditunjukkan oleh para dukun bayi. Para dukun ini, biasanya wanita berusia lebih dari paruh baya, harus menjawab panggilan kelahiran kapan pun. Tidak peduli hujan, tengah malam, atau pagi buta; mereka harus bergegas demi keselamatan ibu dan anaknya. 

Ada satu ciri khas yang saya kagumi dari penulis. Beliau ini adalah tipe penulis yang dibesarkan oleh pengalaman langsung, tidak semata bacaan—meskipun saya yakin tabungan bacaan beliau juga sangat berlimpah. Ini terlihat dari tulisan-tulisan beliau (saya baru membaca Ngudud dan Profesi Wong Cilik) yang begitu kaya oleh laporan dari dalam. Selain itu, nuansa Jawanya juga kental, pas sekali dengan filosofi-filosofi yang bisa digali dari pekerjaan-pekerjaan wong cilik di buku ini. Kebetulan juga, hampir semua pekerjaan di buku ini adalah hasil pengamatan penulis pada tahun 1970 – 1980an di pelosok Jawa, termasuk dari daerah ketinggian gunung Unggaran Semarang. Selalu ada rasa berita dalam setiap tulisannya, walaupun sejatinya yang dibaca bukan berita. Hanya seorang penulis sekaligus wartawan kenamaan yang kemungkinan bisa menghasilkan tulisan-tulisan seperti ini. Dan saya sangat lega karena kembali menemukan kualitas tersebut di buku ini. 

“Dulu, gunung dan hutan adalah tempat pertapaan para pandhita. Kami sengaja ingin mewarisi keperkasaan mereka dan mengujinya lewat pucuk-pucuk teh itu. Sebab pada pucuk-pucuk itulah tersimpan harapan kami, bersama patah tumbuhnya yang tak pernah berhenti.” (Pemetik Teh: Srikandi di Balik Dingin dan Sepi, hlm 78)

Dunia kehidupan wong cilik sejatinya adalah gudang yang menyimpan begitu banyak bukti terkait akar budaya Nusantara yang sebenarnya, yang membedakan kita dengan bangsa-bangsa lain. Dari kehidupan orang-orang kecil ini, kita belajar tentang makna penerimaan juga kesungguhan. Jangan pernah sekalipun menyepelekan mereka. Tanpa kerendahan hati mereka untuk mau merendahkan diri dengan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan "rendahan" yang mungkin kita sering tak terpikir untuk mau melakukannya (membuang sampah, menggali sumur, memanjat pohon kelapa); kita juga takkan bisa berbuat banyak. Sebagaimana kalimat apik penulis saat menutup buku ini, "hidup perlu berbagi karena selama menempuh perjalanan di dunia ini, kita tak pernah benar-benar bisa sendiri."

2 comments:

  1. JADIKAN AGEN KAMI MENJADI FAVORIT ANDA ,
    AYOO BERGABUNG BERSAMA RIBUAN MEMBER KAMI YANG LAINNYA
    HANYA DI HTTP :// WWW.ARENA-DOMINO.COM
    BONUS ROLLINGAN TERBESAR 0,3 % SETIAP MINGGUNYA .

    ReplyDelete
  2. Bosan tidak tahu mau mengerjakan apa pada saat santai, ayo segera uji keberuntungan kalian
    hanya di D*E*W*A*P*K / pin bb D87604A1
    dengan hanya minimal deposit 10.000 kalian bisa memenangkan uang jutaan rupiah
    dapatkan juga bonus rollingan 0.3% dan refferal 10% :)

    ReplyDelete